Antara Adat Suro dan Keutamaan Asyura
Dengan berbagai latar belakang yang berbeda, hingga kini bulan Muharram masih disambut dan diisi dengan serangkaian ritual dan keyakinan yang khas. Di Jawa misalnya, banyak yang menyebut bulan ini dengan bulan Suro. Makna khusus dari bulan ini bagi orang Jawa banyak diwarnai dengan penafsiran dan keyakinan yang berbau mitos. Maka jika berbicara mengenai mitos dan ritual kejawen, maka bulan Muharram adalah bulan paling ramai dan heboh dibanding bulan-bulan yang lain.
Muharram, antara Kejawen dan Syi’ah
Pagelaran wayang, tirakatan (begadang) semalam di permulaan bulan, menjamas (memandikan) jimat dan pusaka, maupun acara-acara ruwatan banyak dilakukan di bulan ini. Sebagian lagi berkeyakinan bahwa pada bulan ini pantang untuk bersenang-senang, tidak boleh menggelar hajatan pernikahan. Yang ada hanyalah ritual dengan tujuan agar dihindarkan dari kesusahan, malapetaka serta bencana. Baik dengan sesaji dengan hewan sembelihan, ‘sedekah’ laut dan ritual lain yang lebih identik dengan kesyirikan.
Tak sedikit masyarakat yang ikut melestarikan tradisi tersebut dengan dalih sekedar menjalani adat, atau melestarikan budaya. Seakan alasan ini memansukh (menghapus) larangan perbuatan yang dinilai syirik menurut syariat. Memang Islam tidak menghukumi buruk seluruh adat, sebagaimana dahulu di kalangan masyarakat Arab juga memiliki adat. Di antara adat-adat tersebut ada yang dibiarkan, ada yang dikukuhkan sebagai bagian kebaikan, namun ada juga yang dilarang oleh Islam.
Yakni adat yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid, bertentangan dengan syariat yang lurus, atau menyelisihi akhlaqul karimah.
Seperti tradisi menyembelih hewan di atas kuburan, sebagai taqarrub kepada orang yang telah mati, atau yang disebut dengan ’ al-‘aqr’. Islam kemudian menghapusnya sebagaiman hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“Tak ada ‘aqr di dalam Islam.” (HR Abu Dawud)
Abdur Razzaq rahimahullah yang meriwayatkan hadits tersebut menjelaskan,
“Dahulu mereka (orang Arab) biasa menyembelih sapi atau kambing di atas kuburan”
Begitupun dengan adat di Jawa atau manapun itu, hendaknya ditimbang dengan barometer syar’i. Tak dipungkiri, banyak tradisi di Jawa dan yang lain yang bercampur dengan kesyirikan. Bahkan sebelum datangnya agama Hindu dan Budha di Jawa, orang Jawa telah mengenal suatu keyakinan yang bersifat sinkritisme , yaitu Animisme dan Dinamisme, kemudian tarcampur pula dengan tradisi Hindu atau Budha hanya sebagai pewarna. Maka, sebagai seorang muslim, kita terikat oleh batasan-batasan syar’i yang tidak boleh dilanggar. Apalagi dalam hal-ha yang bisa membatalkan tauhid. Alasan mengikuti nenek moyang tidak bisa menyelamatkan kita dihadapan Allah.
Bahkan Allah berfirman,
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS al-Maidah 104)
Adapun menjadikan sebagai bulan kesusahan besar kemungkinan karena terpengaruh oleh tradisi syi’ah yang menjadikan tanggal 10 Muharram sebagai hari berkabung atas terbunuhnya sahabat Husein radhiyallahu ‘anhu.
Banyak dari mereka menjalani ritual dengan menangis, meratapi peristiwa yang menimpa Al-Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma dengan sengaja memukul-mukul kepala, dada dan seluruh badan mereka dengan tangannya sekeras-kerasnya. Tak hanya itu, kadang mereka melukai diri dengan rantai, pedang atau apa saja sehingga mengeluarkan darah untuk menunjukkan rintihan dan kesedihan dalam mengenang peristiwa itu. Dan ini dianggap sebagai bentuk peribadatan yang mendatangkan pahala.
Padahal Islam melarang niyahah (meratapi) orang yang telah wafat. Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).
Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim, “Mengenai orang yang melakukan niyahah lantas tidak bertaubat sampai mati dan disebutkan sampai akhir hadits, menunjukkan bahwa haramnya perbuatan niyahah dan hal ini telah disepakati.”
Andai saja perbuatan semacam itu dianjurkan, tentu dianjurkan pula untuk meratapi wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam, begitupun dengan Abu Bakar, Umar,Utsman, Ali radhiyallahu ‘anhum dan sahabat Nabi yang lain.
Lantas bagaimana Islam menyikapi Muharram?
Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan Allah. Empat bulan tersebut adalah, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya jumlah bulan di Kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. At Taubah: 36)
Bulan Muharram memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah (syahrullah). Disunnahkan untuk melakukan shaum Asyura’ (tanggal 10 Dzulhijjah) dan menambah dengan satu hari sebagai pembeda dengan Yahudi, baik sebelum maupun sesudahnya. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan keutamaan shaum Asyura’,
Dari Abu Qatadah RA bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Shaum hari ‘Asyura, aku mengharapkan pahalanya di sisi Allah dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun sebelumnya.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
Ketika Nabi menjelaskan shaum Asyura’, para sahabat berkata: “Itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, beliau bersabda: “Jika datang tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan, akan tetapi beliau meninggal pada tahun tersebut.” (HR. Muslim).
Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)
Pingback: Amalan Bid'ah vs Amalan Sunnah Di Bulan Muharram