Cari Muka Beroleh Nista
Imam al-Hakim meriwayatkan, suatu kali Umar bin Khathab datang ke Syam. Beliau mengenakan izaar (pakaian bawah/semisal sarung), kasut (alas kaki) dan imamah (penutup kepala). Dalam riwayat lain disebutkan pula beliau turun dari onta dan melepaskan kasutnya. Dikalungkannya kedua kasutnya diatas bahu, kemudian ia mengambil kendali ontanya dan dipegangnya sambil mengarungi sungai. Lalu di antara sahabat berkata,
“Wahai Amirul Mukmunin, para tentara dan pembesar negeri Syam akan menyambut Anda, tetapi Anda seperti itu keadaannya?” Lalu Umar menjawab, “Sesungguhnya kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Karena itu kami tidak akan mencari kemuliaan selain dengan Islam.”
Begitulah kemuliaan dalam pandangan generasi terbaik. Kemuliaan yang dinilai dari tingkat ketakwaan, pada sejauh mana ia bisa mengabdikan dirinya kepada Allah dan komitmennya terhadap syariat Islam. Bukan kemuliaan yang didapat dengan mencari sanjungan manusia, atau mengukurnya dengan barometer dunia. Dengan karakter itulah, kaum muslimin di waktu itu berwibawa, baik di mata kawan maupun lawan.
Ingin Mulia, Malah Terhina
Ada yang menarik dari kalimat kedua yang diucapkan oleh Umar radhiyallahu ’anhu, “Kita tidak akan mencari kemuliaan selain dengan Islam.” Karena ketika umat Islam mencari kemuliaan dengan selain Islam, lalu menggantinya dengan nilai-nilai materi duniawi yang ingin dibanggakan di hadapan manusia, maka yang didapatkan adalah kehinaan, dan bukan kemuliaan. Sayang sekali, fenomena inilah yang justru menimpa kaum muslimin hari ini.
Demi kehormatan dan pengakuan ‘modern’ di mata dunia, dengan enteng kebanyakan kaum muslimin menanggalkan identitas keislamannnya, lalu menggantinya dengan identitas Barat yang kafir. Kemuliaan diukur dari seberapa kemiripannya dengan orang kafir. Mengekor kepada tradisi dan cara berpikir Barat dianggap hebat. Dan menjadi pembeo Barat diklaim sebagai kaum moderat. Meskipun tradisi dan keyakinan yang diimpor itu berupa kemaksiatan dan kenistaan. Selainnya, diklaim sebagai kejumudan dan ketinggalan jaman.
Lalu apa hasilnya, kewibawaankah? Bahkan, keadaan kaum muslimin nyaris sempurna atau mungkin sempurna menyamai gambaran umat akhir zaman yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ الله مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ الله فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Hampir-hampir umat-umat menge-rumuni kalian layaknya orang-orang yang mengerumuni hidangan. Seseorang bertanya, “Apakah jumlah kami sedikit ketika itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bahkan ketika itu jumlah kalian banyak. Akan tetapi kalian laksana buih di lautan. Allah akan mencabut dari dada musuh-musuh kalian perasaan gentar terhadap kalian, dan Allah mencampakkan di hati kalian penyakit al-wahn.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?” Beliau bersabda, “cinta dunia dan benci (takut) mati.” (HR Abu Dawud, al-Albani menshahihkannya)
Begitulah jika kemuliaan diburu dengan jalan yang salah, Allah menghukum dengan keadaan yang sebaliknya.
Mencari Muka, Beroleh Nista
Tak berbeda halnya dengan balasan bagi masing-masing individu. Ketika seseorang ingin mencari kewibawaan bukan di atas jalurnya, maka justru kehinaan yang akan didapatkannya. Seperti orang yang ingin memperdengarkan kebolehan dan kelebihannya di tengah manusia, agar manusia menyanjungnya. Atau memamerkan kebaikannya agar manusia memujinya, justru akan diganjar dengan aib yang akan terkuak. Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ الله بِهِ ، وَمَنْ يُرَائِى يُرَائِى الله بِه
“Barangsiapa berlaku sum’ah, Allah akan memperdengarkan aibnya. Dan barangsiapa berbuat riya’, maka Allah akan memperlihatkan aibnya.” (HR. al Bukhari)
Al-Khaththabi menjelaskan hadits tersebut, “Yakni barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan tidak ikhlas, dan hanya ingin didengar dan dilihat manusia, maka ia akan dibalas dengan terkuaknya keburukan-keburukannya. Sehingga tampaklah apa yang disembunyikan dan dirahasiakannya.”
