Kendala Sirna Karena Takwa
Tak sedikit orang yang berpikir, bahwa hidup tanpa aturan halal haram lebih berpeluang untuk mendapatkan kemudahan. Dengan tanpa aturan mereka merasa memilki lebih banyak pilihan dan jalan. Ingin sukses menjadi pejabat, ingin menjadi orang kaya, ataupun keinginan lain yang disangka mendatangkan kebahagiaan dirinya. Tak peduli dengan cara suap, penghasilan riba, menjual makanan yang haram, menanggalkan syariat demi sebuah karier yang kesemuanya terbebas dari pertimbangan syar’i.
Begitupun dalam menghadapi solusi dari setiap problem yang dihadapi. Tanpa mengindahkan batasan syariat, mereka merasa lebih leluasa untuk mencari jalan keluar. Mereka bisa mencoba semua cara yang pernah dilakukan manusia. Baik tatkala menghadapi problem pekerjaan, terlilit hutang, berurusan dengan perselisihan, atau sakit yang tak kunjung sembuh. Mereka bisa mengenakan jimat, mendatangi dukun, berbohong dan cara-cara lain yang rasional maupun tidak, tanpa dibayang-bayangi oleh norma syar’i, halal ataukah haram.
Begitulah logika hawa nafsu yang tidak mengenal Sang Pencipta. Seakan alam ini berjalan begitu saja tanpa ada yang mengaturnya. Seakan kejadian dan peristiwa itu bisa terjadi tanpa kehendak-Nya.
Urusan Mudah dengan Takwa
Berbanding terbalik dengan logika iman yang Allah ajarkan. Justru dengan takwa, segala urusan menjadi mudah. Dengan membatasi diri dengan yang halal, dan meninggalkan semua cara-cara haram, kemudahan akan didapat. Bukankah Allah yang menciptakan manusia, Dia pula yang paling tahu tentang kebutuhan hamba-Nya, dan jalan apa yang paling mudah untuk meraihnya. Maka Allah menggariskan jalan berupa syariat kepada manusia. Dengannya manusia akan berhasil menemukan keberuntungan dan kemaslahatan yang didambakan, asal mereka sudi menempuh jalannya.
Taat terhadap perintah dan larangan syariat inilah realisasi dari takwa. Makin taat terhadap aturan, makin mulus jalan bagi seseorang untuk meraih tujuan. Tidak mungkin dia akan dikecewakan. Karena mustahil Allah mengingkari janji-Nya, mempermainkan atau menzhalimi hamba-Nya yang telah tunduk dan taat di atas aturan yang digariskan-Nya. Allah telah berjanji,
“Adapun orang yang memberi dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. 92:5-7)
Itulah kabar gembira bagi orang yang berbekal takwa dalam memburu kemaslahatan. Dia akan dimudahkan dalam segala urusan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Bukan saja kemudahan tatkala mendapatkannya, tapi juga berupa ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan yang menyertainya. Orang yang bermuamalah dengan jujur misalnya, maka Allah akan memudahkan urusannya dan memberkahi usahanya. Dan setelah tujuan itu tercapai, pun tidak menyisakan was-was atau kekhawatiran, karena ash-shidqu thuma’niinah, kejujuran itu membawa ketenangan.
Pada ayat berikutnya, Allah menyebutkan yang sebaliknya. Ada kabar buruk bagi orang yang tak mengindahkan takwa, yakni berupa jaminan kesulitan dan kesukaran yang akan ditemuinya. Allah berfirman,
“Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS al-Lail 8-10)
Ada yang menarik dari dua kondisi berkebalikan yang disebutkan di atas. Sudah sangat maklum ketika Allah menyebutkan, kebalikan dari memberi adalah bakhil, kebalikan dari membenarkan adalah mendustakan, dan kebalikan dari kemudahan adalah kesulitan. Tapi, kenapa Allah menyebutkan kebalikan dari ‘ittaqa’ (takwa) adalah ’istaghna’, merasa tidak butuh (terhadap pertolongan Allah)?
Ada jawaban yang memuaskan dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang hal ini, sebagaimana beliau sebutkan dalam kitabnya At-Tibyaan fii Ahkaamil Qur’an. Beliau menyebutkan, bahwa orang yang bertakwa, tatkala menyadari betapa mereka itu fakir di hadapan Allah, dan amat membutuhkan pertolongan Allah, maka dia takut mengundang murka dan kemarahan Allah, takut melanggar apa yang dilarang oleh Allah. Sungguh ini adalah argumen yang sangat tepat. Bagaimana mungkin seseorang berani membuat kecewa dan sengaja memancing kemarahan Dzat yang berwenang dan Kuasa memberikan segala sesuatu atau mencegahnya?
Maka tepat jika disebutkan bahwa kebalikan dari takwa adalah ’istaghna’, merasa tidak butuh pertolongan Allah. Orang yang tidak merasa butuh pertolongan-Nya, maka dia tidak peduli atas segala tindakannya. Dia tidak takut bermaksiat dan mengundang murka-Nya. Maka sebagai balasan dari rasa congkaknya itu, Allah akan menimpakan kesulitan yang senantiasa mengepungnya dari segala arah. Hingga sulit baginya mendapatkan kemaslahatan hakiki yang menenangkan jiwa dan hati.
Sekilas ada yang janggal, karena faktanya banyak orang yang menempuh jalan haram, namun dengan mudah bisa mencapai tujuannya. Mari kita renungkan dengan seksama, apakah benar mereka mendapatkan kemudahan? Karena ukuran kemudahan itu tidak hanya diukur dari start seseorang memulai usaha sampai tujuan teralisasi. Namun juga melihat resiko di belakangnya. Bagaiamana dikatakan kemudahan, jika setelah tujuan tercapai justru membawa efek kegundahan dan kekhawatiran di belakangnya? Atau bahkan resiko yang lebih besar serta berefek pada keruwetan yang berkepanjangan? Mungkin orang bisa cepat kaya dengan korupsi, tapi apakah ini berarti kemudahan? Bukan..! sekali lagi bukan! Karena hati maling tak pernah tenang, takut jika perbuatannya diketahui. Dan tatkala aksinya benar-benar ketahuan, buntutnya adalah problem berkepanjangan. Ini hanya sekedar sampel, namun begitulah ujung dari semua cara meraih tujuan yang tidak memenuhi unsur takwa, sulit dan rumit. Belum lagi kesusahan yang lebih berat dan lebih kekal akan mereka alami di akhirat kelak, nas’alullahal ’aafiyah.
Kendala Sirna Karena Takwa
Di samping memuluskan jalan meraih kebaikan dan kemaslahatan, takwa juga menjadi solusi mujarab atas semua problem yang dihadapi manusia. Abu Dzar radhiyallahu ’anhu menceritakan, bahwa suatu kali Nabi saw membaca firman Allah,
”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS ath-Thalaq 2-3)
Beliau mengulang-ulang ayat itu kemudian bersabda,
ياَ أَباَ ذَرٍّ لَوْ أَنَّ الناَّسَ أَخَذُوْا بِهاَ لَكَفَتْهُمْ
”Wahai Abu Dzar, seandainya manusia mengambil (cara) ini, niscaya akan mencukupi mereka.” (HR al-Hakim beliau mengatakan, sanadnya shahih. Adz-Dzahabi juga menyebutkan dalam at-Talkhis bahwa hadits ini shahih)
Ayat tersebut tidak menyebutkan jalan keluar dari problem apa, ini menunjukkan keumuman makna. Artinya, bahwa takwa menjadi jalan keluar bagi seluruh problem yang di hadapi manusia. Abu al-Aliyah menafsirkan ayat tersebut, ”Yakni jalan keluar dari segala kesulitan. Ini mencakup segala kesulitan di dunia maupun di akhirat, serta kesempitan di dunia maupun di akhirat.”
Inilah resep paling ampuh untuk mengatasi segala masalah. Solusi yang tak mungkin salah. Karena berasal dari Dzat yang Mahatahu dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Banyak sudah bukti yang dirasakan oleh orang-orang yang berusaha merealisasikan takwa. Ibnu al-Jauzi adalah salah satu orang yang telah merasakan khasiatnya. Sebagaimana pengakuan beliau dalam kitabnya ’Shaidul Khaathir’, di mana beliau berkata, ”Suatu kali saya mengalami problem yang rumit. Urusan yang menimbulkan kegundahan berkepanjangan. Lalu aku berpikir keras untuk mencari solusi dari kegelisahan ini. Dari segala solusi yang mungkin, saya kaji dari berbagai sisi, namun saya belum juga mendapat jawaban yang memuaskan. Lalu ditawarkan kepadaku solusi dari firman-Nya,
”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.” (QS ath-Thalaq 2)
Lalu saya pun tahu, bahwa takwa adalah solusi paling handal untuk menyudahi segala kegundahan. Maka setiap kali saya berusaha merealisasikan takwa, disitulah saya dapatkan jalan keluar.”
Adapun, cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang fajir, meski sekilas tampak ada penyelesaian dari satu sisi, namun dampak negatif yang ditimbulkannya lebih luas dan lebih berat lagi. Karena Allah menjanjikan kesulitan bagi mereka yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah. Mereka yang lebih percaya dengan jimat, dukun ataupun cara haram yang lain, tak mungkin mendapat solusi yang memadai. Begitupun orang yang tak merasa butuh dengan pertolongan Allah, dan hanya mengandalkan kekuatan fisik dan akalnya semata. Justru rasa takut yang makin akut, depresi yang terus menghantui dan keruwetan yang menjadi-jadi, laksana benang kusut yang tak jelas pangkal dan ujungnya. Belum lagi kesulitan akhirat yang lebih berat dan lebih abadi. Allahumma rahmataka narju, wa laa takilna ilaa anfusina tharfata ’ain. (Abu Umar Abdillah)