Derajat Para Wali
وَأَكْرَمُهُمْ عِنْدَ اللهِ أَطْوَعُهُمْ وَأَتْبَعُهُمْ لِلْقُرْآنِ
(73) Semua orang yang beriman adalah wali-wali ar-Rahman. Wali ar-Rahman yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taat dan paling mengikuti al-Qur`an.
Wali berasal dari kata wala`, walayah atau wilayah. Wala` berarti dekat secara tempat, nisbat, prinsip, pertemanan, pertolongan, dan keyakinan. Wala` juga berarti cinta. Walayah berarti pertolongan, sedangkan wilayah berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Walayah adalah antonim dari kata ‘adawah yang berarti permusuhan. Berdasarkan ini wali adalah orang yang dekat, mencintai, memberi pertolongan, memiliki kekuasaan, memimpin, dan tidak menebar permusuhan. Demikianlah para pakar bahasa Arab seperti Ibnu Faris, Khalil bin Ahmad, ar-Raghib al-Ashfahan, dan Ibnul Manzhur menulis tentang definisi wali dalam kamus masing-masing.
Wali dalam wahyu
Tidak sedikit ayat al-Qur`an yang berbicara tentang wali dan perwalian. Di antaranya:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama saling berwali.” (Al-Anfal: 72)
“Allah adalah Wali orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (al-Baqarah: 257)
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah Wali orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai wali.” (Muhammad: 11)
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah). Barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai walinya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55-56)
“Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) wali bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)
Nash ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa ada perwalian antar orang-orang yang beriman dan bahwa Allah adalah wali dan pelindung mereka. Allah menjadi wali hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia mencintai mereka, mereka pun mencintai-Nya. Dia ridha terhadap mereka, mereka pun ridha terhadap-Nya.
Perwalian Allah
Perwalian dari Allah yang maknanya adalah kecintaan, kedekatan, dan pertolongan dari-Nya ini adalah bagian dari rahmat dan kebaikan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah mencintai, dekat, dan senantiasa memberikan pertolongan untuk mereka tidaklah seperti perwalian yang biasa terjadi antar sesama makhluk yang selalu dilandasi oleh kebutuhan pribadi. Sekuat dan sehebat apa pun seorang raja atau penguasa, saat dia mencintai, dekat, dan membantu salahseorang rakyatnya, pastilah itu untuk kebutuhannya. Sedangkan Allah, Dia berfirman,
“Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. Dia tidak hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya!’.” (al-Isra`: 111)
Allah memberi perwalian bukan karena kehinaan/kelemahan-Nya. Segala kemuliaan adalah milik Allah.
Para wali Allah
Allah menegaskan bahwa para wali-Nya adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Mereka tidak akan pernah khawatir mengenai kehidupan akhirat dan tidak pula bersedih mengenai kehidupan dunia. Takwa yang menjadi syarat menjadi wali Allah selain iman adalah menyesuaikan diri dengan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah. Mencintai yang dicintai-Nya dan membenci yang dibenci-Nya. Meskipun salah seorang dari kita rajin mengerjakan shalat, tak pernah meninggalkan shiyam, membayar zakat, dan menunaikan haji berkali-kali, jika ia tidak mencintai semua yang dicintai Allah dan membenci apa pun yang dibenci-Nya, ia tidak akan pernah menjadi wali Allah.
Dalam sebuah hadits qudsi dijelaskan,
يَقُولُ اللهُ تَعَالَى مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالْمُحَارَبَة، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ، حَتَّى أُحِبَّهِ، فَإِذَا أَحْبَبْتُه كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّه، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi waliku, sungguh ia telah menantang-Ku perang. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang seperti (baca: lebih baik daripada) sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. Hamba-Ku akan terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka ia hanya akan mendengar apa yang Aku ridhai, hanya akan memandang apa yang Aku ridhai, hanya akan memegang apa yang Aku ridhai, dan hanya akan berjalan pada apa yang aku ridhai. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’.” (HR. al-Bukhari)
Selain menerangkan tentang karunia yang Allah berikan kepada para wali Allah, hadits qudsi ini juga menerangkan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang benar-benar menjaga pendengaran, pandangan, dan segala tingkah lakunya; menjaganya agar senantiasa selaras dengan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Dua Wali Allah
Berdasarkan hadits di atas—dan dalil-dalil lain yang semakna—para ulama menyatakan bahwa yang berhak dan dapat disebut dengan wali Allah atau wali ar-Rahman hanya orang beriman yang menjaga diri dari berbagai dosa. Mereka yang menjaga diri dari dosa ini ada dua kelompok. Muqtashid dan muqarrab atau sabiq bil khayrat.
Muqtashid adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal hati dan anggota badan yang wajib; sedangkan muqarrab atau sabiq bil khayrat adalah yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah setelah yang wajib.
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang zhalim linafsih (menganiaya diri sendiri) dan di antara mereka ada yang muqtashid (pertengahan) dan diantara mereka ada (pula) yang sabiq bil khayrat (bersegera dalam berbuat kebaikan) dengan izin Allah.” (Fathir: 32)
Wali bukan wali
Abu Jakfar ath-Thahawi menyatakan bahwa semua orang yang beriman adalah wali-wali Allah, kecuali orang beriman yang masih zhalim linafsih, ia tidak berhak disebut disebut sebagai wali Allah. Ia bukan wali tetapi “wali”.
Ini bukan berarti zhalim linafsih benar-benar tidak mendapatkan perwalian dari Allah sama sekali. Asalkan masih punya iman walau seberat biji sawi, Allah tetap menjadi wali mereka. Allah akan mengeluarkan mereka dari siksa api neraka setelah dirinya dibersihkan dari dosa-dosanya dengan api neraka atau langsung mendapatkan rahmat dan ampunan Allah.
Pada kenyataannya hampir semua orang beriman terkumpul padanya potensi untuk diberi walayah dan ‘adawah sekaligus, lantara pada dirinya ada sebagian cabang kekafiran dan keimanan, kemusyrikan dan tauhid, ketakwaan dan kedurhakaan, kemunafikan dan iman. Akk berfirman,
“Sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan juga mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf: 106)
“Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’.” (Al-Hujurat: 14)
Wallahu a’lam.