Ketika Sedekah Belum Berbuah
Sedekah atau infaq memang sangat unik. Janji Allah bahwa sedekah membawa berkah tidak pernah salah. Berkah tersebut bukan monopoli orang muslim saja, melainkan seluruh manusia, baik muslim maupun kafir. Namun, ternyata banyak orang kurang yakin dengan sunnatullah tersebut.
Pernah terjadi kisah unik tentang keajaiban sedekah. Pada zaman dahulu, negara Islam menjamin kesejahteraan para guru dan pelajar dengan memberikan santunan wajib yang diambilkan dari baitul mal. Besarannya bervariasi sesuai dengan kapabilitas mereka. Bantuan tersebut dibayarkan rutin tiap tahun. Adalah Haiwah bin Syuraih, seorang ahli fikih dan muhaddits, pergi ke baitul mal untuk mengambil tunjangannya sebesar 60 dinar. Ulama yang zuhud tersebut tidak langsung membawa pulang uang yang beliau terima. Beliau berkeliling mencari orang fakir, miskin atau ibnu sabil untuk beliau santuni. Sehingga, uang 60 dinar tersebut habis tak tersisa.
Sesampainya di rumah, keanehan terjadi atas izin Allah. Saat merapikan tempat tidurnya, beliau menemukan uang sejumlah 60 dinar. Jumlah tersebut sama dengan yang beliau sedekahkan. Saudara sepupu beliau mengetahui kejadian tersebut lantas ingin mencoba dengan penuh antusias. Ia pun ikut menyedekahkan 60 dinar jatah bantuannya tanpa tersisa sekepingpun. Persis seperti yang dilakukan Haiwa bin Syuraih. Ia berharap muncul keajaiban serupa. Setelah itu, ia periksa kolong tempat tidurnya. Ternyata, tak ada uang dinar di sana. Bahkan, setelah ia obrak-abrik seisi rumah, 60 dinar yang diharapkan tak pernah muncul.
Ia mengeluhkan kejadian itu kepada Haiwah, “Aku sedekahkan seluruh tunjanganku. Namun, hasilnya nihil.” Haiwah menjawab dengan simple, “Aku sedekahkan hartaku kepada Allah dengan yakin. Tapi kamu bersedekah karena coba-coba.”
Kisah di atas menggambarkan bahwa nominal atau kuantitas sedekah yang diberikan oleh beberapa orang bisa jadi sama. Tapi, kondisi iman dan keyakinan mereka berbeda-beda. Ada orang yang benar-benar yakin dengan pahalanya di sisi Allah. Ada pula orang yang terpacu bersedekah setelah mendengar suatu cerita lalu ingin membuktikan kebenarannya atau melihat hasilnya. Apakah benar bahwa berkahnya turun secara langsung? Apakah balasannya benar-benar 10 kali lipat dari sedekah? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Perbedaan itu bisa jadi karena al-yaqin merupakan salah satu cabang iman. Karena iman selalu mengalami pasang surut. Keyakinan pun bisa ikut menguat dan melemah. Selain itu, kadar keyakinan tiap orang berbeda-beda. Bahkan, keimanan para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak sama antara satu dengan yang lain. Oleh karenanya, kadar sedekah yang mereka berikan untuk Islam juga tidak seragam.
Misalnya, Abu bakar berani mendonasikan semua hartanya. Beliau tidak menyisakan untuk keluarganya selain keyakinan serta iman kepada Allah dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Shahabat Umar bin Khattab mampu menyedekahkan separuh hartanya. Shahabat yang lain, menyumbangkan asetnya dengan kadar yang berbeda-beda.
Pada kesempatan lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah meluruskan Muadz bin Jabal yang ingin bersedekah seperti Abu Bakar. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
“Tahanlah sebagian hartamu, karena itu lebih baik untukmu. Muadz manjawab, “kalau begitu, aku tahan sahamku yang ada di khaibar. ” (HR. Bukhari)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam benar-benar tahu kualitas iman dan kadar keyakinan shahabatnya. Beliau tidak mempermasalahkan sedekah Abu Bakar dan Umar, karena melihat kualitas Iman mereka benar-benar kuat. Mereka berdua mampu mengatasi masalah dan problem yang muncul setelahnya. Oleh sebab itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang shahabat yang lain berinfaq seperti Abu Bakar, jika belum mampu mengatasi gejolak hati dan madharat yang akan terjadi kemudian.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyebut sedekah sebagai ‘burhan’ yaitu bukti eksistensi iman. Karena itu, banyak orang menggunakan ibadah ini sebagai wasilah dalam doa. Bisa diibaratkan bahwa sedekah adalah umpan untuk memancing keinginan agar cepat terwujud. Sehingga, kadang Allah menjawab doa tersebut persis seperti yang orang tersebut inginkan. Pada saat yang lain, Allah memberi dalam bentuk lain. Jika iman sedang menipis, kadang manusia tak bisa menangkap hikmah di baliknya. Bahkan bisa membuatnya berpikir bahwa sedekahnya tidak terjawab karena target apa yang diinginkan ‘tidak diberikan’. Akhirnya ia kecewa dan putus asa dengan sedekah.
Sebenarnya, seorang muslim harus tetap khusnudzan kepada Allah. Lalu, kembali mengintrospeksi dirinya, adakah kesalahan dalam sedekahnya. Sebab, sedekah dapat hilang berkahnya jika ternodai nila yang berupa unsur haram.
Allah tidak menerima sedekah dari harta yang haram. Baik dari hasil pencurian, ghasab, menipu orang atau sebab yang lain. Bukannya pahala yang didapat melainkan harus menanggung dosa karena menggunakan harta orang lain tanpa izin pemiliknya. Bahkan menurut ulama, pemilik harta yang sebenarnya tidak memperoleh pahala karena ia tidak berniat sedekah.
Para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam membenci sedekah seperti ini. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa dulu ada seorang bernama Abdullah bin Amir yang pernah memimpin Basrah. Konon, ia sangat dermawan. Ia membangun masjid, membebaskan manusia dari perbudakan hingga membuat irigasi yang bermanfaat bagi banyak orang. Saat meninggal pun masih banyak orang yang mengenang budi dan jasa-jasanya. Namun, Ibnu Umar mengatakan bahwa sedekah Abdullah bin Amir tak ada nilainya sama sekali. Sebab, harta yang ia keluarkan sebenarnya milik baitul mal yang diakui begitu saja. Beliau menyamakan Abdullah bin Amir tak ubahnya pencuri. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci. Allah tidak menerima sedekah dari ghulul (harta curian). ” (HR. Muslim)
Bagi Ibnu Umar, menyedekahkan harta haram sama seperti menginfakkan nasjis kepada orang. Tak ada manfaat apalagi berkah. Karena itu beliau katakan, innal khabitsa la yukaffiru al khabitsa. Kotoran sesungguhnya tak bisa membersihkan kotoran. Wallahu A’lam. (Ali)