Kehampaan Jiwa Pemicu Ekstremisme
Akhir Juli 2016 terjadi pembunuhan pastur Jacques Hemel oleh penyerang remaja keturunan Afrika Utara. Pemuka agama Katholik berusia 85 tahun tersebut digorok lehernya pada saat memimpin misa pagi di gereja St Etienne, Normandy, Perancis, Selasa 26 Juli 2016. Mengomentari peristiwa itu, Paus Fransiskus (pemimpin Katholik Roma) memperingatkan agar para pemimpin Eropa memperhatikan warganya. Menurutnya, pemerintah negara-negara Eropa yang paling bertanggung jawab atas kaum muda yang hidup di dalam idealisme kosong, tak punya pekerjaan sehingga beralih menjadi pecandu narkoba, alkohol dan bergabung dengan kelompok fundamentalis. [detikNews. Senin, 1 Agustus 2016]. Masih menurut dia, terorisme muncul di tempat-tempat yang mempertuhankan uang dan tidak ada pilihan lain.
Buah Sekularisasi
Proses sekularisasi seluruh segi kehidupan merupakan langkah konkrit dari pilihan paham secularism sebagai landasan hidup tatanan sosial masyarakat barat sejak renaisance telah membawa konsekuensi seluruh lini kehidupan di-steril-kan dari peran agama. Meskipun agama masih diberi tempat dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, tetapi pembersihan kehidupan manusia dalam hubungannya dengannya, dengan makhluk hidup yang lain dan dengan alam, telah membawa dampak serius.
Kaum sekuler lupa bahwa manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, dia ada yang menciptakan dengan segala fitrah yang menyertai penciptaannya. Fitrah itu -dalam agama langit- dijelaskan oleh Allah dalam ayat-Nya, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus, fitrah Allah yang Dia menciptakan manusia di atas fitrah tersebut. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, dan yang demikian itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. [Ar-Ruum 30].
Para mufassirin seperti Ibnu Katsir, juga Syaikh As-Sa’diy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna menghadapkan wajah kepada Allah adalah melaksanakan ibadah dan syari’at agama-Nya, dhahir maupun yang batin. Tidak ada pembedaan apakah aturan agama tersebut menyangkut kehidupan pribadi, ataukah kehidupan sosial antara sesama manusia. Mencakup aktivitas hubungan antara sesama manusia maupun hubungan ‘hamba’ dengan tuhannya.
Ketika sistem sekuler mensterilkan ruang publik dari motivasi, peran, sentuhan dan warna agama, sejatinya telah campur tangan terlalu jauh terhadap kehidupan makhluk, terutama manusia. Memaksakan suatu sistem kehidupan, hal mana sistem itu tidak sesuai dengan karakteristik yang dibuat oleh Penciptanya. Jiwa manusia membutuhkan motivasi dan penilaian dalam berbuat -yang motivasi dan penilaian tersebut- tidak berasal dari manusia, harapan, maupun perasaan mencintai dan ingin dicintai dari Penciptanya. Masih berderet persoalan jika kita ingin memerinci. Dimensi ini yang secara arah dan tujuan hendak dihapus oleh sistem sekuler. Sehingga yang tersisa dalam hubungan sosial antar manusia hanyalah motivasi, penilaian, harapan, cinta dan balasan dari sesama manusia. Semua perbuatan baik dilakukan hanya bersifat transaksional. Akibatnya manusia mengidap kekeringan jiwa, kegersangan ruhani, dahaga ketentraman. Ketika keadaan itu berlalu pada waktu yang panjang, menjadikan krisis kegersangan ruhani kolektif tersebut kronis, akumulatif dan akut.
Positivisme Memproduksi Kekeringan Jiwa dan Memicu Kejahatan
Pemimipin gereja Katholik itu mengungkapkan fakta menarik, bahwa ‘terorisme muncul di tempat-tempat yang mempertuhankan uang dan tidak ada pilihan lain’. Pendapat ini menurut penilaian penulis mengungkap substansi masalah yang dihadapi barat, masyarakat barat merupakan masyarakat yang sakit. Kemakmuran ekonomi, kemajuan teknologi, terlebih teknologi-informasi, kenyamanan hidup yang dinikmati barat, hanya kelezatan fisik yang bersifat periferal, tetapi kehilangan happiness (kebahagian) dan ketenangan hidup. Persoalannya, adakah pemimpin politik yang berani mengakui realitas ini, dan jika ada yang berani mengakui, adakah yang memiliki keberanian untuk secara drastis dan mendasar melakukan perubahan arah dan tujuan hidup menuju sistem kehidupan yang memadukan secara seimbang aspek phisik-dhahir dengan aspek ruhiyah-bathiniyah yang ditawarkan oleh agama langit?
