Batas Waktu Ta’ziyah
Di tengah-tengah masyarakat masih sering terjadi perdebatan seputar waktu ta’ziyah. Apakah ta’ziyah dilakukan sebelum dikuburkan atau sesudahnya? Dan bagaimana batasannya? Tulisan di bawah ini menjelaskannya.
Mayoritas ulama membolehkan berta’ziyah sebelum atau sesudah mayit dikuburkan, tetapi yang lebih utama adalah setelah mayit dikuburkan. Imam Nawawi menuliskan di dalam al-Majmu’ Syarh al- Muhadzab: V/306:
Ulama-ulama kami berkata, “Berta’ziyah boleh dilakukan sebelum dikuburkan mayit maupun sesudahnya, tetapi berta’ziyah sesudah dikuburkan lebih baik dan lebih utama, karena sebelum dikuburkan keluarganya sibuk dengan pengurusan jenazah, dan setelah dikuburkan kesepian dan kesedihan mereka setelah ditinggalkan lebih terasa, maka waktu tersebut lebih tepat untuk bert’ziyah.“
Sebagian ulama berpendapat bahwa ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya makruh, karena setelah mayit dikuburkan maka urusannya selesai. Sedangkan tujuan ta’ziyah adalah mengibur dan membantu apa yang dibutuhkan keluarga yang ditinggalkan, hal itu dianggap selesai dengan selesainya penguburan. Tentunya pendapat ini sangat lemah, karena tujuan ta’ziyah bukan sekedar membantu di dalam pengurusan jenazah, tetapi untuk menguatkan hati mereka, agar tetap sabar dan tidak putus asa, dan itu bisa berlangsung sampai selesainya penguburan si mayit.
Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat apakah ta’ziyah setelah mayit dikuburkan terbatas sampai tiga hari saja atau tidak dibatasi oleh waktu tertentu ?
Pendapat Pertama : Batasan waktu ta’ziyah adalah tiga hari setelah mayat dikuburkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Imam al-Juwaini berkata bahwa batasan tiga hari ini hanya perkiraan, bukan suatu batasan baku yang tidak boleh dilanggar.
Dalilnya adalah:
Pertama: Tujuan ta’ziyah adalah menenangkan hati orang yang terkena musibah. Setelah tiga hari biasanya hati sudah kembali tenang. Berta’ziyah setelah tiga hari dari musibah, justru bisa memperbarui kesedihannya.
Hal tersebut diterangkan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab: V/306. Menurutnya, hal ini adalah pendapat yang shahih dan ma’ruf.
Kedua: Mengqiyaskan kepada waktu al-Ihdad (berkabung bagi perempuan) ketika mendapatkan musibah. (lihat al-Bahuti di dalam Syarh Muntaha al-Iradat: I/381). Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas suatu kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka dia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim )
Ketiga: Ini sesuai dengan tabi’at manusia yang sering kaget dan terkejut, serta susah bersabar pada saat-saat pertama terkena musibah. Berbeda jika musibah itu sudah berlalu agak lama, maka dengan sendirinya orang tersebut bisa melupakannya.
Ini sesuai dengan hadist Anas bin Malik yang menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berjalan melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur. Maka Beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata, “Menjauhlah dari saya, karena kamu tidak mengalami musibah seperti yang aku alami.” Wanita itu tidak mengetahui beliau. Ketika hal itu diberitahu kepadanya, maka wanita tersebut mendatangi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata beliau tidak ada pengawalnya, dan dia berkata; “Maaf, tadi aku tidak mengetahui Anda.” Maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya sabar itu pada saat pertama datang musibah.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa kesabaran yang sesungguhnya adalah saat-saat pertama terkena musibah, sehingga perlu untuk selalu didampingi dan dihibur.
Keempat: Dalam sebuah penelitian sebagaimana dinukil dalam myhealthnewsdaily.com, seseorang yang sedih karena ditinggal mati orang yang dicintai, pada 24 jam pertama, dia akan mengalami peningkatan risiko serangan jantung sampai 21 kali. Dan selama minggu pertama resiko ini masih dalam level 8 kali di atas normal. Dan meskipun risiko serangan jantung nantinya secara perlahan-lahan menurun dari waktu ke waktu, tetapi tetap saja tinggi paling tidak dalam satu bulan.
Ini semua menunjukkan bahwa disunnahkan untuk segera berta’ziyah kepada orang yang terkena musibah dalam waktu tiga hari, agar kesedihannya tidak berkepanjangan yang akan mengakibatkan berbagai masalah dalam kesehatannya.
Pendapat Kedua: Tidak ada batas tertentu dalam berta’ziyah. Ini pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah.
Dalilnya adalah:
Pertama: Hadist Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan tentang keadaan keluarganya setelah meninggalnya Ja’far bin Abdul Muthalib dalam perang Mu’tah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi waktu tiga hari kepada keluarga Ja’far, kemudian beliau datang kepada mereka, dan bersabda , “Janganlah kalian menangisi saudaraku sesudah hari ini.” (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah berta’ziyah kepada keluarga Ja’far setelah tiga hari, berarti tidak ada batas waktu tertentu untuk berta’ziyah.
Kedua : Tujuan ta’ziyah adalah mendoakan dan menghibur serta menguatkan hati agar yang tertimpa musibah tetap bersabar dan tidak melakukan ratapan. Hal ini berlaku setiap saat dan dalam jangka waktu yang panjang. Imam Nawawi menjelaskan di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, “Imam Haramain pendapat lain (dari madzhab Syafi’iyah) bahwasanya tidak ada batasan tertentu di dalam berta’ziyah, maka boleh dilakukan setelah tiga hari, walaupun kadang sudah lama, karena tujuan berta’ziyah adalah mendo’akan dan memberikan motivasi agar tetap bersabar dan jangan sampai berkeluh kesah, dan hal seperti ini bisa dilakukan walau musibahnya sudah berlalu lama.“
Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ta’ziyah kepada orang yang terkena musibah, terutama musibah kematian, dapat dilakukan sebelum dan sesudah mayit dikuburkan. Jika berta’ziyah setelah mayit dikuburkan sebaiknya dilakukan pada hari itu juga, sampai batas tiga hari, sebagaimana pendapat mayoritas ulama, karena biasanya keluarga korban sangat terpukul selama hari-hari tersebut, maka mereka sangat memerlukan orang-orang yang menghiburnya dan menguatkan serta motivasi mereka agar tetap tegar dan sabar serta tidak berputus asa.
Adapun jika tidak bisa datang pada hari-hari tersebut karena suatu hal, maka dibolehkan untuk berta’ziyah setelah hari itu, karena kadang sebagian orang kesedihannya berkepanjangan sampai berhari-hari lamanya, maka dia masih membutuhkan orang yang bisa menguatkan hati dan menghibur dari dukanya. Wallahu A’lam.
Pondok Gede, 6 Sya’ban 1436 H/ 24 Mei 2015 M