Al-Qadir Yang Mahakuasa
Syarah Sullamul Wushul
Abu Zufar Mujtaba
الأحَدُ الفَرْدُ الْقَدِيرُ الأزَليّ الصَّمَدُ الْبَرُّ الْمُهَيْمِنُ العَلِيّ
(Allah adalah) al-Ahad, al-Fard, al-Qadir, ash-Shamad, al-Barr, al-Muhaimin, dan al-‘Ali.
Pada edisi yang lalu kita telah membahas dua dari delapan Asma`ul Husna yang tersebut pada nazham di atas. Kedelapan nama itu adalah al-Ahad (Yang Esa), al-Fard (Yang Tunggal), al-Qadir (Mahakuasa), ash-Shamad (Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya), al-Barr (yang Mahabaik), al-Muhaimin (Yang Memelihara), dan al-‘Ali (Yang Maha Tinggi).
Allah Mahakuasa
Kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu adalah kekuasaan yang mutlak dan sempurna. Tak ada sesuatu atau siapa pun yang dapat menandingi atau melemahkan-Nya. Tidak di langit, tidak juga di bumi. Bagi Allah menciptakan atau membangkitkan mereka laksana menciptakan atau membangkitkan satu jiwa saja. Apapun yang hendak Dia ciptakan, Dia cukup berkata, “Jadilah!” maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya itu. Dia mampu menciptakan segala sesuatu, membinasakan mereka, lalu mengembalikan mereka semua seperti sediakala—dan itu lebih mudah bagi-Nya daripada menciptakan mereka dari tidak ada. Dia berkuasa untuk melakukan apapun yang dikehendaki-Nya, bagaimanapun dan kapanpun.
“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kalian, wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian.” (QS. An-Nisa`: 133)
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.” (QS. Al-Hajj: 62)
“Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Fathir: 44)
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Luqman: 28)
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82)
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan dia tidak merasa payah Karena menciptakannya, Kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) Sesungguhnya dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ahqaf: 33)
“Maka apakah kami letih dengan penciptaan yang pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” (QS. Qaf: 15)
“(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang shalih niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 11-12)
“Maka Aku bersumpah dengan Rabb yang memiliki timur dan barat. Sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.” (QS. Al-Ma’arij: 40)
“Dan kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS. Al-Mukminun: 18)
Sifat Azali Allah
Allah bersifat azali. Dzat-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Azali berarti ada tanpa bermula. Dan Allah tidak akan berakhir. Abadi selama-lamanya. Tidak ada satu nama dan sifat pun yang baru. Allah adalah al-Khaliq—Yang Maha Mencipta, sebelum Dia menciptakan apapun. Allah adalah as-Sami’—Yang Maha Mendengar, sebelum Dia mengadakan apapun yang dapat didengar. Allah adalah al-‘Alim—Yang Maha Mengetahui, sebelum Dia mengadakan apapun yang dapat diketahui. Allah adalah al-Muhyi al-Mumit—Yang Menghidupkan Yang Mematikan, sebelum Dia menciptakan kematian dan kehidupan sekalian makhluk. Demikian ini berlaku untuk semua nama dan sifat-Nya.
Keliru jika dipahami dan diyakini bahwa Allah baru memiliki sifat setelah Dia melakukan sesuatu. Allah Maha Sempurna. Semua sifat-Nya adalah sifat kesempurnaan. Tidak adanya salah satu dari sifat itu berarti kekurangan. Padahal Allah tak pernah kurang. Rasulullah saw bersabda,
“Allah telah ada sebelum adanya segala sesuatu selain Dia. Dan adalah ‘arasy-Nya di atas air.” (HR. dari ‘Imran bin Hushain)
Tentu keberadaan Allah adalah keberadaan yang sempurna, tanpa kekurangan sesuatu apapun. Dahulu, kemarin, hari ini, esok, dan selamanya.
Baca Juga : Allah Yang Pertama dan Yang Terakhir
Sandaran Hakiki
Allah memiliki nama ash-Shamad. Allah adalah sandaran yang hakiki dari semua makhluk; untuk semua kebutuhan dan permohonan mereka. Demikianlah makna ash-Shamad sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas menurut riwayat ‘Ikrimah. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/609)
Sedangkan menurut riwayat ‘Ali bin Abu Thalhah, Ibnu ‘Abbas menjelaskan makna ash-Shamad dengan, “Dia adalah Yang Mulia yang sempurna kemuliaan-Nya, Yang Agung yang sempurna keagungan-Nya, Yang Maha Menyantuni yang sempurna sifat penyantun-Nya, Yang Maha Mengetahui yang sempurna pengetahuan-Nya, Yang Maha Bijaksana yang sempurna kebijaksanaan-Nya. Dia telah sempurna seluruh aspek kemulian-Nya. Dia-lah Allah Yang Mahasuci. Inilah sifat-Nya. Sifat ini hanya pantas untuk-Nya. Tidak ada sesuatu pun atau siapa pun yang sepadan dan semisal dengan-Nya. Allah yang Satu dan Maha Perkasa.” ((Tafsir Ibnu Katsir, 4/609)
Al-Hasan al-Basri berkata, “Ash-Shamad adalah al-Hayyu al-Qayyum yang tidak akan pernah sirna.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/610) Al-Hayyu, Yang Mahahidup; al-Qayyum, Yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya.
Mengenai dua penjelasan di atas dan penjelasan-penjelasan yang lain tentang makna ash-Shamad, Ibnu Katsir berkata, “Semua diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, al-Bayhaqi, dan ath-Thabarani. Juga Ibnu Jarir ath-Thabari—bahkan ia menyebut banyak sekali dengan sanadnya. Ath-Thabarani, di dalam kitab as-Sunnah, setelah menyebut penjelasan-penjelasan makna ash-Shamad berkata, ‘Semua itu benar. Itu adalah sifat Rabb kita ‘azza wa jalla.’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/610)
Masalahnya, apakah setelah kita memakrifahi ke-Shamad-an Allah, kita benar-benar bersandar kepada-Nya dalam semua urusan kita? Dalam urusan dunia dan juga urusan akhirat kita? Seyogianya kita berinstropeksi.
Ikhtishar al-Ikhlash
Nama ash-Shamad di dalam al-Qur’an sekali, yakni di dalam surat al-Ikhlas.
“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, yang Maha Esa.’ Allah adalah ash-Shamad (yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya). Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada siapa pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlash: 1-4)
Surat al-Ikhlash sendiri adalah surat yang senilai dengan sepertiga al-Qur’an. Surat ini meliputi Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid Asma` wa Shifat. Terkandung di dalamnya pula antitesa untuk pemahaman sesat: Mulhidah (atheis), Mu’athilah (mereka yang meniadakan nama/sifat Allah), Musyabbihah (mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk), Hululiyah (mereka yang beranggapan Allah berada di mana-mana), dan Ittihadiyah (Mereka yang berkeyakinan Allah menyatu dengan makhluk-Nya). (Bersambung, in sya`a Allah)