Pemahaman Ahlus Sunnah Tentang Ru’yatullah (Melihat Allah)
وَقُلْ يَتَجلَّى اللهُ للخَلْقِ جَهْرةً … كَمَا البدْرُ لا يَخْفى وَرَبُّكَ أَوْضَحُ
Allah menampakkan diriNya kepada hambanya (mukmin) dengan jelas
Sebagaimana bulan purnama yang tampak jelas tanpa ada kesamaran dan Rabmu lebih jelas.
Mungkinkah manusia melihat Allah (ru’yatullah)?, bait diatas menetapkan aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah dalam masalah ru’yatullah, serta menerangkan pendapat-pendapat menyimpang dalam pembahasan ini.
Kelompok sesat jahmiyah dan mu’tazilah berpendapat bahwa makhluk tidak dapat melihat Allah, mereka berkata, sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat, karena sesuatu yang bisa dilihat adalah berjism (berjasad), sedangkan Allah tidak berjasad maka Ia tidak terlihat. Kelompok ini menolak ru’yatullah baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagian sufi ada yang berpendapat bahwa Allah dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat. Ini juga pendapat yang batil.
Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa Allah Ta’ala dapat dilihat di akhirat oleh para penghuni surga. Adapaun di dunia maka tidak ada makhluk yang dapat melihat-Nya. Seorang Nabi saja tidak bisa melihat Allah di dunia, apa lagi kita. yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam ketika meminta kepada Allah untuk dapat melihat-Nya, Allah Ta’ala berfirman :
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Allah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Rabku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu”. tatkala Rabnya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: “Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al A’raf : 143).
Adapun di akhirat maka Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada ahli surga untuk melihat-Nya. Mereka beriman ketika di dunia walaupun belum pernah melihatnya, maka Allah memuliakan mereka di surga dengan kenikmatan berupa kemampuan untuk melihat-Nya. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil, baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah As-Shahihah.
Sedangkan orang kafir, mereka yang tidak beriman kepada Allah ketika di dunia, maka Allah memberikan hijab kepada mereka ketika di akhirat, Allah Ta’ala berfirman:
“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup/terhalang dari Rab mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 15)
Ini berarti, orang kafir tidak bisa melihat Allah di akhirat karena Allah memberikan penutup atas mereka dan sebaliknya orang-orang mukmin bisa melihat Allah. Diantara dalil yang bisa dijadikan sandaran dalam ru’yatullah di akhirat adalah:
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahannya.” (QS. Yunus : 26)
Pahala terbaik adalah surga dan tambahannya adalah melihat wajah Allah, ini adalah penafsiran sahabat diantaranya adalah Abu Bakar, khudaifah bin Yaman, Ibnu Abbas dan yang lain Radhiallahu’anhum. (tafsir Ibnu katsir)
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabnyalah mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)
Jelas sekali ayat ini menerangkan bahwa orang mukmin di akhirat nanti akan melihat Allah dengan mata mereka. Adapun dalam ayat 103 surat al-An’am:
لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ ﴿١٠٣
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
Kata Al-Idrak dalam surat al-An’am tidaklah sama artinya dengan kata an-Nadhar dalam surat al-Qiyamah. Lebih jelasnya perhatikan kalimat ini, anda bisa melihat matahari tapi tidak bisa meliputinya (tidak dapat mengetahui secara detail, berapa besarnya, kandungan senyawanya dll). Ini di antara makhluk, lalu bagaimama makhluk meliputi Al Khaliq? Jadi ahli surga dapat melihat Allah dengan mata mereka namun mereka tidak dapat meliputi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةً يَعْنِي الْبَدْرَ فَقَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ
Dari Jarir bin ‘Abdullah berkata, “Pada suatu malam kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. (HR. Bukhari)
Hadits shahih ini memperkuat pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah ru’yatullah. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits ini tidak menyamakan Allah dengan bulan purnama, tetapi menyamakan cara melihat bulan dan cara melihat Allah, dengan mata, tidak berdesak-desakan dan melihat dengan jelas tanpa ada sesuatu yang menghalangi. Wallahua’alam bis shawab.
Oleh: Ust. Taufik el-Hakim/Akidah
Pingback: 28. Beberapa Renungan Dan Nasehat Salaf (11) – assunahsalafushshalih