Berbagi Ilmu Meski Berstatus Penuntut Ilmu
Banyak cara untuk menjaga ilmu dan menambahnya. Salah satunya adalah dengan mengajarkan kepada orang lain. Sebagaimana sedekah harta bisa menjadi sebab datangnya kekayaan, begitupun dengan sedekah ilmu. Dengan berdakwah atau mengajarkan ilmu kepada yang lain bisa membantu kita untuk melekatkan ilmu dalam ingatan kita. Sekaligus sebagai motivasi untuk beramal, karena kita tentu akan berusaha menjadi teladan bagi orang-orang yang kita bina. Maka, manusia terbaik dalam hal ilmu adalah orang yang belajar dan sekaligus mengajar. Nabi SAW bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik di antara kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Bukhari)
Hanya saja, sebagian mungkin mengalami bimbang ketika hendak berdakwah. Baik dalam arti dakwah fardiyah ataupun dalam bentuk ceramah dan khutbah. Bimbang tatkala mengukur tingkat ilmu, sudahkah layak untuk berdakwah, atau harus menambah dahulu ilmu yang dimiliki sebelum nantinya akan berdakwah juga. Atau bimbang ketika memikirkan konsekuensi sebagai seorang yang berdakwah, yang berarti dia harus mengamalkan apa yang dia serukan, sekaligus meninggalkan dosa yang telah ia larang orang lain untuk melakukannya.
Kapan Layak Berdakwah
Jika ditanya, setinggi apakah ilmu yang mesti dimiliki, atau seberapa banyak ilmu yang harus dimiliki untuk memenuhi syarat sebagai da’i, memang tidak ada ukuran pasti. Tapi, Allah telah mengambil komitmen bagi siapapun yang telah dikaruniai ilmu untuk menyebarkan kepada yang lain dan tidak menyembunyikannya. Allah berfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikann..,” (QS. Ali Imran; 187).
Berangkat dari ayat ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menegaskan, “Maka sudah menjadi tanggung jawab bagi orang yang telah diberi ilmu syar’i untuk menyampaikan kepada orang lain sesuai tempat dan kondisinya.”
Nabi SAW juga dengan tegas memberikan perintah sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari, “Ballighuu ‘anni walau ayatan..”, sampaikan sesuatu dariku meskipun hanya satu ayat.”
Ada dua sisi ekstrim dalam salah dalam memahami hadits ini. Ada yang dengan alasan menyampaikan lalu dia melewati batas pengetahuannya dalam berdakwah. Dia mengatakan apa-apa yang tidak diketahui ilmunya. Ini jelas melanggar firman Allah,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’; 36).
Ada lagi yang sebaliknya. Karena merasa ilmunya belum sempurna, atau kapasitas ilmunya belum mencapai derajat ulama lalu takut menyampaikan sedikitpun dalam hal syari’at. Padahal di antara sekian ilmu yang pernah dipelajari itu ada yang jelas-jelas dia ketahui asalnya dari Nabi SAW. Berarti dia tidak menjalankan perintah Nabi, “ballighu ‘anni…” Adapun sikap yang dituntut dari hadits tersebut adalah hendaknya kita berdakwah, namun kita tidak boleh menyampaikan kecuali apa yang sudah kita ketahui ilmunya.
Belum Mengamalkan Seluruh Ilmu
Keraguan lain yang membuat seseorang canggung dalam berdakwah adalah karena merasa belum mengamalkan semua ilmunya, atau masih terjerumus sesekali melakukan larangan yang sudah dia ketahui dosanya. Hal ini membuatnya takut untuk berdakwah, karena Allah berfirman,
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. ash-Shaf 3).
Padahal ayat itu bukan melarang kita berdakwah, tapi perintah untuk mengamalkan apa-apa yang kita dakwahkan. Jika ayat itu dimaknai sebagai larangan berdakwah selain yang sudah mengamalkan dan terbebas dari kemaksiatan, tentu tidak ada yang layak berdakwah selain Nabi SAW. Karena tak ada lagi setelah beliau manusia yang ma’shum, terbebas dari dosa.
Pakar tafsir di kalangan tabi’in, Said bin Jubair berkata, “Seandainya seseorang tidak menyeru kepada yang ma’ruf dan tidak mencegah dari perbutan mungkar kecuali hingga pada dirinya tidak ada pelanggaran terhadap salah satu dari keduanya maka tidak seorangpun yang menyeru kepada yang ma’ruf tidak pula mencegah dari yang mungkar.” Imam Malik RHM mengomenatari perkataan Said bin Jubair tersebut, “Benarlah Said, siapakah yang tidak pernah melakukan dosa?”
Karena itulah, Hasan al-Bashri berkata kepada Muttharif, “Nasihatilah sahabat-sahabatmu!” Muttharif menjawab, “Saya takut kalau saya mengatakan apa yang tidak saya perbuat.” Al-Hasan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, siapa di antara kita yang sudah melakukan apa yang ia katakan? Setan sangat ingin menang atas kita dalam urusan semacam ini, lalu tidak seorangpun yang menyeru pada yang ma’ruf dan tidak sorangpun mencegah kemungkaran.”
Hanya saja, penjelasan ini jangan dipahami sebagai dispensasi untuk meninggalkan yang ma’ruf dan mengerjakan suatu kemungkaran, karena perbuatan seperti itu akan menjerumuskan dirinya pada kemurkaan Allah karena berarti ia telah meremehkannya. Sudah seharusnya ia berusaha menjadi orang pertama yang mengerjakan apa yang ia serukan dan meninggalkan apa yang ia larang.
Ringkasnya, bahwa dalam urusan memerintahkan yang ma’ruf, mengerjakannya terlebih dahulu bukanlah menjadi syarat untuk menyeru kepada yang ma’ruf demikian juga sebaliknya dalam mencegah kemungkaran, meninggalkannya bukan menjadi syarat seseorang baru boleh melakukan pencegahan, maka tidak boleh mengatakan kepada orang yang menyeru yang ma’ruf atau mencegah kemungkaran, “Kamu jangan menyuruh kepada yang ma’ruf dan jangan mencegah dari yang mungkar” akan tetapi katakan kepadanya, “Teruskanlah memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan bertakwalah kepada Allah terhadap apa-apa yang kamu perbuat dan apa yang kamu tinggalkan.”
Maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim mengumpulkan dua keburukan, keburukan berupa dosa, dan keburukan karena meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar. Wallahu a’lam bishawab.