Amanah, Jalan Aman Menuju Jannah
Dari Hudzaifah bin Yaman berkata, ”Suatu kali penduduk Najran datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, ”Utuslah kepada kami seorang laki-laki yang terpercaya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, ”Sungguh saya akan mengutus kepada kalian seorang laki-laki terpercaya, betul-betul amanah.” Para sahabat Rasulullah berharap mendapat kehormatan tersebut, dan ternyata beliau mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Bukhari)
Dalam riwayat lain milik Ibnu Asakir dari Anas, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, ”Setiap umat memiliki kepercayaan dan sesungguhnya kepercayaan kita adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” Lalu beliau menekan lambungnya (untuk bercanda) seraya berkata, ”Lambung seorang mukmin.”
Amanah, Jalan Menuju Jannah
Dialah Abu Ubaidah salah satu di antara sahabat yang dijanjikan masuk jannah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana para sahabat lain yang memiliki unggulan amal, begitupun beliau memiliki amal unggulan. Yakni sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa beliau adalah orang yang sangat amanah hingga dijuluki amiinu hadzihil ummah, orang kepercayaan umat ini.
Antara amanah dan jannah memang tak terpisah. Ketika jannah di tempati oleh orang-orang yang beriman, maka amanah menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Hingga Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.” (HR Ahmad)
Sifat amanah akan mengantarkan pemiliknya menuju jannah. Karenanya, tidak hanya di satu tempat Allah menyebut karakter orang yang akan mewarisi jannah adalah orang-orang yang menjaga dan menunaikan amanahnya. Seperti firman Allah Ta’ala,
(QS al-Ma’arij)
Sifat amanah mengharuskan seseorang menunaikan apa yang menjadi tugasnya, menyampaikan titipan kepada yang berhak menerimanya, dan tidak berlaku khianat dengan berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menunaikan amanah dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada ahlinya.” (QS an-Nisa’ 58)
Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “Perintah menunaikan amanah ini meliputi segala amanah yang diwajibkan atas manusia yang terdiri dari dua macam; amanah yang terkait dengan hak Allah berupa shalat, shaum dan yang lain. Dan juga aanah yang berhubungan dengan manusia seperti titipan dan lain-lain.”
Jenis Amanah yang Harus Dijaga
Amanah paling agung adalah amanah agama Islam, sehingga disebut sebagai al-amanah al-uzhma. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh,” (QS 33: 72).
Shahabat Ibnu ‘Abbas, Imam Mujahid dan adl-Dlahhak berkata, “Amanah Allah adalah seluruh kewajiban-kewajiban yang diwajibkan oleh Allah.”Sedangkan al Qurthubi berkata dalam tafsirnya, “amanah dalam ayat ini mencakup segala tugas-tugas (menegakkan) agama.”
Tidak diragukan lagi, menegakkan syariat Islam dalam seluruh lini kehidupan adalah amanah yang berada di pundak kita. Berlaku amanah dalam poin ini mengharuskan seseorang untuk terus melakukan proses belajar ilmu syar’i, mencari tahu detil syariat yang Allah gariskan, lalu menjadikan syariat itu sebagai parameter kebenaran, dan sebagai acuan untuk berbuat dan berucap.Baik dalam mengatur hubungan antara hamba dengan Allah, antara seseorang dengan orangtua, keluarga, tetangga, masyarakat dan bahkan dalam mengelola negara. Maka barangsiapa mengalihkan perkara-perkara tersebut dan menjauhkannya dari syariat, maka dia telah berkhianat atas apa yang Allah amanahkan kepadanya.
Termasuk amanah yang harus dijaga adalah segala nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita, baik berupa penglihatan, pendengaran, tangan, kaki, lisan, harta dan yang lain. Semuanya harus dijaga dan digunakan sesuai kehendak yang Memberi amanah, dan tidak dipergunakan kecuali untuk perkara yang diridhai-Nya.
Maka barangsiapa yang menggunakan nikmat Allah untuk maksiat,maka dia telah berlaku khianat.
Mata adalah titipan dari Allah yang harus dijaga dan dipergunakan sesuai kehendak-Nya. Hendaknya melihat dan membaca hal-hal yang layak dibaca dan dilihat. Dan tidak mmenggunakannya untuk melihat atau membaca perkara yang dilarangnya. Jika melihat aib saudaranya, hendaknya ia tidak menyebarkan kepada orang lain.
Begitupula dengan pendengaran dan lisan. Alangkah pentingnya saling mengingatkan dalam hal ini, saat di mana kondisi menyebabkan umumnya manusia mudah terjatuh dalam dosa karena keduanya. Bagi laki-laki, menundukkan pandangan bukanlah hal mudah di zaman sekarang. Dan bisa jadi mata menyumbang dosa paling sering bagi lelaki. Sedangkan bagi kaum wanita, menjaga lisan menjadi amanah berat yang harus dijaga ketat.
BACA JUGA: Amanah Yang Mendatangka Berkah
Bisa jadi bagi wanita lisan menjadi penyokong terbanyak dalam hal dosa disbanding anggota badan lainnya. Hingga seorang ulama memberikan analisa bahwa ketika laki-laki menangis, maka ia memegang mata, seakan mengisyaratkan dari mana dosa bermula. Sedangkan wanita, ketika menangis dia memegang mulutnya, seakan menjadi isyarat pula, dari mana asal dosa bermula.
Adapun amanah harta, hendaknya tidak mengambil harta kecuali dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat. Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi para pedagang yang amanah,
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).” (HR Ibnu Majah, al-Hakim dan lain-lain)
Termasuk amanah adalah menjalankan pekerjaan sesuai hak dan kewajibannya. Tidak mengambil apa-apa yang bukan menjadi haknya, dan tidak pula menelantarkan kewajibannya. Kisah yang patut dijadikan teladan adalah apa yang dialami oleh Mubarak, ayahanda dari Abdullah bin Mubaarak rahimahumallah.
Disebutkan kisahnya dalam Kitab A’lamul muslimin Abdullah bin Mubarak al-Imam al Qudwah, Muhammad Utsman Jamal,
“Mubarak bekerja pada seorang sebagai penjaga kebun. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya lalu dipanggillah Mubarak, “petikkan kami beberapa buah delima yang manis!,” pintanya.
Bergegaslah Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Dia memetik beberapa buah delima dan diserahkannya kepada sang majikan dan beberapa sahabatnya tadi.
Namun, ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. Sang majikan marah dan bertanya kepada Mubarak, “apakah kamu tidak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?”
Dia menjawab, “Selama ini Anda belum pernah memberi ijin kepada saya untuk makan meski hanya satu biji pun, bagaimana saya bisa membedakan yang delima yang manis dan yang masam?
Sang tuan merasa takjub dan menaruh simpati kepada Mubarak (lantaran amanahnya).
Singkat cerita, majikan itu memiliki anak perempuan yang sudah banyak dilamar orang. Lalu ia bertanya kepada Mubarak, “Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa aku harus menikahkannya?
Mubarak menjawab, “Tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan orang Islam menikahkan karena ketakwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan putri tuan dengan cara mereka!”
Pemilik kebun itu takjub pula dengan cara berfikir Mubarak. Lalu ia menemui istrinya dan berkata, Saya tidak melihat orang yang lebih layak menikah dengan puteri kita selain Mubarak.” Maka akhirnya dia menikahkan Mubarak dengan puterinya. Dari pernikahan yang diberkahi itu lahirlah ulama kenamaan Abdullah bin Mubarak, amiirul mukminin dal hal hadits di zamannya.
Begitulah amanah yang berhubungan dengan harta dan pekerjaan.
Dan masih banyak lagi amanah yang harus dijaga, terlebih di zaman yang banyak tersebar berbagai jenis kemungkaran dan dosa. Keluarga adalah amanah yang harus dijaga jangan sampai terjerumus ke dalam neraka.
Jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan tanpa khianat. Termasuk dalam hal ini amanah untuk menjaga kehormatan, saat di mana zina menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Simaklah nasihat dari sahabat Ubay bin Ka’ab, “Termasuk amanah yang harus dijaga adalah bahwa seorang wanita memiliki amanah untuk menjaga kemaluannya.”
Maka para pezina hakikatnya adalah para pengkhianat yang menciderai amanah yang dibebankan kepadanya, nas’alullahal ‘aafiyah. Semoga Allah memudahkan kita menunaikan amanah sesuai dengan porsinya. Aamiin. (Abu Umar Abdillah)
Pingback: Ketika Amanah Dipegang Ahlinya - arrisalah