Daripada Zina di Sembarang Tempat, Lebih Baik Dibikinin Tempat
Berbeda dengan Walikota Surabaya yang menutup lokalisasi terbesar se-Indonesia, Gubernur Jakarta, Basuki Tjahya Purnama, justru berniat melegalkan prostitusi. Tak hanya itu, minuman keras golongan A yang pada April 2015 lalu resmi dilarang dijual di minimarket sesuai peraturan menteri perdagangan, juga ditentang. Alasannya, menurut Gubernur Jakarta yang biasa dipanggil ahok ini, prostitusi mustahil diberantas. Jadi, daripada dilakukan sembunyi-sembunyi, lebih baik dilegalkan dan dilokalisasi. Adapun miras golongan A, menurutnya tidaklah berbahaya karena selama ini tidak ada orang yang mati hanya gara-gara minum miras golongan alkohol rendah.
Sebuah pemikiran yang aneh, nyleneh dan tak bertanggungjawab. Kebijakan pemimpin seharusnya mengacu kepada kemashlahatan umum, meskipun sedikit sulit, daripada pragmatis tapi berdampak negatif. Prostitusi atau perzinaan, problemnya bukan pada cara melakukan dan di mana melakukan, tapi perbuatan itu sendiri merupakan suatu masalah. Jadi solusi yang dicari bukan sekadar melegalkan agar tidak sembunyi-sembunyi dan membatasi area perzinaan tapi memberantas perzinaan. Minimal mengurangi sampai titik maksimal. Legalisasi zina dan sentralisasi tempat perzinaan sama sekali tidak menyelesaikan persoalan apapun.
Dilihat dari banyak aspek, kebijakan ini jelas tidak layak disebut kebijakan karena tidak mengandung kebajikan:
Dari aspek agama. Wallahua’lam, kiranya tak satupun agama yang melegalkan zina, termasuk agama yang dianut Gubernur Jakarta. Entah kalau ternyata sebaliknya. Dari sudut pandang Islam, zina merupakan perbuatan haram yang dilaknat. Islam dan pemerintahan Islam mustahil melegalkan prostitusi. Meski demikian, zina memang tidak dapat dibasmi sama sekali karena ranahnya sangat privasi. Hanya saja, Islam memiliki mekanisme penanganan yang efektif.
Pertama, Islam mendidik umatnya agar memiliki rasa malu untuk melakukan maksiat. Rasa malu merupakan salah satu indikator iman dan batas sanksi yang akan Allah berikan. Apabila seseorang tak lagi malu melakukan maksiat dan melakukannya secara terang-terangan (mujaharah), peluang mendapat ampunan atas dosa tertutup. Mengapa? Karena melakukan maksiat terang-terangan mengindikasikan hilangnya malu, sombong dan penentangan terhadap Dzat yang melarang. Ini merupakan pembangunan moralitas secara intern-individual. Budaya malu untuk melakukan perbuatan buruk merupakan pangkal moralitas masyarakat.
Kedua, untuk menyalurkan kebutuhan biologis, Islam menyediakan nikah sebagai penyaluran yang legal dan beradab. Penyaluran kebutuhan biologis di sembarang tempat selesai dengan nikah. Lebih luas lagi, Islam mengijinkan poligami dengan syarat dan ketentuan berlaku. Pernikahan menjadi benteng masyarakat beradab untuk melindungi mereka dari perbuatan tak keji seperti zina.
Pun begitu, peluang zina masih terbuka karena meskipun sudah menikah, seseorang bisa saja tergoda melakukan zina. Oleh karenanya, Islam menerapkan tindakan kuratif; ancaman dosa yang besar, anjuran bertobat dan sanksi yang berat yaitu dipukul seratus kali atau dirajam jika sudah menikah. Sanksi yang ringan untuk maksiat yang begitu menggiurkan semacam zina sama sekali tidak akan efektif.
Selanjutnya dari aspek moralitas. Legalisasi prostitusi dan miras jelas akan menjadi virus perusak moral masyarakat. Masyarakat yang tak memegang teguh agama dan hanya takut pada hukum negara akan menganggap zina sebagai perbuatan yang sah asal dilakukan di lokalisasi yang berijin. Moralitas akan menurun dan terbentuklah individu-indivu yang permisif terhadap segala hal terkait zina dan dkeadensi moral; pakaian mini, acara-acara maksiat, pacaran disembarang tempat dan lain-lain. Perbuatan zina mereka mungkin terlokalisir, hanya di tempat prostitusi saja tapi mental pezina mereka akan muncul saat mereka bermasyarakat. Dan ini berbahaya.
Dari aspek sosial. Lokalisasi ibarat tempat pembuangan sampah yang akan menjadi polusi di masyarakat sekitarnya. Kecuali, pak Gubernur menempatkan lokalisasi di lepas pantai, jauh dari masyarakat. Bau busuk prostitusi akan merusak pikiran dan moral masyarakat sekitar bahkan anak-anak. Konon, Walikota Surabaya ‘nekat’ menutup lokalisasi Dolly karena mendengar kabar ada anak kecil yang berzina dengan pelacur berusia lanjut. Kata orang, kejahatan tidak terjadi karena niat tapi juga karena adanya kesempatan. Nah, keberadaan prostitusi akan membangkitkan niat dan membuka kesempatan itu. Namanya maksiat pasti akan menarik maksiat lain. Protitusi akan menjadi sarang preman, narkoba, miras,perdagangan manusia dan lain-lain.
Dari aspek kesehatan. Lokalisasi akan menjadi ‘peternakan’ berbagai macam virus dan penyakit seksual. Alat kontrasepsi tidak bisa 100 % mencegah penularan dan penyebaran. Jadi, pezina masih berpeluang menyalurkan penyakitnya kepada isteri bahkan anak turunnya. Belum lagi, siapa yang bisa memastikan dan memaksa para pelanggan zina untuk selalu memakai alat kontrasepsi?
Kalau saja penyakit seksual hanyalah penyakit ringan yang bisa sembuh dengan sekali suntik, aspek kesehatan ini boleh saja diabaikan. Masalahnya, penyakit seksual, apalagi AIDS, adalah penyakit yang sampai saat ini masih menjadi siluman pembunuh yang sangat sulit bahkan hampir mustahil disembuhkan.
Wallahulmusta’an, entah apa yang ada dalam pikiran pak Gubernur sampai berniat melegalkan prostitusi bahkan memberikan sertifikat bagi pelacur. Belum lagi soal dampak negatif penjualan miras di minimarker yang pernah ditentangnya. Semoga Allah tidak memperbanyak pemimpin yang pro terhadap maksiat dan segera mengakhiri kepemimpinan pemimpin semacam itu. Aamiin. (aviv)[]