Peringatan ini semestinya menjadi kontrol dan sarana bagi seorang muslim untuk mawas diri. Jika suatu kali ada aib atau rahasia yang memalukan terungkap, jangan-jangan ada amalan atau ibadah yang mestinya ditujukan kepada Allah, namun dilakukan untuk mengharap pujian manusia semata. Hingga Allah mengganti pujian dengan celaan, kemuliaan menjadi kehinaan, nas’alullahal ‘aafiyah.
Sebagaimana dalam hal ibadah, fenomena ujub, pamer atau merasa hebat dari orang lain terjadi pula dalam hal duniawi.
Demi mendapatkan penghargaan dan penghormatan masyarakat, ada yang memaksakan diri untuk berpenampilan ’wah’ dan selalu mengikuti tren, meski sejatinya dia termasuk orang yang tidak mampu. Dia mengira, bahwa orang-orang akan berdecak kagum melihat penampilannya. Padahal, orang yang mengetahui realita kehidupannya akan geleng-geleng dibuatnya. Bukan karena kagum, tapi karena merasa kasihan bercampur jengkel melihat orang yang tak mau mengaca diri. Orang kaya yang sombong memang tidak terpuji, namun lebih parah lagi jika ada orang miskin yang sombong. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِر
”Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak akan disucikan, tidak akan dilihat dan baginya adzab yang pedih; orang tua yang berzina, raja yang pendusta dan orang miskin yang sombong.” (HR Muslim)
Bukan berarti orang yang diuji dengan sedikitnya harta tidak boleh berpenampilan menarik. Namun sisi celanya adalah pada mengada-ada dan memaksa diri dalam hal yang sebenarnya ia tidak mampu. Karena selayaknya seorang muslim tampil dalam wujud aslinya, jujur dengan kondisinya, dan tidak memoles diri dengan apa yang tidak dimampui agar disangka sebagai orang yang jauh lebih kaya atau lebih hebat dari kenyataannya. Inilah yang diumpamakan Nabi dengan istilah ’labisu tsaubai zuur’, memakai dua pakaian dusta. Belum lagi buntut dari ambisi tersebut tidak sederhana. Hutang yang menumpuk, kredit yang macet dan seabrek problem yang disandang hanya demi ambisi untuk dipuji.
Adapun orang yang diuji dengan kelebihan harta dan jabatan, lebih banyak lagi yang terjerumus pada sikap angkuh dan sombong. Tentang harta, Qarun dinyatakan tak lulus ujian lantaran ujub dan keangkuhannya, di mana dia berkata,
”Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (QS al-Qashash 78)
Begitupun Fir’aun, dinyatakan tak lulus ujian karena sombong atas kekuasaan yang dimilikinya, hingga dia mengaku sebagai tuhan,
”berkata (Fir’aun), ”Akulah Tuhanmu yang paling tinggi”. (QS an-Nazi’at 24)
Keduanya mati dalam keadaan terhina, dan bagi keduanya azab yang pedih di neraka. Sayangnya, banyak sekali qarun-qarun kecil dan fir’aun-fir’aun kecil yang mengikuti jejak keangkuhannya.
Mereka mengira, dengan unjuk kekayaan atau kekuasaan itu membuat orang akan mencintai mereka, membanggakan dan memuja mereka. Padahal sejatinya, kabanyakan orang muak melihat polah tingkah mereka yang angkuh. Dan berapa banyak orang-orang lemah yang justru mendoakan keburukan untuk mereka. Inikah kemuliaan? Tentu saja kehinaan lebih pas untuk menggambarkan keadaan mereka.
Di Akhiratpun Terhina
Belum lagi kelak di akhirat orang-orang yang angkuh akan semakin ternista dan tak berharga. Tak ada yang memandang mereka sebagai orang kaya atau pejabat. Nabi shallallahu alaihi wasallam menggabarkan keadaan mereka di akhirat,
يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِى صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ
”Orang-orang yang sombong pada hari Kiamat akan dihimpun pada hari Kiamat semisal semut kecil dalam bentuk manusia, kehinaan meliputi mereka dari segala penjuru.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan haditsnya hasan).
Begitulah nasib tragis mereka yang mencari kemuliaan dengan jalan menyimpang. Hina di dunia, nista dan siksa di akhirat. Adapun insan yang beriman tentulah menyadari, bahwa izzah dan kewibawaan itu hanyalah milik Allah seluruhnya. Hanya dengan taat kepada Allah pula, kewibawaan umat akan kembali. Firman Allah,
”Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (QS Fathir 10)
Alangkah indah doa yang dipanjatkan oleh seorang ulama salaf, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan taat kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan bermaksiat kepada-Mu.” Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)