Embun di Puncak Kemarau
Tanggal 18 Juni lalu, kompleks lokalisasi pelacuran terbesar di Surabaya (ada yang mengatakan terbesar di Asia Tenggara), secara resmi ditutup oleh Pemkot Surabaya. Tri Rismaharini, wali kota Surabaya saat ini menjadi orang yang paling berperan dalam penutupan pusat prostitusi itu. Wacana penutupan Dolly sebenarnya sudah lama, sejak pejabat-pejabat sebelumnya, tetapi berbagai persoalan dan beragam kepentingan tarik-menarik, mengakibatkan wacana tersebut tidak pernah sampai tahap pelaksanaan, hingga kemudian wali kota sekarang merealisirnya.
Jika para pejabat sebelumnya menjadikan issue penutupan itu sebagai politik penarik dukungan, walikota yang ini benar-benar melakukannya. Untuk sampai pada keputusan itu, ternyata melalui proses panjang yang memakan waktu dan pergulatan pertimbangan, sampai akhirnya memenangkan keputusan penutupan tersebut.
Kompleksitas Masalah
Beragam alasan dan berbagai kepentingan tumpang tindih dalam persoalan dolly. Para ulama dan kyai menuntut tempat kemaksiyatan tersebut harus hilang, karena dalam tinjauan agama kemaksiyatan yang dilegalkan mengundang datangnya kemurkaan Allah, berbeda jauh dibandingkan (meskipun tetap ada, tetapi) dilakukan dengan tidak terang-terangan.
Semula, sekalipun memahami dan sepakat dengan masukan para kyai tersebut, Risma belum berani melakukan karena harus memberi jalan keluar atas tuntutan kebutuhan hidup (atau tuntutan kemewahan?) orang-orang yang menggantungkan kehidupan (dan kemewahan) pada industri pelacuran tersebut. Para mucikari yang dalam masa panjang telah menikmati gelimang kemewahan dengan memperkerjakan para pekerja seks tersebut tentu saja menolak gagasan penutupan. Kemapanan yang salah telah membuat mereka takut dan tidak berani beralih profesi yang lebih halal dan terhormat.
Para pelacur sendiri, dengan beragam alasan dan latar belakang menerjuni profesi yang tidak terhormat tetapi menjanjikan itu, beragam sikap dan tanggapan. Ada yang sudah terlanjur menikmati kenyamanan haram itu dan berat untuk menatap kehidupan yang lebih terhormat, ada juga yang nuraninya masih hidup sehingga masih punya keinginan untuk terlepas dari jeratan kehidupan haram yang membuai tersebut, tetapi belum menemukan jalan keluar.
Pola hubungan antara para pelacur dengan para ‘induk semang’ mucikarinya juga tidak dalam satu pola hubungan yang konstan, perubahan keadaan dan perubahan cara pandang, berpengaruh merubah pola hubungan tersebut.
Suatu ketika nampak seperti simbiosis-mutualisme yang saling menguntungkan (tentunya jika mengabaikan pertimbangan keimanan dan agama), kadang berubah menjadi hubungan parasitis, dimana mucikari mengeksploitasi para pelacur untuk mendatangkan uang sebesar-besarnya bagi dirinya, dan hanya memberi bagian kecil untuk mereka.
Pola hubungan ini juga dapat berubah drastis ketika diantara pekerja seks tersebut ada yang menemukan kesadaran dan ingin keluar dari lingkaran setan industri kemaksiyatan tersebut. Ketika itu, sering kali nuansa hubungan tidak hanya parasitis-eksploitatif, bahkan disertai intimidasi. Di titik ini keterlibatan peran para ‘centeng’ untuk mengintimidasi dan menakut-nakuti pelacur yang mulai sadar, masuk.
Tak hanya mereka, masyarakat sekitar yang tidak secara langsung terlibat sebagai pelacur atau mucikari, tetapi diuntungkan dengan aktivitas industri kemaksiyatan itu, lambat laun tergantung juga dengan keberadaannya. Meskipun hanya dengan menyediakan rokok, ‘topi miring’, kondom, tissu atau ekstra joss.
