Hukum Eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu euthanatos, yaitu “eu” yang berarti baik, dan “thanatos” yang berarti kematian. Dengan demikian “Eutanasia” dapat diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Eutanasia ini di dalam bahasa Arab disebut : “qatl rahmah” yang berarti pembunuhan demi kasih sayang.
Hippokrates adalah orang pertama kali yang menggunakan istilah “eutanasia” ini. Tepatnya pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.
Ditinjau dari sudut maknanya maka Eutanasia ini dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia agresif /aktif ( al-fa’al), eutanasia pasif/negatif ( al-munfa’il ) , dan eutanasia non agresif.
Pertama : Eutanasia agresif /aktif ( al-fa’al ) yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau ahli medis lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien dengan memberikan obat-obatan yang mematikan, atau memberikan obat –obatan secara overdosis, atau dengan menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien. Eutanasia dalam bentuk ini dibagi menjadi dua :
1. Tanpa persetujuan pasien dan bertentangan dengan kemauan pasien untuk hidup, maka jelas hukumnya haram, dan tindakan para ahli medis untuk mempercepat kematian pasien ini sangat bertentangan dengan firman Allah swt :
“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” ( Qs. Al Israa: 33)
Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa nyawa manusia adalah suci dan tidak boleh dilenyapkan kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh Islam, seperti hukuman rajam bagi muhsan (sudah menikah) yang berzina, orang yang murtad dan dalam hukum qishas. Sedangkan membunuh pasien karena kasih sayang tidak termasuk dalam katagori tersebut, maka termasuk sesuatu perbuatan yang haram. Selain itu, bahwa perbuatan menghidupkan dan mematikan adalah hak Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya :
“ Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran : 156)
2. Dengan persetujuan pasien, atau bahkan atas permintaannya sendiri atau sering disebut dengan Eutanasia Sukarela atau bunuh diri dengan bantuan, yaitu dimana seorang pasien yang sakit keras dan tidak kuat menahan sakitnya meminta pada dokter yang merawatnya untuk segera mengakhiri hidupnya . Perbuatan semacam ini jelas haram, karena bertentangan dengan firman Allah SWT :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” ( Qs An Nisa’ : 29)
Kedua : Eutanasia pasif/negatif (al-munfa’il) yaitu tidak dipergunakan alat-alat medis sebagai penunjang kesembuhan atau tidak dilakukannya langkah-langkah aktif secara medis yang mungkin dapat memperpanjang hidup pasien. Maka hal ini harus dilihat dulu :
1. Jika sikap ini diambil oleh dokter atau ahli medis setelah dilakukan berbagai pengobatan terhadap pasien tersebut, ternyata tidak ada perkembangan yang berarti dan tidak banyak memberikan harapan kesembuhan kepada si sakit – tentunya menurut ilmu kedokteran – , maka tidak dilakukannya langkah-langkah selanjutnya, dan diserahkan urusannya kepada Allah SWT, maka hal itu dibolehkan. Ada beberapa alasan untuk membenarkan tindakan seperti ini :
Pertama : dokter sudah berusaha mengobati pasien tersebut menurut kemampuannya, dan Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kadar kemampuannya,
Kedua : tidak ada niat untuk membunuh pasien tersebut, tetapi yang ada hanya menyerahkan urusan pasien tersebut kepada Allah SWT.
Bahkan menghentikan alat bantu hidup bagi pasien yang dihukumi telah “ mati “ karena jaringan otak atau syarafnya telah rusak, dan tidak mungkin dipulihkan lagi, serta dia tidak merasakan kehidupan lagi, menurut sebagian ulama, perbuatan ini dibolehkan, karena pada hakekatnya dia sudah mati dan tidak hidup.
2. Jika sikap itu diambil oleh dokter atau ahli medis dengan sengaja agar pasien tersebut meninggal dunia, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, padahal mereka bisa menolongnya, maka tindakan ini tidak dibolehkan dan bisa dikatagorikan membunuh walau tidak secara langsung.
Ketiga : Eutanasia non agresif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis. Permasalahan ini harus dilihat dulu :
1. Jika ia menolak perawatan medis karena putus asa dan tidak kuat menahan derita, serta ingin cepat mati, maka hukumnya haram, karena bisa dikatagorikan bunuh diri.
2. Sebaliknya jika ia menolak perawatan, karena bertawakal kepada Allah saja dan menyakini bahwa kesembuhan ada di tangan Allah semata, dan dokter hanyalah sarana yang mungkin berhasil dan mungkin tidak, serta tidak ada niat sama sekali di dalam dirinya untuk bunuh diri, maka perbuatan semacam ini dibolehkan dalam Islam. Disamping itu, perlu disampaikan di sini bahwa hukum berobat dari penyakit sendiri masih diperselisihkan para ulama. Sebagian mereka mengatakan hukumnya mubah, sebagian yang lain mengatakan mustahab dan sebagian kecil mengatakan wajib.
Wallahu A’lam.
apakah hal galt rahhmah ini sering terjadi?
saya setuju jika etunasi dilarang.., nyaWa itu mulia.