Taubat Yang Batal & Hijrah Yang Gagal
Banyak yang menyayangkan saat melihat artis yang sudah bertaubat dan berhijrah, kembali lagi menerjuni dunia hiburan. Kembali membuka aurat, kembali berjoget dan kembali melakukan hal-hal yang dilarang syariat. Fenomena hijrah gagal dan taubat yang batal yang membuat hati sesak dan merasa kasihan.
Pada hakikatnya, batalnya taubat dan gagalnya hijrah bukanlah kasus baru. Sejak dahulu, kasus-kasus hijrah maknawi dan taubat yang gagal dan batal sudah banyak terjadi. Ubaidullah bin Jahsy dan As-Sukran bin Amru menjadi kasus pertama hijrahnya seorang musyrik menjadi muslim yang kembali lagi menjadi musyrik dengan memeluk agama nashrani. Kasus kedua terjadi pada saat Isra’ dan mi’raj di mana sebagian orang yang telah memeluk Islam kembali murtad karena tidak percaya kisah isra’ dan mi’raj Nabi. Dan masih banyak kasus lain seperti murtadnya sebagian kaum muslimin saat kemunculan nabi palsu, Musailamah al-Kadzab.
Kasus yang lebih kecil dalam arti seseorang yang telah bertaubat lalu kembali melakukan maksiat, dan tidak sampai murtad, jauh lebih banyak. Dalam lingkup dosa yang sifatnya personal, barangkali kita pun sering mengalami taubat yang batal dan hijrah yang gagal seperti ini. Hati telah sadar, niat telah dibulatkan, dan beberapa waktu berlalu telah berhasil meninggalkan suatu maksiat, namun sebuah momen hadir saat mana jiwa tak sanggup menahan nafsu dan akhirnya kembali melakukan dosa yang sama.
Hijrah itu Berat
Ya. Hijrah itu berat. Tidak semua kuat. Hijrah dalam makna berubah secara drastis dari kondisi yang tidak peduli dengan agama menjadi reiligus dan taat pada syariat memang bukan perkara remeh. Tentu saja karena untuk berhijrah dalam makna tersebut dibutuhkan keberanian dan kesiapan mental luar biasa. Meninggalkan kebiasaan dan sesuatu yang telah diakrabi bertahun-tahun jelas bukan perkara mudah. Ada banyak konsekuensi dan implikasi yang harus dihadapi dari pilihan ekstrem ini.
Baca Juga: Hijrah adalah Tuntutan Taubat
Hijrah dari dunia keartisan berarti harus bersiap kehilangan job dan income. Memang, rezeki bisa datang darimana saja, namun berubah dari entertain menjadi pebisnis juga tidak mudah. Hijrah dari pakaian yang mengumbar aurat menjadi hijab syar’i berarti harus bersiap dengan omogan orang sampai kehilangan pekerjaan. Hijrah dari riba berarti harus siap berlepas diri dari kucuran dana bank yang dapat begitu mudah dicairkan.
Lagkah hijrah semacam ini sudah berat, namun yang lebih berat dari hijrah itu sendiri adalah langkah berikutnya yaitu istiqomah dalam hijrah. Dan pada level inilah tidak sedikit para muhajirin yang gugur. Gagal hijrahnya dan batal taubatnya.
Penyebab Gagalnya Hijrah
Ada dua faktor yang bisa menggagalkan hijrah seseorang: faktor eksternal dan faktor internal.
Paling tidak ada dua faktor eksternal;
Pertama,
- setan
Jelas, setan mana yang suka melihat ‘kawan’nya pergi meninggalkan kawanannya, lalu bergabung bersama musuh-musuhnya? Setan mana yang rela karib maksiatnya berkurang karena pergi menuju jalan ilahi?
Oleh karenanya, apabila ada seseorang yang berhijrah, setan jin maupun manusia pasti akan melakukan segala cara untuk mengembalikannya. Dari cara yang halus sampai cara kasar. Jika anda memiliki kawan mantan pemabuk, bertanyalah bagaimana mantan-mantan kawannya berusaha megembalikannya ke jalan yang salah. Atau jika anda memiliki kawan mantan gay, bertanyalah bagaimana usaha manusia-manusia pecinta lubang kotoran itu berupaya keras mengembalikan anggotanya yang berhijrah. Anda akan dapati kisah-kisah mengerikan soal usaha mereka membuat ‘saudaranya’ kembali ke jalan neraka. Sebagian usaha mereka gagal, namun tak jarang pula berhasil. Dan inilah tantangan berat pertama bagi para muhajirin, orang-orang yang berhijrah menuju Rabbnya.
Faktor kedua
- anggapan orang bahwa orang yang berhijrah otomatis menjadi baik seluruhnya.
Inilah tantang berat kedua bagi orang yang berhijrah. Orang menganggap, saat seorang wanita, misalnya, telah berhijrah dan memakai pakaian syar’i, berati secara otomatis akhlak dan perilakunya jadi baik. Mereka tidak memaafkan adanya cela dan kekuarangan. Padahal, hijrah dalam bentuk berhijab itu satu masalah, belajar akhlak itu masalah lain, dan mengamalkan apa yang sudah dipelajari juga masalah lain lagi. Tidak ada yang otomatis.