Kepentingan tumpang-tindih dan saling-silang dalam bingkai sekularisme (yang mencampakkan nilai-nilai agama ke sudut-sudut kehidupan) itulah yang kemudian tampil terbuka dalam bentuk dinamika aksi-reaksi beradu kuat mempertahankan versus melikuidasi dolly. Spanduk dibentang, ada demonstrasi dengan memukul-mukul peralatan dapur, ada barikade di mulut gang untuk menghalangi satpol PP, ada dukungan puluhan ormas Islam men-support keputusan wali kota, dll.
Alasan Moral
Ketelatenan wali kota mencermati gejala, menguping informasi untuk mendapatkan data demi mengungkap fakta seputar industri kemaksiyatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar dan efeknya terhadap generasi muda, mengantarkannya mendapat temuan yang menguatkan tekadnya untuk menutup dolly.
Wawancaranya dengan salah seorang pelacur yang telah menjajakan dirinya sejak usia 19 th hingga berumur 60 th, sementara dia tetap miskin, menderita dan tersingkir pada usia tua, tinggal di tepian rel dengan gubuk tak lebih dari ukuran 2x2m mengantarkannya pada keputusan berani dan beresiko.
Perempuan itu, pada usianya yang begitu lanjut tetap melayani pelanggan dari kalangan anak-anak SD-SMP dengan imbalan seribu atau dua ribu rupiah. (Wawancara Risma Harini dengan Metro TV, 12 Peb 2014)
Temuan mengenaskan itu, dan gambaran betapa dini perusakan yang ditimbulkan oleh keberadaan tempat maksiyat tersebut, meskipun banyak pihak berkepentingan yang menolak, dihadapi dengan tabah oleh Risma. Pamitannya kepada keluarganya berkenaan dengan kemungkinan resiko terburuk yang dihadapi dengan keputusan itu, mengindikasikan kesungguhan tekadnya.
Oase di tengah gurun
Di tengah gelombang materialisme yang menerjang seluruh sudut kehidupan, ketika orientasi sekularistik mendorong manusia mencampakkan agama dan pertimbangan moral, keputusan itu menjadi begitu bermakna, bak oase di tengah gurun pasir, kesejukan ruhani di tengah panasnya iklim kebendaan.
Memang, efektivitas penutupan itu sendiri tidak menjamin hilangnya bisnis kemaksiyatan secara total dan permanen. Sebab untuk menekan itu hingga batas minimal diperlukan langkah yang komprehensif dan simultan, baik jaring pengaman sosial, penanganan kemiskinan, edukasi (tarbiyah) kepada masyarakat, hal mana keputusan politis merupakan salah satunya. Betapapun, keputusan politis penutupan tempat kemaksiyatan itu layak untuk diapresiasi.
Mengurangi kemungkaran
Dalam literatur Islam, apa yang dilakukan oleh wali kota Surabaya Tri Rismaharini disebut sebagai inkarul-munkar (pengingkaran dan penolakan terhadap perbuatan munkar, tindakan maksiyat dan kejahatan). Level paling tinggi dari penolakan terhadap kemungkaran adalah mencegahnya dengan tangan, level dibawahnya dengan peringatan lisan (mencelanya dengan lisan di tempat terbuka), dan yang paling rendah adalah penolakan dan pengingkaran dalam hati. Yang terakhir itu dinilai sebagai selemah-lemahnya iman.
Jika level terakhir itu sudah tidak ada, (tidak membenci kemungkaran dengan hati) maka tidak ada lagi iman,…tak ada jarak lagi antara orang tersebut dengan kemungkaran itu. Keputusan menutup dan mengawalnya dengan kekuatan pendukung, merupakan level inkarul-munkar tertinggi, selaras dengan posisi politis dia sebagai walikota.
Jika pun keputusan politis itu tidak dapat menghilangkan kemungkaran itu secara tuntas, setidaknya mengurangi dan menekannya, menempatkannya pada posisi perbuatan illegal dan menyematkan pada partisipannya sebagai musuh-musuh moral. Dan yang terpenting, tamparan bagi para pendekar sekularisme bahwa di tengah kampanye penyingkiran agama dan moral yang begitu massif, masih ada keputusan politis yang berani menjadikan agama dan moral sebagai konsideran.