Doa di Sidang Paripurna Suatu Anakronisme
Sidang Paripurna MPR/DPR 2016 dan pidato dari Presiden itu ditutup dengan doa oleh anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra H.R. Muhammad Syafi’i. Ruang sidang hening saat ketua Panitia Khusus (pansus) Revisi UU Terorisme itu membacakan doa selama waktu sekitar 8 (delapan) menit. Tidak ada interupsi saat pembacaan doa, tidak seperti biasanya dimana di ruang sidang itu sering terjadi hujan interupsi saat ada sesuatu yang tidak disetujui. Beragam ekspresi para peserta sidang ‘yang terhormat’ selama doa dibacakan ; ada yang tampak khusyuk sambil mengangkat kedua tangannya, ada yang memejamkan mata, ada yang keningnya bertaut, ada yang wajahnya menatap langit-langit gedung, ada pula yang menguap.
Kegemparan terjadi sesudahnya, doa yang dianggap menohok para politisi dan penyelenggara pemerintahan itu mendapat beragam tanggapan di media sosial, stasiun-stasiun TV, maupun koran. Diantara isi doa itu, “Jauhkanlah kami dari pemimpin yang khianat yang hanya memberi janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, dan kekuasaan yang bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat”. “…hukum seperti mata pisau hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, sehingga mengusik rasa keadilan bangsa ini ya Robbal-‘alamin”. …“Allah, kalau ada mereka yang bertaubat terimalah taubat mereka ya Allah. Tapi kalau mereka tidak mau bertaubat dengan kesalahan yang diperbuat, gantikan dia dengan pemimpin yang lebih baik…”. [suara-islam.com/Selasa, 16/8/2016]. Banyak tanggapan positif, namun tidak sedikit pula yang mencibir dan menanggapi negatif ‘doa politik’ tersebut.
Kontekstual Doa
Doa tersebut dipanjatkan oleh Penasihat DPP Partai Gerindra, seorang yang saleh (begitulah anggapan penulis, hakekatnya Allah yang Maha Tahu), anggota dari sebuah partai sekuler dalam sistem pemerintahan sekuler. Keluh-kesah dan harapan pelantun doa tersebut kepada Allah tentu saja merupakan bagian dari perjuangannya meng-artikulasi-kan kepentingan rakyat yang diwakilinya secara khusus, maupun perannya sebagai wakil rakyat secara umum. Beliau mendapat applaus dan dukungan dari silent minority di DPR yang menjadi anggota berbagai partai sekuler, dengan basis seperti dirinya, kesalehan pribadi. Juga dari silent mayority rakyat yang merasakan apa yang disuarakannya, tetapi tidak berkesempatan mengartikulasikannya.
BACA JUGA : Nihilnya Moralitas Pemalsuan Vaksin
Keluh-kesah, pengaduan dan harapan itu, tentu di dengar Allah (karena Allah Maha Mendengar) tanpa keraguan sedikitpun. Persoalannya, seandainya Allah mengabulkan harapan tersebut, seperti apa kira-kira bentuk pengabulan itu, dalam konteks sebuah sistem pemerintahan sekuler seperti ini?
Sebagai seorang muslim, kita tahu bahwa keadilan menurut Allah -yang dikehendaki oleh-Nya diterapkan untuk dan oleh manusia di bumi, bukan keadilanNya di hari akherat- diletakkan pada 2 (dua) syarat, pertama pada sumber hukum yang adil yang menjadi rujukan, kedua pelaksana hukum yang adil (bersih dari pretensi). Dengan kata lain, sumber hukumnya dari Allah dan manusia pelaksananya adil.
Ditinjau dari sisi ini, keadilan bumi dalam konteks pemerintahan sekuler hanya diletakkan pada bagaimana manusia yang duduk pada posisi subyek pelaksana hukum : penyidik, jaksa, pengacara maupun hakim dalam berbagai tingkatannya dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai mahkamah agung harus adil dan bebas kepentingan. Dari kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi hingga kejaksaan agung harus obyektif dan bebas kepentingan dalam membuat tuntutan. Bersih kepentingan terhadap pihak yang berperkara, tidak ada kepentingan untuk menguntungkan dirinya sendiri secara politik, atau menguntungkan kelompoknya, atau kelompok politik, atau kekuatan ekonomi yang sedang ditangani perkaranya. Begitu pula hakim dalam seluruh tingkatannya dalam memutuskan perkara.
