Di Bawah Naungan Sedekah
Sedekah itu burhan, yakni bukti akan ketulusan iman. Di samping ia juga memiliki banyak fadhilah dan keutamaan. Cukuplah sebagai gambaram, bahwa ternyata angan-angan orang yang telah mati adalah ingin bersedekah seandainya diundurkan kematiannya, atau dikembalikan lagi ke dunia. Allah mengisahkan angan-angan orang yang telah mati,
“Rabbi, sekiranya Engkau berkenan menunda [kematian]ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah…” (QS. Al Munafiqun: 10)
Mereka tidak ingin kembali untuk bermaksiat, bersenang-senang atau berfoya-foya. Mereka ingin merevisi hari-harinya dengan amal shalih yang paling menonjol dan paling besar pengaruhnya setelah meninggal. Tidaklah si mayit menyebutkan “sedekah” kecuali karena dia melihat betapa besarnya pahala dan faidah setelah dia meninggal.
Di Bawah Naungan Sedekah
Di hari Kiamat kelak, sebelum diputuskan perkara atas manusia di Yaumul Qadha’, di bawah terik matahari yang sangat dekat dan panas, manusia akan melihat pemandangan yang membuat mereka iri. Di mana segolongan manusia akan bernaung di bawah sebuah naungan. Dan ternyata, naungan yang melindungi mereka itu adalah ‘jelmaan’ sedekah yang pernah mereka lakukan di dunia. Bagi yang cukup sedekahnya, maka akan terlindungilah dirinya dari dahsyatnya panas matahari di makhsyar.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,
كُلُّ امْرِئٍ فِى ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ ». أَوْ قَالَ « يُحْكَمَ بَيْنَ النَّاسِ ». قَالَ يَزِيدُ وَكَانَ أَبُو الْخَيْرِ لاَ يُخْطِئُهُ يَوْمٌ إِلاَّ تَصَدَّقَ فِيهِ بِشَىْءٍ وَلَوْ كَعْكَةً أَوْ بَصَلَةً أَوْ كَذَا
“Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga diputuskan hukum antara manusia.” Yazid berkata, “Abul Khair tidak pernah melewati satu haripun melainkan ia bersedekah dengan sesuatu walaupun hanya dengan sebuah kue ka’kah, bawang atau yang lainnya.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh al-AlBani)
Kita mungkin pernah mengalami, berada di bawah terik matahari, lalu tidak ada naungan. Kitapun berandai kiranya dari rumah membawa payung untuk bernaung. Sedangkan yang terjadi kelak di makhsyar jauh lebih dahsyat dan teriknya membikin sengsara. Tingkat kebutuhan pun lebih mendesak, sehingga penyesalan orang yang tidak membawa bekalpun tak terperi.
Adapun orang-orang yang rajin bersedekah, ia layaknya orang yang membawa bekal. Sedekah yang telah dia keluarkan karena Allah menjadi naungan yang melindungi dirinya. Wajar saja, jika mereka mengandaikan kembali lagi ke dunia untuk bersedekah. Setelah mengetahui betapa bergunanya sedekah di jalan Allah.
Sedekah memang baik seluruhnya, namun antara satu dengan yang lain berbeda keutamaan dan nilainya, tergantung cara, kondisi orang yang bersedekah, tinkat kepentingan dan kepada siapa sedekah ditujukan. Selagi bisa menjaga keikhlasan dan sesuai tuntutan, maka sedekah dengan terang-terangan adalah baik. Dan dalam kondisi tertentu, sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih baik.
Kemudian para ulama menjelaskan bahwa keutamaan sedekah secara sembunyi-sembunyi ini adalah berkaitan dengan sedekah tathawwu’ (sunnah). Adapun yang berupa kewajiban zakat misalnya, maka hendaknya dilakukan dengan terang-terangan.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Menampakkan zakat itu lebih utama, sedangkan menyembunyikan sedekah tathawwu’ itu lebih utama, karena hal ini menunjukkan bahwa ia hanya memaksudkan amalnya untuk Allah semata. Begitulah kaidahnya seluruh amal-amal yang fardhu dan yang sunnah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2:271)
Sedekah Sirriyah Banyak Faidah
Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Thariiqul Hijratain menjelaskan ayat tersebut, “Di antara hikmah menyembunyikan sedekah kepada fakir miskin adalah untuk menutup aib saudara yang miskin tersebut. Sehingga tidak tampak di kalangan manusia serta tidak diketahui kekurangan dirinya. Tidak diketahui bahwa tangannya berada di bawah, bahwa dia orang fakir yang tak punya apa-apa. Ini merupakan nilai tambah tersendiri dalam berbuat baik terhadap orang fakir.”