Positivisme yang kemudian lebih vulgar menjadi materialisme telah terbukti secara ‘sah dan meyakinkan’ menjerumuskan manusia secara kolektif kedalam situasi kekeringan jiwa dan kehampaan hidup. Masyarakat barat menjadi masyarakat yang tidak memiliki orientasi selain materi, tenggelam dalam kubangan alkohol dan narkoba, egois dan tidak memiliki empati terhadap penderitaan sesama manusia, juga menjadi masyarakat yang gemar menganiaya sesamanya untuk kepentingannya sendiri. Statement ini dapat dibuktikan dengan fakta yang hingga kini masih terus berlanjut, sistem barat yang kapitalistik terus-menerus meng-eksploitasi sumber daya alam di seluruh dunia dengan mengabaikan pembagian yang patut bagi masyarakat yang memiliki hak terhadap sumber daya alam itu. Jika perlu mereka menggunakan pendekatan militer untuk tujuan itu. Sesudah itu, di negeri mereka sendiri, bagian anggaran untuk seekor hewan peliharaan mereka jauh lebih besar dari anggaran belanja untuk sebuah keluarga miskin di Afrika, (salah satu) tempat sumber daya alam yang mereka eksplorasi untuk kemakmuran mereka itu.
Terorisme di masyarakat barat, menurut paus, bukan teror dalam arti sebuah taktik serangan dari pihak yang secara ideologis bermusuhan dengan ideologi barat yang sekularistik-materialis. Dia adalah produk kekeringan jiwa dan kegersangan ruhani yang panjang, akumulatif, akut, dan eksplosif tatkala mendapatkan ruang untuk meng-ekspresikan diri.
Tinjauan Historis
Masyarakat barat menjadi the sick society, masyarakat yang sakit karena pilihan jalan hidup sekularistik yang mereka ambil. Sudah lebih dari dua abad barat memilih sekularisme. Tetapi sebaiknya kita tidak lupa terhadap apa yang melatarbelakangi pilihan masyarakat barat terhadap sekularisme sebagai jalan hidup.
Mereka memilih pilihan yang salah sebagai antithesa terhadap sesuatu yang salah sebelumnya. Barat berada di bawah sistem teokrasi gereja yang lalim, rakus dan tidak ilmiah dalam rentang waktu panjang. Tokoh-tokoh agama dan gereja merupakan para pemimpin yang rakus terhadap harta dan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama dan tuhan. Mereka mentahbiskan dirinya sebagai representasi tuhan di muka bumi. Sementara praktik keagamaan yang mereka lakukan telah jauh menyimpang dari doktrin tauhid, praktek peribadatan mereka juga dipenuhi dengan heresy (bid’ah), keyakinan agama yang dikembangkan banyak yang bertentangan dengan akal sehat dan bertabrakan dengan penelitian para ilmuwan. Korban berjatuhan untuk mendobrak dominasi ini.
Ketika pada akhirnya masyarakat barat berhasil keluar dari dominasi sistem teokrasi yang rakus, lalim dan banyak bertentangan dengan akal sehat itu, citra agama, tokoh-tokoh agama, bahkan tuhan telah rusak di benak masyarakat barat. Semua agama (tidak hanya Nashrani), tokoh agama, bahkan tuhan terfitnah di masyarakat barat. Maka pilihan mereka jatuh kepada segala yang menjauhkan mereka dari semua itu, Sekularisme.
Jadi yang mengantarkan masyarakat barat kepada pilihan yang mengantarkan mereka kepada kekosongan idealisme, narkoba, alkohol dan keruntuhan moral, yang mengantarkan masyarakat barat menjadi the sick society ditinjau secara historis adalah praktek keagamaan para tokoh agama yang tak jujur menjelaskan agama, rakus terhadap dunia dan lalim. Wa Allohu A’lam.