Berpuasa Untuk Mayit
Orang-orang yang meninggalkan puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, Nadzar, dan yang lainnya, kemudian meninggal dunia, mereka terbagi dalam 3 golongan :
Golongan Pertama: Orang yang tidak berpuasa karena meremehkan ajaran Islam, padahal dia mampu berpuasa. Orang seperti ini telah melakukan perbuatan dosa besar, karena meninggalkan salah satu rukun Islam. Jika dia meninggal dunia, maka wali dan kerabatnya tidak boleh berpuasa untuknya.
Golongan Kedua: Orang yang tidak berpuasa karena udzur, seperti sakit dan safar, kemudian meninggal dunia dalam keadaan sakit atau safar, atau kemudian meninggal dunia pada waktu Idul Fitri, sehingga tidak bisa mengqadha’ puasanya. Dalam keadaan seperti ini, kewajiban berpuasa atasnya menjadi gugur, dan dianggap tidak ada utang puasa atasnya. Maka, tidak boleh berpuasa untuk si mayit tersebut. Ini merupakan kesepakatan para ulama.
Golongan Ketiga: Orang yang tidak berpuasa karena suatu udzur, seperti sakit, safar, dan haid, kemudian sembuh dari sakitnya, atau telah datang dari safarnya, atau telah bersih dari haidnya, tetapi dia tidak langsung meng-qadha’ puasanya, padahal ada waktu dan kesempatan, hanyasaja dia mengundur-undurkannya sehingga meninggal dunia, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah walinya berkewajiban berpuasa untuknya atau cukup membayarkan fidyah?
Pendapat Pertama: Disunnahkan wali (kerabat) mayit berpuasa untuknya. Jika tidak mampu berpuasa, maka boleh membayarkan fidyah untuknya. Ini adalah pendapat Thawus, Hasan Bashri, Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur dan Syafi’i dalam al-Qaul al-Qadim. (An-Nawawi, al-Majmu’: 6/368 dan Syarh Shahih Muslim, 8/25)
Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama: Hadits ’Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“ Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuknya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas bersifat umum mencakup semua puasa, kemudian dikhususkan hanya pada puasa wajib, seperti puasa Ramadhan dan Nadzar, sebagaimana di dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang akan disebutkan kemudian.
Kedua: Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ قَالَ: ” نَعَمْ، قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى “
“ Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan dia mempunyai kewajiban satu bulan berpuasa, apakah saya bisa membayarkan puasa untuknya?” Beliau bersabda: “Ya.” Lalu bersabda: “Utang kepada Allah lebih pantas lagi untuk dibayarkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat Kedua: Tidak ada kewajiban berpuasa untuknya, tetapi yang wajib hanyalah membayarkan fidyah untuknya. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’i di dalam al-Qaul al-Jadid. ( al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an : 2/ 285)
Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut :
Pertama: Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“ Barang siapa yang meninggal, sedangkan dia mempunyai kewajiban puasa satu bulan Ramadhan, maka hendaklah (walinya) memberi makan untuknya, setiap harinya satu orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni.)
Tanggapan: Hadist di atas tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hadits mauquf yang berhenti sampai Ibnu ‘Umar saja. Berkata Tirmidzi : “ Hadist Ibnu ‘Umar kita tidak mengetahuinya marfu’ kecuali dari jalan ini. Dan yang shahih bahwa hadits ini mauquf.”
Kedua: Atsar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata,
لاَ تَصُومُوا عَنْ مَوْتَاكُمْ وَأَطْعِمُوا عَنْهُمْ.
“ Janganlah berpuasa untuk orang yang meninggal dunia, tetapi bayarlah makanan untuk mereka. “ ( HR. Baihaqi )
Tanggapan: Dalil kedua ini, bukanlah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi hanya pendapat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu saja. Dan ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih.
