Akhir Sebuah Cinta
Cinta kepada dunia dan berbagai keindahannya merupakan fitrah manusia. Memiliki istri yang shalihah, anak-anak yang shalih dan shalihah, serta kecukupan sandang, pangan dan papan merupakan idaman setiap mukmin. Dus, dapat berkumpul bersama keluarga, dalam suasana suka dan tak kurang suatu apapun adalah kebahagian tersendiri yang tak ternilai harganya.
Rasa cinta; apa pun bentuknya memiliki energi yang luar biasa. Termasuk cinta dalam bentuk ini. Bukti nyata dari besarnya energi cinta terhadap keluarga adalah hiruk pikuk suasana mudik lebaran yang baru saja kita saksikan. Mulai dua minggu sebelum Idul Fitri, umat Islam di Indonesia sibuk memikirkan perayaan hari raya ini, dan yang paling utama adalah Mudik atau Pulang Kampung. Bagi keluarga yang karena suatu alasan, misalnya pekerjaan atau pernikahan, harus berpisah menjadikan momen ini untuk berkumpul kembali bersama keluarga.
Besarnya kocek yang harus dikeluarkan, tenaga dan waktu yang harus dikorbankan, tak manjadi panghalang bagi para perantau untuk melakukan aktifitas ini. Kemacetan lalu lintas yang seakan menjadi ciri khas suasana mudik lebaran pun tak lagi dihiraukan. Yang demikian itu karena besarnya energi cinta terhadap keluarga telah mengalahkan segalanya.
Bermusuhan karena cinta
Tidak ada larangan untuk cinta terhadap dunia; tidak ada larangan untuk saling cinta terhadap sesama, karena semuanya adalah fitrah manusia. Tapi perlu diingat, tidak semua cinta dapat menyatukan kita di akhirat sebagaimana ia menyatukan kita di dunia. Justru sebaliknya, banyak jalinan cinta di dunia yang berujung permusuhan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS Az-Zukhruf: 67)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya. Sebagaimana perkataan Nabi Ibrahim kepada kaumnya, “Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah, hanya untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan di dunia, kemudian pada hari Kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk; dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sama sekali tidak ada penolong bagimu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/170)
Dalam menafsiri firman Allah di atas Imam Mujahid berkata, “Setiap jalinan kasih sayah di dunia dalam rangka maksiat kepada Allah akan berubah menjadi permusuhan –di akhirat.”
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Ada dua orang beriman yang saling mengasihi –di dunia- dan dua orang kafir yang saling mengasihi. Salah satu orang beriman meninggal dunia hingga sampai kepadanya berita gembira akan mendapat surga. Saat itulah dia teringat akan kekasihnya –di dunia-, seraya berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya si Fulan adalah kekasihku. Dia senantiasa menyuruhku untuk ta’at kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu; menyuruhku untuk berbuat kebaikan dan mencegahku dari mengerjakan kejelekan; dia juga memberitahuku bahwa aku pasti akan berjumpa dengan-Mu. Ya Allah, jangan Engkau sesatkan dia sepeninggalku hingga Engkau memperlihatkan kepadanya apa yang telah Engkau perlihatkan kepadaku dan Engkau ridha kepadanya sebagaimana Engkau ridha kepadaku.” Maka dikatakan kepadanya, “Pergilah, seandainya engkau tahu apa pahalanya di sisi-Ku pasti engkau akan banyak tertawa dan sedikit menangis.” Imam Ali melanjutkan, “Mukmin yang satunya meninggal dunia dan bertemulah ruh keduanya.” Kemudian dikatakan kepada keduanya, “Sungguh masing-masing dari kalian akan diikutkan kepada shahabatnya.” Maka mereka berdua salaing berkata kepada sesamanya, “Anda adalah teman, shahabat dan kekasing yang amat baik.”
Jika salah seorang kafir meninggal dunia hingga sampai kepadanya kabar buruk tentang neraka yang akan ditempatinya, maka saat itulah dia teringat akan kekasihnya dan berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya si Fulan adalah kekasihku –di dunia- dia senantiasa menyuruhku untuk bermaksiat kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu; menyuruhku untuk mengerjakan kejelekan dan melarangku berbuat baik, dia juga memberitahuku bahwa aku tidak akan pernah berjumpa dengan-Mu. Ya Allah, jangan Engka tunjuki dia sepeninggalku hingga Engkau perlihatkan kepadanya apa yang Engkau perlihatkan kepadaku dan Engkau murka kepadanya sebagaimana Engkau murka kepada-Ku.” Imam Ali melanjutkan, “Kafir yang satu meninggal dunia dan bertemulah ruh keduanya.” Kemudian dikatakan kepada keduanya, “Sungguh masing-masing dari kalian akan diikutkan kepada shahabatnya.” Maka mereka berdua saling berkata kepada sesamanya, “Engkau adalah teman, shahabat dan kekasih yang amat buruk.” (HR. Ibnu Abi Hatim)
Cinta yang abadi
Kita pasti berharap di akhirat dapat berkumpul kembali bersama orang-orang yang kita cintai di dunia; berkumpul bersama dalam suka di tempat paling mulia, surga. Jika demikian maka hendaknya kita melandasi cinta dan kasih sayang tersebut karena Allah semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya.
Kita sering mendengar kata cinta karena Allah; atau mungkin kita pernah mendapat ucapan ‘Aku mencintaimu karena Allah’, dari seorang teman. Yang jadi pertanyaan apa bukti nyata wujud cinta antara dua orang yang saling mencintai karena Allah? Karena terkadang, cinta mereka hanya sebatas lahiriah, bukan hakiki.
Syaikh Al-Bani menjelaskan bahwa bukti nyata cinta karena Allah adalah adanya aktifitas saling menasehati antara dua orang yang saling mencinta tersebut. Iringan nasihat sangat sedikit terjadi di antara dua orang yang mengaku saling mencintai karena Allah. Hal ini karena cinta yang seperti ini harus dibangun di atas keikhlasan. Saat keikhlasan tidak sempurna, terkadang muncul kekhawatiran jika (setelah dinasehati) dia marah, takut jika dia lari, dan sebagainya. Maka dari itu, dalam cinta karena Allah kedua pihak mengikhlaskan niat untuk menegakkan nasihat kepada yang lain, senantiasa menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Menasehati saudaranya lebih berguna daripada (sekadar) dia melindunginya. Oleh karena itu, telah sahih bahwa termasuk dari adab para sahabat jika mereka bertemu setelah berpisah, mereka membacakan ayat ini kepada yang lain.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Lihat Fatawa asy-Syaikh al-Albani hlm. 185-186)
Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Dzar berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Sebaik-baik amal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah’. Dalam menjelaskan hadits ini Al Alamah Abadiy menyatakan, “Jika engkau mencintai seseorang hendaklah karena orang itu menaati Allah dan menjadi kekasih Allah. Ketika orang itu bermaksiat terhadap-Nya maka Anda harus membencinya karena ia telah bermaksiat terhadap Allah dan menjadi orang yang dibenci Allah. Barangsiapa yang mencintai karena satu sebab maka sudah seharusnya dia membenci hal-hal yang bertentangan dengan sebab itu. Kedua sifat ini sudah menjadi kelaziman yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya dan dia menjadi tuntutan di dalam mencintai dan membenci di dalam kebiasaannya. (Aunul Ma’bud juz XII hal 248)
Buah cinta karena Allah
Saling mencintai karena Allah adalah amalan yang agung. Dalam banyak hadits Rasulullah menjelaskan keutamaan dan besarnya pahala yang akan di dapat. Di antaranya adalah hadits Anas dari Nabi, dia berkata, “Tiga perkara jika itu ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; orang yang mana Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci untuk masuk neraka.” (Bukhari Muslim)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Dari Mu’adz bin Jabal, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Demikianlah, Allah menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Salah satunya adalah saling mencintai karena Allah. Akhirnya, persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di Surga Firdaus bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah. Wallahu a’lam.