Tapi begitulah, manusia tidak mau tahu. Inilah yang kerap kali membebani para muhajirin dan muhajiraat yang berhijrah pada satu jalan yang mereka mampu. Mereka harus menanggung anggapan, seakan-akan setelah hijrah, dalam hal pakaian misalnya, mereka dikarunia ilmu laduni yang langsung terserap ke otak dan hati yang super bersih hingga akhlak dan perilaku pun dapat berubah drastis seshalih ulama. Padahal hijrah bisa jadi hanyalah langkah awal bagi mereka menuju kebaikan. Hanyalah langkah kecil dari puluhan ribu langkah menuju keshalihan yang baru saja mereka tempuh. Yang tidak kuat menanggung beban ini, bisa jadi akan kembali ke jalan lama karena berpikir, ternyata menjadi baik itu berat.
Faktor internal
Adapun faktor internal gagalnya hijrah diantaranya:
pertama,
- Kurang Ikhlas
Motivasi dasar seseorang saat berhijrah akan berpengaruh besar pada keistiqomahannya. Ikhlas adalah landasan uatama istiqomah. Hati yang hanya mengharap ridha Allah dan bersandar penuh kepadanya menjadi sumber energi bagi keistiqomahan seseorang. Setiap kali badai rintangan datang dan menguras energi, menguras emosi dan menguras kesabaran, ikhlas akan menyuntikkan tenaga yang mampu membangkitkan jiwa.
Jika yang dituju benar-benar Allah, maka Allah adalah Dzat yang Maha kuasa, Maha besar, tidak kemana-mana dan mensyukuri sekecil apapun usaha hamba untuk mendekati-Nya. Namun jika yang dituju adalah selain-Nya, maka energi hijrah akan berangsur hilang seiring hilangnya tujuan yang dicapainya.
Saat menafsirkan ayat,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30).
Imam Ibnu Katsier menjelaskan bahwa yang dimaksud istiqomah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah dan beramal sesuai apa yang disyairatkan.
Kedua
- Tidak sadar konsekuensi
Hijrah dan taubat adalah jalan panjang dan perjuangan seumur hidup. Bukan sekadar momen sementara yang bisa dilewati dengan mudah. Hijrah dan taubat juga bukan amalan yang dapat segera dinikmati hasilnya, layaknya sedekah yang akan segera dibalas tiga kali lipat dari jumlah semula. Hijrah adalah jalan dimana seseorang harus menyadari konesekuensi jalan yang ditempuhnya.
Baca Juga:
Siapa yang Sebenarnya Intoleran?
Bisa jadi, saat seseorang membuka pintu hijrah, saat itulah ujian imannya tengah dibuka. tidak perlu heran jika melihat pengusaha yang bertaubat dari riba justru kemudian bangkrut usahanya. Bukannya usaha semakin maju karena taubat, tapi justru hartanya dikuras dan dibersihkan oleh Allah sebersih bersihnya hingga jatuh miskin. Bagi yang tidak menyadari konsekuensi jalan ini, bisa jadi dia akan berpaling dan kembali ke jalur lama.
Tak perlu kaget juga saat anda memutuskan berhijab kemudian merasa jodoh semakin jauh dan sulit. Padahal dahulu sewaktu rajin buka aurat, lelaki seperti tak berhenti mendatangi. Itulah konsekuensi dan bisa jadi juga sebuah hukuman dan ujian yang harus dijalani terlebih dahulu. Hingga nanti di waktu yang dikehendaki Allah, anda benar-benar menjadi shalihah seperti yang dikehendaki Allah. Jika hal ini tidak dipahami dengan baik, hati akan mudah tergoda untuk kembali ke kebiasaan lama.
Faktor ketiga
- Tidak benar-benar berniat meninggalkan lingkungan yang lama
Kawan adalah faktor utama yang memengaruhi hati. Rasulullah bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seorang laki-laki di atas agama sahabat dekatnya, maka hendaknya seseorang di antara kalian melihat kepada siapa dia bersahabat.(Abu Daud)
Janganlah dahulu beralasan bahwa kita harus mendakwahi kawan lama dan tidak boleh meninggalkan mereka dalam kesesatan. Itu memang benar. Namun hati yang baru saja berhijrah membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk memelihara hijrahnya. Interaksi yang intens dengan orang-orang shalih akan menguatkan jiwa dan iman hingga menumbuhkan keistiqomahan. Sebaliknya, tetap tinggal dan membersamai kawan lama dan bersinggungan dengan maksiat lama akan membuat hati goyah dan setan leluasa menggoda.
Adakalanya, hijrah maknawi harus disertai hijrah hakiki dalam arti pergi dari tempat lama menuju tempat baru untuk rehabilitasi hati. Itulah mengapa pembunuh 100 orang dalam hadits Nabi disuruh untuk berhijrah, bukan secara maknawi saja tapi juga berkumpul bersama orang-orang shalih di suatu desa.
Demikianlah, hijrah dan taubat memang bukan urusan gampang. Bahkan sebagai manusia yang selalu salah dan lupa, kehidupan kita ini akan menjadi ajang pertarungan antara taubat dan maksiat. Semoga Alalh memudahkan langkah hijrah kita, mengstiqomahkan taubat kita, dan mengampuni dosa-dosa yang kita lakukan. Aamiin. Wallahul musta’an.
Oleh: Ust. Taufik Anwar/Telaah