Amalnya di Puncak, Takutnya Mencapai Klimaks
Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Jawaabul Kaafi menyebutkan salah satu karakter para shahabat RDLH, “Barangsiapa memerhatikan keadaan para sahabat RDLH, niscaya mendapatkan bahwa mereka “fii ghayatil amal ma’a ghayatil khauf“, berada dalam puncak amal, namun juga berada dalam puncak takut kepada Allah.” Maka bandingkanlah dengan kondisi rata-rata kaum muslimin, yang minimalis dalam beramal shalih, namun terlalu percaya diri dan merasa paling aman dari siksa.
Mereka yang Berada di Puncak Amalnya
Siapakah yang meragukan Umar bin Khathab RDL. Allah telah menjadikan hati dan lisannya benar. Setan pun lari setiap kali berpapasan dengannya, dan beliau termasuk salah satu shahabat yang dijanjikan masuk Jannah.
Pun begitu, beliau khawatir jikalau dirinya termasuk satu di antara deretan nama-nama orang-orang munafik yang telah diberitahukan Nabi SAW kepada Hudzaifah bin Yaman. Karenanya, beliau bertanya kepada Hudzaifah RDL, “Aku bersumpah kepada Allah, apakah Rasulullah menyebut namaku dalam deretan nama-nama munafiqun yang beliau sampaikan kepadamu?” Hudzaifah menjawab, “Tidak, dan aku tidak mau lagi menyebutkan seorangpun bersih dari kemunafikan setelahmu.”
Baca Juga: Dari Mata Turun Ke Hati, Jaga Mata Bersihkan Diri
Siapa pula yang tidak mengenal shahabat agung Abdullah bin Mas’ud RDL. Tentang keutamaannya disebutkan oleh Nabi, “Sungguh kedua betis Abdullah bin Mas’ud lebih berat timbangannya di sisi Allah dari pada gunung Uhud.” Beliau terhitung sebagai ulama di kalangan sahabat, beliau memahami semua ayat al-Qur’an di mana turun dan dalam hal apa ayat itu turun. Pun begitu, beliau takut tergelincir ke dalam fitnah dan rasa ujub. Suatu saat beliau keluar dari suatu majelis. Lalu orang-orang mengikuti beliau di belakang sebagai penghormatan. Lalu beliau bertanya, “Adakah kalian memiliki keperluan sehingga mengikutiku?” Mereka menjawab,” Tidak ada, kami hanya ingin berjalan bersama Anda.” Beliau berkata, “Kembalilah kalian, sesungguhnya yang demikian ini menyebabkan hina bagi yang mengikuti dan bisa mengundang fitnah (ujub) bagi yang diikuti.”
Ketika orang-orang memuji dan menyanjung beliau berlebihan, beliau berkata, “Seandainya kalian mengetahui apa yang ada pada diriku sebagaimana yang aku ketahui tentang diriku, niscaya akan kalian taburkan tanah di kepalaku.” Begitulah karakter ulama. Memandang kesalahan yang pernah dilakukan, maupun celah kekuarangannya dalam menjalani perintah sebagai sesuatu yang besar. Karena mereka tahu ilmu, paham konsekuensi, dan mengerti tentang pertanggungjawaban manusia kelak di akhirat. Allah berfirman,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)
Inilah karakter rata-rata para sahabat, mereka takut dosa, sekecil apapun itu. Sebagaimana digambarkan oleh Anas bin Malik RDL tatkala beliau membandingkan generasi sahabat dengan generasi setelahnya,
إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُوْنَ أَعْماَلاً هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعْرِ إِنَّ كُناَّ لَنَعُدُّهاَ عَلىَ عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنَ اْلمُوْبِقاَتِ
“Sesungguhnya kalian mengerjakan suatu perbuatan yang dalam pandangan kalian lebih ringan dari sehelai rambut, padahal kami (para sahabat) di zaman Nabi SAW memandangnya sebagai dosa yang membinasakan.” (HR. Bukhari)
Di Manakah Posisi Kita?
Setelah melihat generasi percontohan, marilah kita tengok diri kita hari ini. Sudah miripkah keadaan mereka dengan apa yang kita rasakan dan alami? Di manakah posisi kita di antara dua karakter yang disebutkan juga oleh sahabat Ibnu Mas’ud rdl, “Sesungguhnya orang mukmin melihat dosa-dosanya laksana duduk di kaki gunung sehingga takut terkena reruntuhannya. Sedangkan orang fajir memandang dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu dengan mudah dihalau begini (beliau memeragakan dengan tangannya).”
Tentang dosa, berapa banyak yang telah kita lakukan? Di antara sekian banyak itu, seberapakah yang masih kita ingat? Di antara yang kita ingat, seberapakah yang telah kita sesali dan kita komitmen untuk tidak mengulangi?
Baca Juga: Bila Mengaku Islam, Buktikan!
Sekarang, barometer telah berubah drastis. Seseorang sudah cukup dianggap militan ketika hendak melakukan sesuatu ia bertanya, “Ini termasuk dosa ataukah tidak?” Padahal, pertanyaan seperti ini biasanya muncul dari jiwa yang ingin mencicipi dosa, dan mau agar orang lain memberi permakluman kepadanya. Jika dijawab, “Tidak”, maka ia akan terus melakukannya meskipun yang ia lakukan tidak ada manfaatnya, terutama jika sesuatu itu mejadi hobi dan kesukaannya. Jika jawabannya, “Dosa”, ia tak akan berhenti untuk bertanya, “Dosanya kecil ataukah besar?”
Bisa ditebak, kemana larinya pertanyaan ini. Jika jawabannya, “Dosa kecil”, ia kan meremehkan dan meminta permaklumannya. Tapi bagaimana jika ternyata jawabannya, “Dosa besar?” Apakah Anda menyangka ia akan berhenti dan menerima? Tidak. Ia masih akan mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Tapi bukan termasuk syirik kan? Masih berpeluang diampuni Allah kan?” Begitulah, ia memandang dosa laksana lalat yang hinggap di batang hidungnya, dengan mudah ia bisa menghalaunya. Padahal, urusannya tidak segampang itu. Dosa kecil jika disertai peremehan dan terus menerus dilakukan, maka berubah menjadi dosa besar, sehingga di antara salaf berkata, “Tiada istilah dosa kecil bila dilakukan terus menerus, dan tiada istilah dosa besar jika diakhiri dengan taubat.”
Sudah selayaknya kita mendekatkan karakter kita dengan para sahabat, yang berada dalam puncak amal, namun rasa takutnya mencapai puncak. Jangan sampai justru berkebalikan, berada dalam amal minimal, namun merasa di titik paling aman. Wallahul musta’an.
Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi
Pingback: Majalah Islam Arrisalah|Majalah Muslim Arrisalah