Buah Masak Sekularisme
Korupsi dan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri, kolega dan kelompok sampai hari ini terus menampakkan tren semakin serius dan tidak kenal bulu ; seluruh sudut kehidupan, semua departemen dan tingkatan eselon terambah, tanpa kecuali. Kasus belakangan yang paling mengejutkan adalah bagi-bagi komisi dalam proyek pengadaan kitab suci Al-Qur-aan yang melibatkan anggota dewan Zulkarnaen Djabar, Dirut PT Karya Sinergi Alam Indonesia Dendy Prasetya Zulkarnaen Putra yang tidak lain anak Zulkarnaen sendiri. Keduanya telah divonis 15 tahun dan 8 tahun penjara. (hukumonline, Selasa 21 Januari 2014).
Tak hanya keduanya yang terlibat, beberapa pejabat di Kemenag, termasuk Wamenag Nasaruddin Umar juga termasuk yang sudah diperiksa sebagai tersangka, Ahmad Jauhari menghadapi tuntutan 20 tahun penjara. Selain keduanya, masih ada beberapa orang lain di Kemenag yang diperiksa. Ada pula dari kalangan broker yang menjadi jangkar penghubung antara pengaju proposal dari Kemenag dengan Komisi VIII DPR yang menyetujui dan meneken proyek. Juga pihak penerbit peserta lelang pelaksana proyek.
Kasus penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan kitab suci Al-Qur-aan itu ternyata tidak hanya pada satu tahun proyek anggaran, ditengarai mark up tersebut setidaknya terulang 2 (dua) kali sejak 2011. Selain proyek pengadaan Al-Qur-aan, proyek pengadaan laboratorium komputer untuk madrasah tsanawiyah diduga juga telah terjadi penyelewengan. Kerugian negara diperkirakan lebih dari 27 milyar rupiah. (REPUBLIKA.CO.ID.06 Januari 2014).
Tak Peduli Obyek
“Ini korupsi super nekat. Ini mencerminkan parahnya kondisi korupsi di Indonesia. Jangankan untuk kepentingan manusia, tapi untuk kepentingan Tuhanpun juga dikorupsi”, kata Ade Irawan di kantor ICW, Kamis 05 Juli 2013. (hukumonline, Selasa 21 Januari 2014).
Pernyataan di atas berbicara dengan logika umum dalam sebuah komunitas masyarakat yang dianggap ‘religius’. Dalam anggapan awam -kira-kira- (bahwa) agak curang, tidak jujur dan menguntungkan diri sendiri dalam hubungan sesama manusia masih bisa dimaklumi (?), tetapi kalau perbuatan seperti itu dilakukan dalam proyek pengadaan kitab suci Al-Qur’aan itu tidak patut, tidak dapat dimaklumi dan dianggap nekat, karena kitab suci merupakan kepentingan Tuhan. Sejatinya logika itu rancu. Kalau berbicara persoalan birokrasi di Kemenag, ya tentu saja urusannya sekitar pengadaan kitab suci, pencetakan buku nikah, dana zakat, hingga urusan haji dan umrah (mulai dari proyek catering lebih dari 200.000 orang selama musim haji, pencetakan buku panduan haji sampai dana abadi umat Islam dari penyelenggaraan haji tersebut).
Maksudnya, jika para birokrat di Kemenag mau melakukan korupsi dan menyalahgunakan wewenang, tentunya obyek yang dikadali segala sesuatu yang dianggap sebagai ‘kepentingan Tuhan’ itu.
Tegasnya, ketika seseorang sudah berniat untuk melakukan kejahatan, dia akan menunggu kesempatan terbukanya peluang untuk melakukan kejahatan itu, atau lebih maju lagi, menciptakan peluang itu, sehingga dia dapat melakukan aksi. Pada titik kritis ini, pertimbangan apakah itu ‘kepentingan Tuhan’ atau bukan, akal sehat tidak lagi bekerja. Obyek kejahatan tidak lagi masuk dalam pertimbangan.
