Cintamu tak Seperti Dulu
Sebagian orang ada yang merasa heran, kenapa ya model cinta setelah menikah rasanya tak seindah cinta remaja yang masih pacaran?
Ya ya ya. Kalau anda merasa, “Saya enggak tuh, sudah beranak lima pun rasanya kami masih seperti pacaran. Semua serasa indah.” Berarti anda masuk kotak pengecualian. Cinta anda istimewa. Bersyukurlah.
Pertanyaan di atas adalah uneg-uneg yang biasa dirasakan orang. Meskipun sebenarnya tidak sedikit yang sudah mengetahui jawabannya, tidak ada salahnya kita bincangkan lagi.
Model cinta atau lebih tepatnya pola hubungan pasangan sebelum menikah dan yang sudah menikah tentulah berbeda. Sebelum menikah, pola hubungannya lebih tertutup karena memang aspek gengsi atau ketidakinginan dicela lebih dominan. Akibatnya, dalam banyak hal, kedua belah pihak cenderung bersikap defensif. Seperti perang dingin, masing-masing lebih banyak menutupi kelemahan dan memamerkan kekuatan. Tidak heran kalau kemudian yang tampak hanya yang indah-indah saja. Disamping juga, ada andil setan yang mengipasi imajinasi dan perasaan.
Adapun setelah menikah, polanya adalah pola hubungan terbuka. Bahkan sangat terbuka. Diksi dalam al Quran sendiri sangat tepat dalam menggambarkan pola ini dengan mewakilkan kata “afdha” untuk menjelaskannya (QS. An Nisa’ 21). Para ulama memang menafsirkannya dengan “jima’” atau hubungan badan. Tapi kalau kita renungi, dari segi bahasa “Afdha” itu berasal dari kata dasar yang bermakna “ lapang, atau luar angkasa” (fadha’) yang menggambarkan keterbukaan yang sangat luas. Ketika suami isteri telah berjima’, berarti keduanya benar-benar telah membuka diri.
Setelah menjadi suami isteri, masing-masing tak merasa gengsi lagi jika hal-hal yang dulu mereka tutupi diketahui pasangannya. Suami tak gengsi lagi mengaku bokek alias tak punya duit. Isteri pun tak malu lagi ketika suaminya tahu, ternyata tidurnya usil. Suka sikut sana tendang sini, misalnya.
Nah, pada “era keterbukaan” ini, atsmosfir hubungan tentu akan berubah. Perlu sikap dan mental dewasa untuk menghadapinya. Pasalnya, seperti kita tahu, ada banyak hal yang jika telah terbuka dan berlalu cukup lama akan menjadi hambar, membosankan dan basi. Pasangan kekasih yang secara prematur menghadirkan era ini sebelum menikah, hubungan mereka banyak yang cepat basi setelah menikah. Padahal sejatinya, inilah musimnya cinta sejati ditumbuhkan. Oleh karenanya, tidak masalah meskipun sepasang suami isteri menikah tanpa pacaran. Asalkan keduanya mampu menebar dan menumbuhkan cinta di masa ini, mereka tetap akan menuai bahagia, bahkan bisa lebih indah dari yang sudah mencicil sebelum waktunya.
Setelah menikah, pola hubungan yang terjadi –semestinya- lebih mendalam berupa koneksi antar hati. Hubungan hati yang didasarkan pada keinginan untuk berkomitmen, saling memberi, menerima, menguatkan dan kesadaran bahwa inilah salah satu pintu untuk meraih ridha-Nya. Bukan lagi berdasarkan fisik semata, sebagaimana yang terjadi sebelum menikah. Fisik memang menjadi media, tapi asalkan jalinan hatinya baik dan kuat, banyak pasangan yang mampu bertahan meski kekasihnya berubah secara fisik.
Cinta pada masa ini adalah cinta yang harus diusahakan agar mewujud dan dipelihara agar tidak layu. Bukan cinta yang tiba-tiba “jatuh” ke hati yang seakan-akan merupakan anugerah yang ada begitu saja. Tidaklah salah kalau orang mengatakan, “Lebih penting mencintai orang yang dinikahi daripada menikahi orang yang dicintai”. Artinya cinta kepada suami atau isteri adalah cinta yang wujudnya kata kerja “mencintai” dan menjadi pekerjaan yang terus menerus dilakukan. Lebih dari sekadar objek berupa perasaan suka yang bercokol di dada.
Jadi, kalau kita menyadari hal ini, perubahan pola hubungan itu insyaallah bukan masalah. Yang masalah adalah apabila kita masih saja terjebak angan-angan romantis yang memang hanya berupa angan, atau masih saja terkungkung nostalgia masa lalu. Enggan membangun cinta sejati yang sebenarnya jauh lebih indah, lebih damai dan lebih nyata wujudnya.
Hanya saja, secara jujur harus diakui bahwa menyemai cinta sejati tak semudah menanam singkong. Membangun cinta dalam rumah tangga tidak sama dengan membangun rumah, menata bata di atas bata. Bisa diukur dan diprediksi secara presisi segala akibat dan kemungkinannya. Tapi, membangun cinta dalam rumah tangga adalah aktifitas paling nyeni di dunia karena dipenuhi berbagai kemungkinan yang tak terduga. Dan, semua sangat riil. Ada kompensasi maupun konsekuensi yang nyata. Berbeda dengan aktifitas membangun cinta saat pacaran yang kebanyakan seperti bermain game. Bisa curang, bahkan memutusnya saat permainan sedang seru-serunya pun tak akan membawa dampak berarti bagi pelakunya. Meski tidak mudah, tapi bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan. Kata pepatah, tidak ada orang yang tidak layak mendapat cinta. Yang ada hanyalah orang yang tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa membuat orang lain cinta kepadanya.
Nah, para isteri sekalian, itulah teorinya. Seperti apa aplikasinya, inilah seusatu yang dapat anda pelajari sambil menjalani. Maka dari itu marilah senantiasa belajar. Belajar untuk menjadi pecinta sejati dan belajar menjadi orang yang layak mendapat cinta sejati. Demikian. Wallahua’lam. (aviv)