Ayah Peraih Piala
Saya selalu terharu jika mendapati seorang anak yang dengan yakin ingin menjadi seperti ayahnya, kelak, jika mereka dewasa. Di tengah serbuan begitu banyak tokoh ‘hero’ yang tampak sangat hebat, kehadiran sosok ayah yang menginspirasi jelas sebuah prestasi yang layak diacungi jempol. Apalagi pengakuan itu datang dari pihak yang berinteraksi langsung, kemudian nyata-nyata mendapatkan manfaatnya.
Bukan saja membuat iri, figur ayah teladan seperti ini, bahkan sangat membuat saya ingin menjadi seperti mereka. Para ayah yang telah menunjukkan dominasi sosok mereka, mengalahkan berbagai tokoh hebat lainnya, riil maupun fiktif belaka. Buah dari kejujuran pendidikan dan kedekatan emosional antara mereka dengan anak-anak. Sehingga gambaran utuh antara kebanggaan, kekaguman, dan penghargaan terpatri kuat di benak anak-anak itu.
Selain keikhlasan menjalani peran, keteladanan yang kuat juga memberi andil yang tidak sedikit. Bukan abai akan kewajiban atau sibuk menjejalkan berbagai teori kosong, sosok ayah menjadi nyata, menginjak bumi, dekat dengan kehidupan sehari-hari, hingga mengisi hati dan jiwa anak-anak akan berbagai nilai positif dalam hidup. Begitu berpengaruh.
Padahal, tentu tidak mudah membuat anak-anak memiliki cita-cita menjadi seperti ayah mereka. Ibarat bercermin, apa yang dipantulkan oleh kepribadian ayah sangat memuaskan anak-anak itu, sehingga mereka seperti melihat bayangan diri sendiri di masa depan. Mencukupkan diri dari menginginkan orang lain, meski mereka tahu, karena kebanggaan akan ayah mereka yang sangat kuat. Bukankah yang demikian ini sangat mengagumkan?
Meski memang, orangtua adalah pihak pertama, yang dikenali anak-anak dalam proses pendidikan mereka, jauh sebelum mereka mengenal orang-orang lain. Sehingga setiap orangtua berpeluang besar menjadi orang paling berpengaruh dalam kehidupan anak-anak, karena merekalah yang menjadikan anak-anak itu sebagai Yahudi, Nasrani, Majusi, atau tetap di atas fithrah keislaman. Tapi faktanya, banyak yang tidak menggunakan kesempatan ini dengan baik. Alih-alih mengerti akan tanggung jawab mereka sebagai orangtua, anak-anak yang terlantar, terutama secara psikologis, sangat bejibun jumlahnya.
Para orangtua, terutama ayah, adalah figur penjaga fithrah Allah pada diri anak-anak itu, sehingga mereka tumbuh dalam semangat kuat menemukan identitas asli mereka, menjadi hamba Allah. Karena anak diciptakan di atas fithrah itu, sehingga para orangtua berkewajiban menjaganya dari penyimpangan. Itulah hak anak dari orangtua, dan itu harus ditunaikan. Dan tanggung jawab ini, kelak, akan dipertanggungjawabkan. Maka para orangtua, terutama ayah, adalah pemeran utama bagi semua proses itu. Memaknai peran sebagai ayah dan ibu, yang bukan sekadar menyediakan kebutuhan lahiriyah belaka, namun juga kebutuhan batiniyah. Kebutuhan asasi sebagai upaya pemenuhan pendidikan menjadi manusia seutuhnya.
Karena anak-anak adalah ladang persemaian, orangtua serupa petani yang merawat tanamannya agar tumbuh dengan baik membuahkan hasil yang membanggakan. Di mana kesuburan tanamannya tidak akan terlepas dari upaya pembersihan hama dan gulma, juga tangan-tangan jahil yang ingin mencabutnya sebelum masa panen tiba. Selain, tentu saja, pemupukan, pengairan, dan semua bentuk perawatan yang lain.
Sehingga pengabaian kebutuhan pen-didikan anak adalah sebuah pengkhianatan peran. Karena anak-anak harus belajar tentang hidup, nilai, tujuan, hingga standar moral yang jelas, maka para ayah harus berupaya terus menerus tanpa kenal lelah untuk memelihara fithrah mereka. Membiasakan dalam ketaatan, mengajari kebaikan, juga menghindarkan dari berbagai kotoran dosa dan maksiat.
Keshalihan anak adalah keadaan khas yang unik dan membutuhkan proses dan metode yang unik pula. Ia berbeda secara keseluruhannya dengan metode pendidikan anak yang lain, yang tidak berdimensi akhirat. Sehingga merujuk kepada ajaran Rasulullah dalam mendidik mereka sangatlah diniscayakan. Selain juga kesiapan untuk menjadi teladan bagi mereka dalam meyakini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Dan jika ditambah dengan keikhlasan, kejujuran, dan keadilan, peran ini akan menemukan jalannya yang unik itu.
Maka, anak-anak yang terjaga fithrahnya, akan memiliki konsep diri yang jelas, sejelas arah hidup yang hendak dituju. Buah yang tampak nyata adalah bakti yang menentramkan jiwa, penyejuk hati yang terlihat taat kepada Allah dan bersiap menjelani peran mereka sendiri sebagai hamba Allah. Dan jika mereka menemukan kesamaan identitas ini pada para ayah mereka, bukankah memang tidak perlu jauh-jauh mencari figur teladan itu?
Merekalah para ayah yang pantas mendapat piala. Dan inilah keberhasilan sesungguhnya di dalam hidup ini. Hal yang jauh lebih bernilai daripada tumpukan materi, yang pencapaiannya acapkali menggeser orientasi hidup, yang sejatinya akan usang bersama waktu, untuk kemudian berpindah ke tempat sampah. Sedang anak shalih akan tetap melantunkan doa-doanya. Mengalirkan pahala, jauh, hingga hanya Allah yang tahu samapi kapan semuanya berlansung.
Sungguh, saya cemburu kepada para ayah itu! Dan saya sangat ingin menjadi bagian dari mereka.