Islam Nusantara dan Islam Arab
Shalat bilingual (dwibahasa), Jilbab versi pakaian adat, shalawat koplo dan musik disko, dan kini tilawah al Quran dengan langgam jawa. Dan katanya, tak salah pula jika tilawah dengan nada lagu daerah bahkan hip hop. Setelah ini akan ada apa lagi? Kain kafan batik?
Islam tak melarang seorang muslim mengekspresikan budaya lokalnya. Memakai batik misalnya, atau belajar seni sastra, tulis dan ornamen etnisnya, bahkan melestarikan tradisi masyarakatnya. Syaratnya hanya satu, tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Jadi, acuan baku seorang muslim adalah Islam. Tentu saja karena Islam adalah manhaj, jalan hidup seorang muslim. Ia boleh memamaki aksesoris apapun; nusantara, melayu atau Arab sekalipun. Tapi semuanya harus dipasang di rel syariat. Jika pas dan sesuai berarti layak jalan, jika tidak harus dibuang dan ditinggalkan.
Islam bukan produk budaya Arab atau adopsi dari sebagian atau seluruh budaya arab. Hanya saja, Islam memang turun di Arab. Bahasa wahyu menggunakan bahasa Arab, tapi isinya murni berasal dari Dzat yang menciptakan Arab, bumi dan dunia seisinya. Demikian pula as sunnah adalah murni ajaran dari Alalh meskipun disampaikan melalui lisan orang Arab. Wahyu berbahasa Arab itu diperuntukkan bagi manusia di seluruh dunia.
Pakaian yang menutupi aurat itu bukan budaya Arab, tapi syariat. Hukum-hukum had juga bukan produk Arab, tapi syariat. Menghindari berbagai hal berbau syirik seperti sesajen, menyembah kuburan, dan percaya pada makhluk-makhluk penunggu itu bukan budaya Arab, tapi murni inti ajaran tauhid.
Budaya Arab sendiri tidak mengenal jilbab penutup aurat. Saat ayat jilbab turun, para shahabiyah segera bergegas mencari kain guna menutupi auratnya yang terbuka. Budaya Arab juga tidak mengenal hukum had, mereka hanya kenal balas dendam antar suku. Menghindari berbagai hal syirik justru sangat bertengangan dengan budaya Arab saat itu yang kental dengan sajen dan persembahan kepada selain Allah.
Jadi aneh rasanya ketika seorang muslim berpikir, Islam selama ini terlalu didonminasi budaya Arab dan harus diakulturasi dengan budaya lokal. Lalu muncullah fenomena aneh seperti di atas; shalat dua bahasa, tilawah langgam jawa dan shalawat koplo.
Islam Nusantara lebih ramah?
Ada asumsi bahwa Islam yang kearab-araban cenderung keras, ekstrim dan tidak lemah lembut. Islam memang bukan agama yang hanya mengajarkan perdamaian mutlak. Dipukul pipi kiri, berikan pipi kanan. Hanya menggunakan nasihat lembut dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Islam mengajarkan agar kita mengedepankan kelemahlembutan tapi juga siap menggunakan ketegasan dan kekerasan, saat diperlukan dan adanya tuntutan.
Perang adalah puncak kekerasan; pembunuhan masal, pengusiran, penguasaan dan pencabutan paksa kekuasaan milik orang lain. Tapi perang merupakan bagian dari Islam. Islam mengajarkan umatnya agar tak segan berperang, yang itu berarti tak segan membunuh dan mengusir musuh. Sirah nabi Muhammad, selama 11 tahun di Madinah penuh dengan catatan asiyar wal magahzi, ekspedisi militr dan perang. Islam juga mengajarkan etika berperang dan tehnik perang dalam ajaran jihadnya. Bahkan Islam mengecam seorang muslim yang ketika kewajiban berperang tiba, ia malah duduk dirumahnya padahal mampu berperang.
Apakah semua ini akan dibuang dan diganti dengan Islam nusantara yang diklaim lebih lembut. Apakah semua ini akan dibuang karena semua ini bukan dari Islam tapi hanya produk budaya dan politik Arab pada saat itu saja? Apakah ayat-ayat jihad, seluruhnya akan diberhentikan maknanya pada jihad melawan nafsu?
Segala bentuk kebijaksanaan dan kelembutan ada dalam Islam dan ajaran Rasulullah. Apa yang masih kurang?
Mana yang budaya Arab mana yang original dari wahyu?
Apa parameter yang membedakan ajaran islam yang ini berasal dari Arab dan yang itu original dari Allah? Ini bisa menjadi pertanyaan sulit, atau sangat mudah. Sulit jika dijawab dengan jujur, mudah jika dijawab menurut parameter orang-orang liberal. Mudah, karena acuannya adalah hawa nafsu. Shalat dengan bahasa Arab itu produk budaya, lokalnya shalat dengan bahasa Jawa. Cara baca Quran itu budaya Arab, langgam Jawa gaya lokalnya. Shalawat dengan nada Arab itu budaya, dangdut koplo itulah rasa lokalnya.
Tak pernah puas dan selalu berusaha mengusik ketenangan hati umat Islam. Mirip para artis yang selalu saja bikin sensasi. Tapi konon, memang itulah tugas yang harus diemban orang-orang liberal sebagai konsekuensi dari dana Amerika yang mereka terima. Mereka tidak akan berhenti sampai umat islam kehilangan Islamnya.
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya.” (At-Taubah: 32)
Kreatif?
Islam tidak melarang kreatifitas, bahkan menganjurkan. Rasulullah mengapresiasi tehnik perang kreasi Salman al Farisi yang terinspirasi dari gaya perang Persia berupa benteng bumi yang disebut Khandaq (parit). Benteng parit itu murah, mudah, efisien dan bisa ‘didaur ulang’ lagi setelah tidak terpakai. Tidak seperti benteng tembok. Beliau SAW juga merestui kreatifitas penduduk Madinah dalam tehnik pengawinan bunga kurma untuk meningkatkan kuantitas panen.
Namun, jika yang dimaksud kreatif adalah berbuat sesukanya dan melanggar semua batasan; agama dan etika, itu bukan kreatifitas tapi kegilaan. Dan tak hanya agama, manusia pun mengharamkan kegilaan, kecuali manusia gila. (abrazen)
Saya sangat suka sekali tulisan2 ustad Abu Umar Abdillah..semoga tulisan2 nya mengubah pemikiran seseorang yang salah menjadi benar..tentunya dg hidayah Allohu Ta Ala…aamiinnnn
setujuu dengan aziz…..
Pingback: "Urus Saja Dirimu Sendiri!", Kalimat Penghambat Nahi Mungkar
Pingback: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku, Sejarah Islam di Indonesia