Dilihat dari perspektif ini, muncul pertanyaan, mungkinkah manusia yang dididik dalam sistem sekuler, kesehariannya dalam lingkungan dan suasana sekuler, akan mampu berbuat adil dan bebas kepentingan, sementara apa yang dikerjakan dalam menjalankan perannya sebagai subyek hukum (penyidik, jaksa, pengacara dan hakim) tak ada kaitannya dengan berhasil-gagalnya dia meraih kebahagiaan-kesengsaraan dalam kehidupannya sesudah mati? Bahagia-sengsara di dalam kehidupan akherat (menurut persepsi sekularisme) hanya bertumpu pada shalat, puasa, zakat, haji, sedekah, baca al-Qur’an dan doa. Bukan pada peran penyidikan yang dijalankan, atau penuntutan yang (melalui ‘makelar kasus’ sudah negosiasi) dibuat tidak sesuai fakta, atau ketokan palu putusan yang (dipengaruhi oleh uang dan atau kepentingan) dijatuhkan tidak sesuai dengan fakta kejadian yang sesungguhnya.
Belum lagi jika ditinjau dari sumber hukum yang menjadi rujukan, yang bukan dari materi syari’at (untuk hukum yang telah ditetapkan Allah dan Nabi-Nya) atau berangkat dari spirit syari’at yang adil (untuk perkara-perkara yang memerlukan perincian). Sistem hukum yang dipakai, baik hukum acara yang dipakai maupun materi hukum yang diterapkan adalah tinggalan pemerintah kolonial Belanda, Inggris atau warisan Napoleon (Perancis) sebagai sumber acuan.
Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, juga banyak produk legislasi yang merepresentasikan perlindungan kepentingan kekuatan-kekuatan besar ; kekuatan politik, kekuatan ekonomi dalam negeri, maupun kekuatan asing yang berhasil menanamkan pengaruhnya melalui pinjaman keuangan, atau tekanan politik dan militer, atau berhasil mempengaruhi para penyelenggara pemerintahan dengan memberikan keuntungan pribadi atau kelompok politik tertentu dengan uang dan sahamnya. Kasus ‘papa minta saham’ memang tidak pernah jelas, namun jelas meng-indikasikan hal itu.
Dalam masalah materi hukum, Allah berfirman, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” [Al-Maidah : 50]. Sedang dalam masalah ‘subyek’ pelaksana hukum, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…” [An-Nisa’ : 135].
RasululLah shallalLahu ‘alayhi wa sallam obyektif, ketika beliau memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Habasyah, beliau mengakui bahwa Raja Najasyi adalah seorang raja -yang meskipun kafir- tetapi adil (tidak berbuat aniaya). Namun keadaan itu merupakan anomali, dimana pada asalnya, kekafiran itu memproduk ketidakadilan, dan tauhid -yang benar- merupakan sumber keadilan.
Dengan pemahaman di atas, harapan dalam lantunan doa di ruang sidang paripurna kemarin -dengan meperlindungkan diri kepada Allah dari sikap pesimis- tampaknya merupakan harapan jauh.
Anakronistik
Semoga ‘Romo’ Muhammad Syafi’i mendapat ganjaran sesuai dengan kadar keiklasannya dalam memanjatkan doa, dan membimbingnya untuk lebih dalam memahami konsekuensi doanya. Beliau telah membahasakan rintihan rakyat, dan harapan banyak orang, meski dalam alam demokrasi hari ini, lantunan doa seperti itu begitu anakronistik, salah waktu dan tempat. Doa yang diharap dalam situasi dan forum seperti itu, menurut sistem sekuler yang men-steril-kan ruang publik dari keterlibatan ‘apapun’ agama, semestinya hanya formalitas, sekedarnya saja, agar tetap dianggap bertuhan, tidak perlu terlalu serius.