Waspadai Ngedrop Iman Pasca Ramadhan
Bagaimana suatu dosa menjadi biasa itu ada siklusnya; baik dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melanggar larangan. Bermula dari setan yang secara masif membujuk dan merayu nafsu, lalu nafsu tak kuasa menolak iming-iming dari setan, entah karena penasaran ataupun terpesona oleh cara setan menyajikan. Hingga terjerumuslah seseorang kepada dosa. Tak berhenti sampai di situ, karena setan terus membangkitkan memori lezatnya suatu kemaksiatan, ditambah janji-janji kenikmatan lebih yang bakal dirasakan, maka yang terjadi berikutnya adalah pengulangan dosa. Ketika pengulangan itu terjadi berkali-kali, maka suatu dosa telah terpatri dan bisa menjadi karakter diri. Inilah yang berlaku ketika perselingkuhan antara setan dan nafsu terjadi.
Di antara kemurahan Allah kepada hamba-Nya adalah ketika Allah memberikan kesempatan bagi manusia untuk terbebas dari belenggu setan dan kungkungan hawa nafsu. Allah ‘hadiahkan’ bagi hamba-Nya waktu sebulan penuh pertolongan bagi hamba-hamba-Nya yang mau memanfaatkan peluang. Di bulan Ramadhan Allah belenggu setan si musuh bebuyutan, hingga tak berdaya membujuk dan melancarkan godaan. Lalu Allah sediakan ‘program’ unggulan berupa shaum, yang dengannya manusia bisa menundukkan hawa nafsu, bukan justru menjadi budaknya.
Saat setan dibelenggu, nafsu juga tertundukkan, maka kita terbiasa untuk tertib dengan aturan; mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, termasuk disiplin menjaga waktu dan batas-batasannya. Ini berlangsung hingga selama satu bulan. Yakni waktu yang semestinya sangat cukup untuk membentuk sebuah kebiasaan baik, reflek terhadap keshalihan hingga menjadi sebuah karakter. Karena telah menjadi kebiasaan dan karakter, semestinya tidak mudah berubah kebiasaan itu meskipun belenggu setan telah dilepaskan, karena nafsu telah tertundukkan.
Namun realita yang sering kita dapatkan, perubahan itu begitu drastis dirasakan; aturan syariat begitu enteng ditinggalkan, larangan-larangan begitu mudah untuk dilanggar, hingga seakan ia tidak pernah memiliki kebiasaan yang baik. Kebaikan yang telah dirintis dan dibiasakan makin jauh makin terkikis dan habis. Allah ingatkan kita, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (QS. an-Nahl: 92)
Ini adalah perumpamaan yang pas dengan kondisi orang yang telah memperbaiki hati dan amalnya pada bulan ramadhan, lalu ia menanggalkan kebaikan itu satu persatu, hingga ia seakan tak pernah memperbaiki diri. Sisi cela bukan pada program yang tersedia pada bulan ramadhan, tapi dari kecerobohan orang yang menjalaninya. Atau dia tidak bersyukur atas nikmat ramadhan yang Allah sediakan. Karena seandainya dia bersyukur tentu Allah akan memudahkan baginya menjalankan ketaatan. Maka jangan sampai kita rusak sendiri kebiasaan baik yang telah kita rintis di buan ramadhan, jadikan kebaikan sebagai karakter yang melekat hingga tak mudah berubah kepada keburukan, wallahul muwaffiq.
(Abu Umar Abdillah)
Pingback: Cara Allah Ta'ala Menjaga Keimanan Para Hamba-Nya