Berkata Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra (4/256): “ Adapun riwayat dari keduanya (Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah) yang melarang berpuasa untuk mayit adalah pendapat yang perlu dikritisi. Sedangkan hadits-hadits yang marfu’ lebih shahih sanadnya, dan lebih masyhur para perawinya. Bahkan Bukhari dan Muslim telah menyebutkannya di dalam kitab shahih mereka. Seandainya Imam Syafi’i rahimahullahu mengetahui jalan-jalan haditsnya dan hadist-haditsnya yang semitsal, tentunya beliau tidak akan menyelesihinya insya Allah Ta’ala. Wa Billahi at-Taufiq. “
Berkata an-Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim (8/25-26) :
“ Adapun hadits yang menjelaskan bahwa orang yang mati dan mempunyai kewajiban puasa, maka dibayarkan fidyah untuknya, adalah hadits yang tidak shahih. Seandainya hadits tersebut shahih, maka bisa digabung dengan hadits-hadits ini ( hadits ‘Ibnu Abbas di atas), yaitu dengan mengatakan dibolehkan kedua-duanya. Karena sesungguhnya yang berpendapat boleh berpuasa untuk mayit, mereka juga membolehkan membayarkan fidyah untuknya. Dari sini diketahui, bahwa pendapat yang benar adalah boleh berpuasa untuk mayit dan boleh juga membayarkan fidyah untuknya. Walinya memilih salah satunya. “
Pendapat Ketiga: Tidak boleh membayarkan puasa Ramadhan untuk mayit, tetapi boleh membayarkan puasa Nadzar untuk mayit. Ini adalah pendapat Hanabilah. (Ibnu Qudamah, al-Mughni : 4/398 )
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata,
جاءت امرأة إلى النَّبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله ، إن أمي ماتت وعليها صوم نذر، أفأصوم عنها؟ قال: “أفرأيت لو كان على أمك دين فقضيته، أكان يؤدي ذلك عنها”؟ قالت: نعم. قال: “فصومي عن أمك
“Datang seorang perempuan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan dia mempunyai kewajiban puasa nadzar, apakah saya meng-qadhakan untuknya?” Beliau bersabda: “ Apakah jika ibumu mempunyai utang, kemudian engkau bayarkan utangnya, apakah itu dianggap sah ? Dia menjawab : Iya. Kemudian beliau bersabda : Berpuasalah untuk ibumu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist di atas menunjukkan bahwa yang boleh dibayarkan puasanya hanyalah puasa nadzar, bukan puasa Ramadhan.
Tanggapan: Terdapat riwayat lain dari hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa yang ditanyakan adalah puasa Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan oleh pendapat pertama. Ini menunjukkan bahwa kedua-duanya ( puasa Ramadhan dan Nazar) bisa dibayarkan oleh walinya.
Berkata Muhammad al-Amin al-Mukhtar asy-Syenqithi di dalam Adhwau al-Bayan (18/280) : “ Perbedaan riwayat di dalam hadits ini tidak termasuk idhthirab (riwayat yang kacau), karena berbeda kejadiannya ; seorang perempuan bertanya kepada beliau, kemudian dijawabnya, dan seorang laki-laki bertanya kepada beliau, dan dijawabnya sama dengan jawabannya kepada perempuan tadi. Inilah yang diterangkan oleh para ulama.
Dan ini adalah nash yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan secara gamblang kebolehan menggabungkan sesuatu yang sejenis karena alasan hukumnya sama.”
Berkata Ibnu Daqiq al-‘Ied di dalam Ihkamu al-Ahkam (1/280) : “ Adapun hadits Ibnu ‘Abbas, disebutkan di dalamnya secara mutlak bahwa ibu laki-laki tersebut meninggal dunia, sedang dia ada kewajiban puasa Ramadhan, dan tidak disebutkan puasa Nadzar. Dan ini menunjukkan bahwa kebolehan mewakili puasa untuk mayit, tidak terbatas pada puasa nadzar saja. Inilah yang disampaikan Syafi’iyah dengan mengambil dari al-Qaul-al-Qadim dan ini berbeda dengan pendapat Ahmad.”
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat, adalah pendapat pertama yang membolehkan, bahkan menganjurkan kerabat mayit untuk berpuasa untuknya. Berkata an-Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim (8/25) :
“ Dan ini pendapat yang shahih dan terpilih yang kami menyakininya. Dan pendapat ini shahihkan juga oleh para peneliti dari kalangan sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) yang menggabungkan antara fikih dan hadits. Ini semua berdasarkan hadist-hadits shahih dan jelas.“ Wallahu A’lam.
Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah
Fikih Lainnya: