Syukur, tak Hanya kepada Allah
Ibnu Abbas RA mengatakan bahwa ada tiga ayat yang harus diamalkan dengan sempurna. Seseorang tidak dianggap mengamalkannya jika hanya mengamalkan satu bagian saja. Ayat-ayat tersebut yaitu, pertama, taat kepada Allah SWT belum sempurna tanpa taat kepada Rasulullah SAW (QS. An-Nisa: 59). Kedua, mendirikan shalat dan membayar zakat (QS. Al-Baqarah: 43). Ketiga, Syukur kepada Allah SWT dan syukur kepada kedua orang tua (Al-Isra: 23).
Masing-masing merupakan dua pasangan perintah yang saling terkaitdan tak bisa dielakkan.Alias satu paket perintah yang bisa ditawar salah satunya. Menurut beliau, tidak dikatakan taat kepada Allah SWT jika tidak mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Begitu pula, shalat tidak diterima jika tidak mau membayar zakat. Dan, belum disebut hamba yang bersyukur jika tidak ‘bersyukur’ kepada kebaikan orang tua.
Antara syukur kepada Allah SWT dan kepada orang tua memang berbeda. Syukur kepada Allah SWT, berarti mengakui segala nikmatnya yang nampak dan tidak nampak. Lalu, mengucapkan kalimat syukur dengan lisan dan menggunakannya untuk menjalankan ketaatan.
Syukur kepada orang tua bermakna berterima kasih atas budi baik mereka. Lalu membuktikannya dengan berbakti dan menjaga adab sopan-santun. Tentunya, manusia yang paling berjasa dan berhak mendapatkan pengakuan terima kasih yaitu ayah dan bunda. Sebab, pengorbanan dan kasih sayang yang mereka curahkan tidak akanbisa diukur dengan materi. Tidak salah jika Rasulullah SAW mengatakan bahwa ridha Allah SWT terletak pada ridha kedua orang tua. Begitu pula, Allah SWT murka dan langsung menurunkan hukumannya bagi anak yang durhaka kepada orang tuanya.Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengaitkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada ibu dan bapak.
Selain itu, berterima kasih kepada orang yang berbuat baik juga termasuk akhlak mulia. Misalnya, syukur kepada orang yang memberi nasehat atau pengajaran ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Atau kepada orang yang sekadar memberi hadiah sesuatu yang murah dan bukan barang mewah. Sudah selayaknya mereka mendapat balasan meski dengan kata, jazakumullah khairan atau terima kasih.Kebalikannya, melupakan kebaikan orang lain adalah satu sifat tercela dalam Islam.
Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah SAW yang bersabda:
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرِ الناَّسَ
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah SWT.” (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad)
Ibnu Atsir mengatakan, hadits di atas bermakna bahwa Allah SWT tidak menerima syukur manusia jika hamba tersebut tidak mau berterima kasih kepada manusia.Kedua hal tersebut saling terkait satu dengan yang lain.Karena itu, manusia yang terbiasa menganggap biasa kebaikan orang lain, berarti kurang bersyukur kepada nikmat Allah SWT.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda.
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفاً فَكاَفِئُوْهُ، فَإِنْ لَمْ تُكاَفِئُوْنَهُ فَادْعُوْا لَهُ حَتىَّ تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَئْتُمُوْهُ
“Barang siapa yang berbuat baik kepada kalian hendaknya kalian membalasnya.Jika tidak tidak bisa membalasnya doakan dia hingga kalian merasa bahwa kalian sudah bisa membalasnya. “ (HR. An-Nasai dan Abu Daud)
Dalam hadits lain disebutkan:
مَنْ مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ فَإِنَّ مَنْ أَثْنَى فَقَدْ شَكَرَ وَمَنْ كَتَمَ فَقَدْ كَفَرَ
“Siapa saja yang menerima pemberian, hendaklah dia membalasnya dengan itu pula. Kalau tidak,hendaklah ia memberi pujian, sebab dengan memuji berarti telah berterimakasih dan siapa yang menyembunyikan (kebaikan orang padanya) berarti dia telah kufur nikmat.” (HR. At-Tirmidzi)
Para ulama zaman dahulu telah mengajarkan bagaimana mengenang para guru yang telah berjasa mendidik dan mengajarkan ilmu agama. Misalnya, Imam Ahmad bin Hambal yang selalu mengenang jasa gurunya, Imam Syafi’i. Beliau mengatakan, “Setiap malam, sejak tiga puluh tahun lalu, aku tidak pernah lupa mendoakan Imam Syafi’i dan aku selalu memohonkan agar Allah SWT berkenan mengampuni kesalahan-kesalahannya.”
Imam Ahmad juga bangga dan selalu memuji gurunya tersebut. Suatu ketika, putra beliau yang bernama Abdullah bertanya, “Seperti apakah Muhamad Bin Idris As Syafi’i. Karena sering sekali aku mendengar doa ayah untuknya?”Imam Ahmad menjawab, “Beliau ibarat matahari bagi bumi ini dan kesehatan bagi manusia. apakah ada yang bisa menggantikan kedua hal itu?”
Pada dasarnya, semua kemudahan dan kebaikan yang datang kepada manusia merupakan nikmat dari Allah SWT. Baik langsung dari Allah SWT atau lewat perantaraan manusia. Sebab takdir merupakan misteri yang tak mudah ditebak dan tak terduga. Allahlah yang menentukan. Sedangkan manusia merupakan alat yang digerakkan-Nya. Saat si penghantar nikmat memberi hadiah atau kebaikan, sebenarnya sedang bermuamalah kepada Allah SWT. Karena itu, hendaknya menjalan amanat tersebut dengan ikhlas dan bukan untuk mencari terima kasih. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)
Sedangkan bagi si penerima, jangan lupakan jasa si pemberi. Jika anda mampu, balaslah dengan memberi hadiah yang sewajarnya. Jika tidak, tampilkanlah raut muka manisdan ucapkanterima kasih. Jangan lupa pula doa untuknya, meski tak harus di hadapannya. Bukankah doa yang mustajab adalah doa untuk orang lain tanpa sepengetahuah orang tersebut? Wallahu A’lam.