Dulu, ketika para pemimpin agama Nashrani di abad pertengahan mulai berpaling dari tanggung jawab, rakus kepada harta dan hendak memperkaya diri sendiri, mereka menjual surat ‘surat Aflat’ (surat pengampunan dosa dan jaminan masuk surga), hasil penjualan masuk pundi-pundi para pembesar gereja. Tak jauh berbeda, substansinya sama.
Secara Kualitatif Sudah Tidak Ada Perbedaan
Meskipun Indonesia bukan negara yang berdasar atas suatu agama tertentu, tetapi sebagian dari sub sistemnya dianggap lebih dekat secara kualitatif terhadap urusan umat Islam. Kementrian Agama (dahulu Departemen Agama), karena kedekatannya pekerjaan –pekerjaan yang diurusi dengan urusan pelaksanaan agama umat Islam, orang mempunyai anggapan bahwa kementrian ini tidak sekuler, agamis, bahkan representasi dari ajaran Islam. Jangan heran kalau ada yang berpendapat bahwa menjadi guru agama di bawah Kemenag merupakan wujud dari fid-dunyaa hasanah wa fil-aakhiroti hasanah,…Nah!!
Karena sistem itu bersifat unity, satu kesatuan dan bersifat meng-integrasikan, apalagi jiwa sistem sekuler yang anti tuhan dan anti agama, maka perlahan tetapi pasti jiwa sistem yang laa diniyah tersebut men-shibghoh (mewarnai) seluruh bagian sistemnya tanpa kecuali. Pada akhirnya, keadaannya seperti target yang dicanangkan oleh gerakan sekularisme, …mengubah arah kehidupan manusia dari ber-orientasi pada kehidupan akherat kepada orientasi pada sebatas kehidupan duniawi saja.
Kini, Kemenag dan jajaran birokrasinya, dengan perkara-perkara yang diurus, yang sebenarnya sangat dekat dengan implementasi ajaran agama Islam tadi, tetapi karena orientasi pelaksanaan dari pekerjaan-pekerjaan itu bukan untuk mengagungkan Allah, memakmurkan syiar agama-Nya dan menghidupkan sunnah nabi-Nya, maka atsar (pengaruh) pada jiwa pelakunya menjadi aktual, nyata dan mengejutkan banyak orang, hingga prestasi buruk terakhirnya, proyek pengadaan Al-Qur-aan pun tidak selamat dari ketamakannya. Di tempat-tempat dan pada perbuatan-perbuatan yang seharusnya menjadi wasilah taqorrub (sarana mendekatkan diri) kepada Allah, justru mengukir prestasi kejahatan. Tak berlebihan jika Depag pernah menjadi departemen ter-korup. Betapa jahatnya paham sekularisme yang memisahkan kehidupan dari campur tangan agama. Kenyataan ini membalikkan persepsi awam umat Islam bahwa ada sub-sistem dari totalitas sistem yang sekuler ini yang tidak sekuler. Semua flat (sama), buah sekularisme itu sudah masak.
Cinta Dunia, Pangkal Semua Keburukan
Dimulai dari perubahan orientasi, kemudian mewarnai cara berpikir dan muaranya adalah perubahan tingkah laku. Sekularisme yang menjadi jiwa sistem pemerintahan ini memancarkan pengaruhnya kepada siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui jiwa hakiki sekularisme adalah menafikan kehidupan setelah mati, berorientasi pada hidup dan kehidupan di dunia, mencela dan menganggap orang yang berorientasi pada hidup dan kehidupan sesudah mati sebagai kolot dan tertinggal.
Di atas pondasi ini kehidupan sekuler dibangun. Maka setelah itu kita dibuat terkaget-kaget melihat paradoks yang tersaji ; yang diurusi selalu berkaitan dengan amal ibadah tetapi korupsi, tampilan luarnya berjilbab, para lelakinya berpeci dan berjenggot, tetapi menyalahgunakan wewenang dan memperkaya diri, ketika ada orang datang membawa hadiah agar perusahaannya memenangkan tender dia tidak mampu mengenali bahwa hadiah itu suap dan gratifikasi, hilang kemampuan untuk memilah haq-bathil, halal-haram.
Jundud bin Abdullah al-Bajaliy berkata :
Orientasi kepada dunia merupakan pangkal semua kejahatan
WalLoohu A’lam bi ash-Showaab.