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memuji sedekah sirriyah ini, memuji pelakunya dan memberitahukan bahwa dia termasuk dalam tujuh golongan yang dinaungi Allah kelak pada hari Kiamat.”
Nabi menyifati golongan tersebut dengan kalimat,
« وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ »
“Dan seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan tangan kanannya.” (HR Muslim)
Ini sebagai perumpamaan betapa ia bersedekah secara senyap dan rahasia. Jika sebelah tangannya yang masih terhubung dengan fisiknya saja tidak tahu, lantas bagaimana dengan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Ibnu Hajar al-Asqalani alam Fathul Baari menjelaskan makna hadits tersebut dan memberi judul “Bab sedekah dengan tangan kanan, tentang ungkapan penyangatan dalam hal sedekah yang tersembunyi.” Beliau mengatakan , “Hingga tangan kanannya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya padahal posisi kedua tangan itu dekat dan seringkali berinteraksi hingga umumnya diumpamakan tangan kiri mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan. Akan tetapi saking tersembunyinya sedekah itu, sampai tangan kiri tidak tahu. Ini adalah bentuk kiasan perumpamaan (yang menyangatkan).”
Nabi shallallahu alaihi wasallam berikut ini menjelaskan kapan sedekah sembunyi-sembunyi itu lebih utama dari sedekah terang-terangan.
« الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
(HR Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan gharib).
Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Tirmidzi menjelaskan, “Orang yang melirihkan suaranya tatkala membaca al-Qur’an lebih utama dari orang yang mengeraskan bacaan al-Qur’annya sebagaimana sedekah dengan sembunyi-sembunyi lebih utama menurut para ulama dibandingkan sedekah dengan terang-terangan. Menurut mereka, hal ini dikarenakan ia lebih aman dari sifat ujub dan amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu lebih aman daripada yang dilakukan terang-terangan.”
Ini adalah kaidah umum, adapaun detilnya mengikuti kondisinya. Intinya bahwa, keutamaan sedekah sunnah dengan sembunyi-sembunyi disebabkan karena lebih terjaga keikhlasan dan lebih jauh dari sifat ujub dan riya’. Adapun tentang cara, barangkali, apa yang dilakukan oleh senior tabi’in sekaligus keturunan Rasulullah shallallahu alihi wasallam, yakni Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib rahimahullah. Menjadi kebiasan ketika malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di punggungnya, keluar menembus kegelapan malam saat orang-orang tidur nyenyak. Beliau berkeliling ke rumah para fakir miskin yang tak suka menadahkan tangannya.
Tidak heran jika banyak orang miskin Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana jatuhnya rizki untuk mereka itu. Setelah Ali bin Husain wafat dan mereka tak lagi menerima rizki-rizki itu, barulah mereka menyadari siapakah gerangan manusia dermawan itu.
Sewaktu jenazah Zainul Abidin dimandikan, terlihat ada bekas hitam di punggungnya, sehingga bertanyalah mereka yang memandikannya, “bekas apa ini?” Di antara yang hadir menjawab, “Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini.” Setelah wafatnya Zainul Abidin, terputus sudah bantuan bagi fakir miskin itu. (Shuwaru min Hayaatit Taabi’in)
Kesaksian lain tentang beliau disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi dalam Shifatush Shofwah dari Abu Hamzah ats-Tsamali bercerita, “Suatu malam Ali bin Husain memikul sekarung roti di punggungnya untuk disedekahkan, seraya bergumam dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihiwasallam,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ
“Sesungguhnya sedekah sembunyi-sembunyi bisa memadamkan kemurkaan Rabb Azza wa Jalla.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan gharib. Syeikh al-Albani menyatakan dalam Shilsilah shahihahnya, bahwa hadits tersebut shahih dengan berbagai jalan dan syawahidnya).
Jika hilang kemurkaan Allah hilang, maka siksapun ditiadakan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Bathal, ”Tidakkah Anda tahu, bahwa siapa yang dimurkai oleh Allah maka dai terancam dengan siksa dari-Nya? Maka tatkala kemurkaan hilang, siksapun ditiadakan.”
Alur yang memperjelas keterangan ini adalah, bahwa ketika seseorang melakukan dosa dan maksiat, maka dia telah mengundang murka Allah. Kemurkaan Allah akan berdampak turunnya siksa. Tapi ketika pelaku dosa itu bersedekah di jalan Allah, maka Allahpun mencabut murka dan siksa-Nya. Seperti itulah yang dijelaskan oleh Ibnu Qutaibah dalam Ta’wil Mukhtalafil Hadits jilid pertama.
Wallahu a’lam bishawab.