Bukan Ketaatan Sesaat
Saat kesulitan dan bencana menimpa, ada satu nama yang akan selalu diingat, Allah. Segala macam permohonan dan doa diajukan. Kadang ditambah lagi dengan sedekah, beramal shalih dan berjanji akan terus menjadi hamba yang baik. Dalam hati kecil muncul harapan, semoga dengan cara tersebut badai masalah dan musibah segera berlalu. Namun, setelah problem teratasi orang tersebut ternyata lupa dengan janjinya.
Manusia seperti itu sebenarnya sedang merusak doanya sendiri. Sebab, doa bukan hanya lantunan kata-kata permohonan syahdu yang diucapkan saat butuh bantuan. Doa menuntut kita menjaga perilaku dan perbuatan secara kontinyu, baik di waktu senang maupun susah. Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكُرَبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِى الرَّخَاءِ
“Siapa saja yang ingin doanya dikabulkan oleh Allah SWT saat berada dalam kesulitan dan bencana, hendaklah memperbanyak doa di kala lapang.” (HR. Tirmidzi)
Hasan Al-Basri pernah membuktikan kebenaran hadits di atas dalam pelariannya dari kekejaman Hajjaj bin Yusuf. Beliau bersembunyi di rumah salah satu sahabatnya. Petugas keamanan berhasil menemukan jejaknya hingga ke dalam rumah. Mereka pun menggeledah seisi rumah. Memeriksa setiap sudut kamar dan lorong. Namun, mereka gagal menangkap ulama tabiin yang mereka cari. Setelah itu, petugas kembali untuk melapor ke Hajjaj bin Yusuf bahwa mereka kehilangan jejak buruannya. Hajjaj pun berkomentar. “Sungguh, dia ada di dalam rumah itu. Namun, Allah SWT menutup mata kalian sehingga tidak bisa melihatnya.”
Pertolongan Allah SWT kepada Hasan Al-Basri di atas tiba di waktu yang tepat. Hal itu merupakan buah dari amal shalihnya di waktu lapang. Beliau selalu menolong agama Allah SWT dengan menyebarkan ilmu agama. Karena itu, Allah SWT pun menolongnya di saat beliau sedang terjepit.
Pertolongan yang sama juga Allah SWT berikan kepada khalil-Nya, Ibrahim AS dari eksekusi hukuman mati. Diriwayatkan bahwa, Nabi Ibrahim dihukum karena merusak berhala kaumnya. Beliau dilemparkan dengan manjaniq dari puncak bukit ke arah kobaran api di bawah. Saat itu Jibril datang menawarkan bantuan. “Apakah kamu membutuhkan bantuanku?” “Adapun bantuanmu, aku tidak butuh. Aku hanya butuh pertolongan Allah SWT saja.” Jawab beliau. Kemudian beliau berdoa, “Hasbunallah wa ni’mal wakil. Cukuplah Allah menjadi Penolong kami. Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
Pertolongan Allah SWT kepada nabi Ibrahim AS juga atas amal shalihnya di waktu lapang. Saat semua orang di negerinya kufur kepada Allah SWT, Ibrahim rela menjadi manusia asing yang beriman. Karena itu, Allah SWT memuji kualitasnya sebagai orang yang hanif dan bersih dari kesyirikan.
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. An-Nahl: 123)
Ada pula Nabi Musa yang selamat berkali-kali dari kekejaman Firaun. Saat semua bayi Bani Israil dipancung, Musa berhasil selamat. Bahkan beliau menjadi bagian dari keluarga Firaun yang sangat dicintai. Setelah menjadi rasul, Musa selalu aman dari makar dan kekejaman Firaun.
Keselamatan tersebut adalah buah dari amal shalihnya yang tekun. Beliau selalu mengingat muraqabtullah, pengawasan Allah SWT sejak masih muda. Sikap itu menjaganya dari berbuat dosa walupun tidak ada orang yang melihat. Dikisahkan bahwa saat berkunjung ke rumah Nabi Syuaib, Musa menyuruh putri syuaib berjalan di belakangnya dan menunjukkan jalan. Hal tersebut dilakukannya untuk menjaga pandangannya atau ghaddul bashar dari wanita asing.
Berbeda dengan Musa, Firaun justru mendapat celaka pada saat ia menyaksikan kebenaran ancaman Musa. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa saat tenggelam ia mengatakan, “saya beriman kepada tuhannya Musa dan Harun” . Namun Allah SWT mementahkannya dan berfirman, “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 91)
Nasib tidak mujur juga dialami oleh Yahya bin Khalid Al-Barmakids. Barmakids adalah istilah untuk para pengungsi hindu dari Kashmir yang menyelamatkan diri pada saat terjadi konflik dengan orang-orang budha. Mereka berlindung ke negeri-negeri Islam, lalu menjadi muslim. Nasib mereka beruntung karena diterima dengan baik oleh Bani Abbasiyah. Bahkan diantara mereka ada yang menjadi pejabat, misalnya Yahya bin Khalid dan anaknya Ja’far bin Yahya. Bisa dibilang bahwa Keluarga Yahya bin Khalid bagaikan hidup dalam kolam harta. Mereka membangun istana megah yang diwarnai dengan cat emas dan perak. Tidak hanya itu, Yahya bahkan selalu dipanggil dengan sebutan “ayahku” oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid. Demikian pula Ja’far, ia bebas keluar- masuk istana khalifah, bahkan sampai mengganti pejabat serta penglima perang di lingkungan kekhalifahan, walaupun ia hanya menjabat sebagai gubernur.
Tapi, kemudahan yang dia peroleh tidak digunakannya dengan baik. Amanah yang seharusnya mereka tunaikan justru dilalaikan. Bahkan kewajiban Islam pun mereka gantikan dengan maksiat dan kejahatan. Karena itu saat ia membutuhkan pertolongan Allah SWT, doanya tidak didengar. Menurut cerita, Yahya bin Khalid dijebloskan ke penjara. Konon, lebih dari tujuh tahun ia tidak pernah melihat cahaya matahari. Penampilannya kacau, rambut dan kuku-kukunya panjang tak terurus. Hingga ia mengatakan bahwa tak ada bedanya antara hukuman yang ia rasakan di dunia dengan hukuman yang ada di akherat.
Nasib naas yang dialami oleh Yahya al-Barmakids bukan tanpa sebab. Menurut cerita orang yang menjenguknya, itu terjadi karena kedzalimannya saat memegang amanat. Ia mengatakan, “Aku tidak pernah ingat kepada Allah saat lapang, karena itu Dia tidak meningatku saat aku kesulitan. Musibah ini juga karena doa-doa orang yang kami dhalimi. Kami mengabaikan doa-doa mereka, namun Allah tak pernah melupakannya.” Diakhir hayatnya, Yahya hanya bisa menyesali kesalahannya. Satu pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan adalah, Ingatlah Allah SWT saat lapang agar dia mengingatmu saat kamu susah. Wallahu A’lam.