Hukum Nikah Siri Dalam Islam
Belakangan ini sempat heboh berita tentang sebuah situs yang menggunakan nama nikah siri. Website tersebut memberikan jasa bagi orang yang ingin mendapatkan jodoh atau pasangan hanya dengan membayar mahar yang telah disepakati oleh anggota dan kliennya. Usut punya usut ternyata praktik yang terjadi disana sangat melenceng dari hakekat pernikahan menurut Islam. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang Nikah Siri?
Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. ( Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356 ). Kadang Siri juga diartikan zina. Seperti dalam ayat;
وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا
“Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina (atau melakukan hubungan seksual) dengan mereka “ (Qs. Al Baqarah: 235)
Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti: berzina atau melakukan hubungan seksual.(Tafsir al Qurtubi: 3/126).
Nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga pengertian:
- Pengertian Pertama
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi –sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al Umm: 5/ 23,
“Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata : “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)“
Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.
- Pengertian Kedua
Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:
Pendapat Pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435 ) . Dalilnya adalah hadist Aisyah RDH, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل
“ Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil “ ( HR Daruqutni dan al Baihaqi ) Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla : 9/465)
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.
Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95 ) . Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. (Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq: DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet: pertama: 4/ 401) Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
فَصْلٌ بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ
“Pembeda antara yang halal ( pernikahan ) dan yang haram ( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara “ (HR. an-Nasai dan al Hakim dan beliau menshahihkannya serta dihasankan yang lain)
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya.” ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi berkata: Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.
- Pengertian Ketiga
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA .
Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang tidak mencatatkan pernikahan mereka ke KUA, diantaranya, biaya, tempat kerja atau sekolah yang tidak membolehkan menikah selama bekerja atau sekolah, faktor sosial yang tidak bisa menerima pernikahan lebih dari satu dan lain sebagainya.
Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini?
Pertama: Menurut kaca mata Syariat, nikah siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi, Sehingga tidak ada dosa.
Kedua: Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sangsi.
Mencatatkan nikah di KUA memang memiliki maslahat. Minimal, seseorang memiliki bukti resmi menikah dan menghilangkan su’udzan orang yang tidak tahu. Tapi pemberian sanksi berat seperti di atas, sepertinya patut dipertimbangkan kembali. Atau jika memang harus ditetapkan, semestinya perzinaan dikenai sanksi yang jauh berlipat karena jelas-jelas merusak moral, tatanan masyarakat dan juga agama. Dampaknya berlipat kali lebih buruk daripada nikah yang tidak dicatatkan di KUA. Semoga pemerintah bisa lebih bijaksana. Wallahua’lam.
Ditulis Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah
Tema Menarik Lainnya:
- Hukum Menghadiri Walimah Orang Kafir
- Hukum Wanita Karir
- Melangkahi Kakak Menikah
- Hukum Melamar Perempuan Yang Sudah Dilamar
- Menikah Dengan Orang Yang Hamil Karena Zina
Pingback: Rincian Halal-Haram Dalam Memanfaatkan Bunga Bank