Sa’id bin ‘Amir Al Jumahy
Bukannya melarat tapi yang dituju hanyalah akhirat.
Sahabat mulia Khubaib bin ‘Adiy radiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada Sa’id bin ‘Amir al arti kehidupan yang sebenarnya dan apa yang harus diperjuangkan dan diharapkan dalam kehidupan dunia ini ketika beliau belum masuk Islam. Seperti apa kisahnya?
Saat itu Khubaib bin ‘Adiy radiyallahu ‘anhu tertawanan Kafir Quraisy.Dengan terikat kedua tangannya, beliau diarak menuju tempat kematiannya.Para wanita dan anak-anak bersorak riuh, sekadar luapan dendam kekalahan mereka pada Perang Badar.
Ketika semua orang telah berkumpul. Sa’id bin ‘Amir al jumahiy berdiri di depan Khubaib, memandangnya dengan tajam.Saat itu ia mendengar suara lirih Khubaib yang takkan pernah dilupakannya,“Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua raka’at sebelum kalian membunuku”. Tak masalah bagi mereka memenuhi permintaan terakhir Khubaib. Seusai shalat Khubaib berkata lantang, “Demi Allah! Jika bukan karena persangkaan kalian bahwa shalatku hanya untuk mengulur waktu karena takut mati, niscaya aku akan shalat lebih lama lagi.”
Detik menjelang ajal kian dekat. Tampaknya orang Quraisy tak ingin kematiannya berlangsung mudah. Karena itu, mereka mengiris bagian tubuhnya sepotong demi sepotong. Mereka nikmati drama penyiksaan tersebut sembari mengejek, “Sukakah engkau bila Muhammad menggantikanmu dan engkau selamatkan?” Dengan tegar beliau menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan senang dalam keadaan aman dan tenang bersama istri dan anakku, sementara Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tertusuk duri”, bergemuruhlah teriakan “Bunuh dia…! Bunuh dia…!” Sa’id bin ‘Amir dengan seksama memperhatikan Khubaib a, beliau menngangkat kepala ke langit dan berdoa dengan nafasnya yang teakhir, “Ya Allah..Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan sisakan seorang pun!”
Kejadian tersebut membuat Sai’d shock. Hatinya mempertanyakan.Seteguh itukah pengikut Muhammad menjaga keyakinannya? Motivasi apa yang mampu membakar keyakinan mereka, meskipun nyawa menjadi taruhannya?Pengalaman itu pun mengantarkan sa’id kepada Islam. Agama terakhir yang ia yakini kebenarannya.
Pada masa Umar bin khattab radiyallahu ‘anhu , Said merupakan tokoh penting yang menjabat sebagai gubernur Homs, Syiria. Sebenarnya beliau setengah hati menjadi pejabat. Jika bukan karena Umar yang meminta, beliau pasti menolaknya.
Secara periodik, Umar memanggil pejabat dari berbagai wilayah untuk melaporkan pemerintahan di daerahnya. Umar juga meminta daftar fakir miskin yang berhak mendapat tunjangan dari negara. Umar begitu kaget kala membaca daftar dari Homs. Ternyata nama Sa’id bin ‘Amir tercantum dalam daftar tersebut. Setengah tidak percaya. Beliapun mengkonfirmasi, benarkah nama tersebut adalah guberhur Homs. “Betulkah Gubernur kalian miskin?”“Sungguh ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Sering kami melihat api tak menyala di rumahnya!” Jawab mereka.Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau menetes membasahi jenggotnya.
Beberapa waktu kemudian. Saat mengikuti perjanjian penyerahan Baitul Makdis, Umar menyempatkan diri mengunjungi kota Homs.Beliau menanyakan kepada warganya tentang pelayanan publik yang menjadi tugas para pejabat. Terutama sang gubernur Sai’d bin Amir. Beberapa warga mengeluhkan beberapa kebiasaan khalifah yang mereka anggap tidak baik. Sebagai khalifah yang bijak. Umar tidak serta merta menyalahkan Gubernur dan memihak rakyat. Beliau pertemukan kedua belah pihak untuk mencairkan masalah tersebut. Tapi, dalam hati umar berdoa, “Semoga persangkaan baik saya selama ini kepada Sa’id bin ‘Amir tidak salah.”
Warga Homs mengeluhkan empat hal. Pertama, gubernur selalu terlambat datang ke tempat kerja ketika matahari sudah tinggi. Kedua, Sa’id tidak mau melayani warganya pada malam hari. Ketiga, Sa’id menambah liburnya sehari tiap bulan. Terakhir, Sa’id sering sekali pingsan, lalu meninggalkan majlis. “Apa tanggapanmu, Sa’id?” tanya Umar.
“Sebenarnya saya keberatan menanggapinya, tetapi apa boleh buat. Pertama, saya tidak mempunyai pembantu. Setiap harisaya lah yang memasak roti untuk keluarga.Sesudah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.
“Saya juga telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat. Karena itu malam hari aku gunakan untuk bertaqarrub kepada Allah.”
“Sebagaimana telah saya terangkan tadi, saya tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badanku ini. Saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani mereka.
“Terakhir, dulu ketika saya masih musyrik, saya menyaksikan Khubaib bin ‘Adiy dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib sepotong demi sepotong. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib ‘Sukakah engkau bila Muhammad menggantikanmu dan engkau kami selamatkan?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan senang dalam keadaan aman dan tenang bersama istri dan anakku, sementara Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tertusuk duri.’
“Demi Allah!Tiap mengenang peristiwa itu, dimana saya membiarkan Khubaib dan tidak membelanya sedikitpun, saya merasa bahwa dosa saya tidak akan diampuni Allah subhanahu wa ta’ala. Saya pun pingsan.”
Mendengar jawaban tersebut hati Umar benar-benar lega. Seperti ada beban berat yang tiba-tiba terlepas. “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan persangkaan baikku benar.” Ucap khalifah menutup dialog.
Beberapa waktu kemudian, Umar mengirimkan seribu dinar kepada Sa’id, sebagai tunjangannya dari negara.Namun apa kata Sa’id? “Dakhalat ‘alayya dunya litufsida akhirati, ada dunia yang datang untuk merusak akhiratku.” Said tidak menolak uang tersebut. Ia ingin harta itu lebih bermanfaat bagi dirinya dan keluarganya..“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita” Kata Sa’id kepada istrinya.
“Mengapa?” tanya istrinya.“Dengan begitu berarti kita depositkan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Sa’id.“Baiklah kalau begitu,” kata istrinya. “Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang paling baik.” Kemudian uang itu dimasukkan Sa’id ke dalam beberapa pundi, lalu diperintahkannya kepada salah seorang keluarganya, “Pundi ini berikan kepada janda si Fulan, pundi ini kepada anak yatim si Fulan, yang ini kepada keluarga si Fulan yang miskin dan keluarga si fulan yang fakir.Subhanallah!
Subhanalloh itulah sebenar benarnya taqwa seorang tabiin….
subhanalloh…….
belajar dari generasi terbaik
afwan bolehkah ana izin untuk print out artikel2 dari ar risalah untuk isi kolom mading dikampus?
sukron jzklloh