Kultum Ramadhan: Bahaya Dosa Jariyah, Terus Mengalir dan Bertambah
Mundzir meriwayatkan dari Ibnu al-Hanifiyah bahwa dahulu Abu Jahal dan para dedengkot Quraisy memprovokasi orang-orang yang telah didakwahi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan masuk Islam. Mereka berkata, “Muhammad mengharamkan khamr, zina dan mengharamkan apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Arab, maka kembalilah kalian (murtad dari Islam), biarlah kami nanti yang akan memikul dosa-dosa kalian…” Lalu turunlah ayat,
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ
“Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) disamping beban-beban mereka sendiri…” (QS. al-Ankabut: 13)
Mujahid bin Jabr rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya, yakni memikul dosa-dosanya sendiri ditambah dosa semua orang yang mengikuti seruannya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa orang-orang yang mengikutinya.”
Hingga meskipun para penyeru kesesatan itu sudah mati, sedangkan para pengikutnya masih hidup dan berbuat maksiat seperti arahan penyeru itu. Maka para penyeru itu turut memikul dosa-dosa yang dilakukan oleh para pengikutnya. Inilah yang disebut dengan dosa jariyah, dosa yang terus mengalir meskipun pelakunya sudah mati.
Baca Kultum Lainnya: Yang Mengerikan di Bulan Ramadhan
Maka jangan heran, jika ada orang-orang yang pulas tertidur namun kalkulasi dosa terus bergulir. Bahkan ketika jasad telah kaku terbujur, catatan dosa belum berakhir. Hingga pun ia masuk ke dalam kubur, kiriman dosa datang bergilir. Duhai celakanya orang yang telah mati, namun dosanya lebih panjang umurnya daripada pelakunya.
Begitulah resiko menjadi trendsetter dosa, pioner maksiat dan siapapun yang ikut andil menyebarkan kesesatan dan kamaksiatan. Mereka turut menanggung dosa orang-orang yg mengikutinya. Mereka turut memikul dosa orang lain yang bermaksiat, karena ia memiliki saham dalam menyebarkannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi dosa pengikutnya sama sekali.” (HR. Muslim)
Ambil contoh, ada seseorang yang menggubah sebuah karya lagu yang berisi ajakan keburukan atau menggiring kepada kemesuman, atau berupa kata-kata jorok yang mengandung nilai dosa. Ia berbangga ketika akhirnya lagu itu populer dan digandrungi semua khalayak. Ia juga merasa beruntung dengan besarnya royalti yang bisa dikantongi karena hasil karyanya. Ketika itu ia lupa, bahwa dia juga berhak mendapatkan royalti dosa setiap kali ada yang menirukan lagu ciptaannya yang mengandung dosa.
Dirinya tidur nyenyak sementara lagu ciptaannya dinyanyikan orang lain, dan terus ‘mencetak’ dosa yang akan ia pikul di akhirat. Bahkan, meskipun dirinya telah masuk ke dalam kubur, wal ‘iyadzu billah. Termasuk jika ada orang yang berbuat dosa karena terinspirasi oleh nyanyian itu, sebagai inspirator akan terkena dampaknya.
Ini mengingatkan kita akan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِق
“Sesungguhnya ada orang yang mengucapkan satu ucapan yang dia tidak berfikir (baik buruknya), ternyata ucapan itu melemparkan ia ke neraka yang jauhnya melebihi antara timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana satu ucapan bisa berdampak begitu berat? Bisa jadi, kata-kata itu mengandung kemungkaran yang besar, atau bisa jadi pula ucapan itu tersebar luas sehingga banyak orang yang terjatuh ke dalam dosa lantaran ucapan itu. Sementara ia tidak memikirkan dampaknya saat berucap, wal ‘iyadzu billah.
Contoh lain, ketika ada seseorang mempublikasikan foto atau film yang mengandung kemaksiatan, maka ia memikul dosa semua orang yang menyaksikan. Pun tidak mengurangi dosa orang yang menyaksikan. Padahal, sekarang betapa mudah menyebarluaskan konten apapun di era ini; internet, facebook, youtube, What’s App, Instagram serta sarana lain yang mudah untuk diakses.
Begitupun ketika seseorang membuat suatu tren atau tradisi dengan konten kesesatan. Sebagai pelopor, maka ia memikul semua dosa orang yang melestarikan tradisi itu, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,,
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Dan barangsiapa yang mempelopori dalam Islam ini suatu tradisi yang buruk, maka baginya dosa yang ia lakukan dan juga menanggung dosa orang-orang yang mengikuti setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Semestinya kita berhati-hati saat berucap dan bertindak, apalagi kita berada di era informasi yang dengan mudah segala hal menular kepada banyak orang. Jangan sampai kita menganggap remeh, padahal di sisi Allah adalah perkara besar, wallahu a’lam bishawab.
Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah