Akidah Keberpihakan
Sebuah ajaran yang diyakini kebenarannya, minimal oleh pengikutnya, pasti akan melahirkan keberpihakan. Sebagai sebuah keniscayaan akan penerimaan atau keimanan atasnya. Juga sebagai buah atas tanaman bernama cinta dan benci yang menemukan tempat tumbuhnya. Disadari atau tidak, proses alamiahnya memang seperti itu.
Sehingga sebuah toleransi yang sehat, tidak akan ada dalam wilayah ushul atau pokok, karena hal itu menjadi pertanda mandulnya keyakinan, atau kebodohan atas pengakuan iman. Sebab dalam keutuhan pemahamannya, iman menafikan hal-hal yang berbeda secara diametral. Ia telah mengalami proses penyaringan dan perbandingan, sebelum akhirnya terpilih yang teryakini.
Toleransi yang baik akan berada dalam sikap menghormati pada wilayah cabang, karena kemustahilannya untuk disatukan, berkenaan adanya sejumlah variabel yang ada. Kecuali atas nama mengutamakan keridhaan Allah dan menjaga keutuhan persatuan umat. Toh sejatinya tetap ada keberpihakan lain di dalam hati masing-masing.
BACA JUGA: 5 Ha Yang Meneguhkan Akidah
Dalam hal ini, akidah islamiah yang sehat akan melahirkan konsep keberpihakan (al wala’ dan al bara’) di atas pondasi iman; cinta dan benci karena Allah. Rasulullah menyebutnya sebagai ikatan iman terkuat, bahkan kesempurnaannya. Karena cinta dan benci adalah asal semua gerakan, yang menghasilkan konsekuensi berlawanan dan berbeda jika landasannya.
Sehingga iman dan kafir memang tidak akan pernah bisa bertemu karena berasal dari mata air yang berbeda, mengalir di alur yang berbeda, hingga muara yang berbeda pula. Dan angan-angan pertemuannya adalah utopi mimpi di siang bolong karena ide ini lahir dari akal yang bodoh dan kosong dari petunjuk. Ini murni syahwat akan dunia yang fana, namun menjadi tujuan hidup hamba yang lupa akan tempat kembalinya.
Allah memustahilkan wujudnya kasih sayang hamba yang beriman kepada-Nya dan hari akhir, dengan orang-orang yang melawan iman. Kemustahilan yang harusnya diajarkan, ditanamkan dann diwariskan kepada mereka yang memilih beriman agar terhindar dari kemunafikan dan kehampaan peribadatan. Terutama kepada mereka yang menjadi tanggung jawab kita di sisi Allah kelak, bahwa keimanan adalah pilihan hidup mati yang kebenaran pilihannya akan sangat melegakan dan membanggakan.
Seperti mengajarkan wudhu’ dan shalat, demikian menurut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Hingga ia menyatu dengan pilihan iman yang sadar dan bertanggung jawab. Sebab tidak sah islam seseorang hingga dia bisa berpihak di jalan Allah; membenci dan mencinta, memusuhi dan membela karena Allah. Sebab akidah kita memang memihak!