Dakwaan Palsu
Anak shalih! Ya, anak shalih! Sebuah kata yang menjadi pengharapan besar atas nama regenerasi orangtua yang beriman. Sebuah kata yang memberi energi luar biasa bagi orangtua untuk berjuang, berkorban, mengalah dan bersabar demi hasil fantastis tersebut. Ya, fantastis sebab ia bukan hanya menjadi standar keberhasilan sebuah kebaikan kemanusiaan, namun juga kenyamanan rasa atas pertunjukkan kebaikan yang menentramkan jiwa, serta bekal menuju akhirat yang luar biasa. Bukankah doa anak shalih akan menjadi amal ‘abadi’ yang terus menerus memberi manfaat bagi orangtua, pasca kematian mereka?
Tapi, seringkali harapan tinggallah harapan jika upaya untuk mewujudkannya tidak sesuai dengan prosedur yang benar, kesungguhan yang meragukan, hingga kerja yang kontra produktif. Jauh asap dari api jika harapan hanyalah angan-angan semu diiringi kebodohan, sikap tak peduli, juga usaha setengah hati. Ia akan tetap tertinggal di benak dan tidak akan mewujud dalam kenyataan, hingga hanya akan menorehkan kecewa dan sesal yang tak berguna.
Berapa banyak anak- anak yang menyandang nama mengandung keshalihan namun gagal menjadi anak-anak shalih dalam arti yang sebenarnya, meski mereka juga berasal dari pengakuan akan kerja dan usaha maksimal dari para orangtua? Tentu akan lebih menyakitkan jika panggilan keshalihan seumur hidup itu tidak menemukan kenyataannya. Lalu, apa atau siapa yang salah dalam hal ini?
Ada pernyataan menarik dari Imam Ibnul Qayyim dalam hal ini. Di dalam kitab Tuhfatul Maudud beliau mengatakan, “Betapa banyak orangtua yang menyengsarakan anak dan buah hatinya di dunia dan akhirat dengan mengabaikannya, meninggalkan pendidikannya, dan memfasilitasi syahwatnya. Dia mengaku telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengaku telah menyayanginya padahal dia telah menzhaliminya. Maka hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat.”
Pakar pendidikan kita ini menjelaskan kesalahan orangtua yang terjadi bersamaan dengan pengakuan atau dakwaan kebaikan mereka. Mendakwakan diri telah memuliakan padahal malah menghinakan, mengaku telah menyayangi padahal justru menzhalimi. Orang Jawa menyebutnya dengan kalimat ‘welas tanpa alis’ atau mengasihi namun menjerumuskan. Hal ini terjadi, tentu saja bukan karena salah niat. Tapi lebih karena kebodohan dan kerja yang tidak maksimal. Niat saja tidak cukup! Itu intinya.
Beliau rahimahullah menyebutkan tiga kesalahan utama orangtua, yaitu mengabaikan, tidak mendidik, serta memfasilitasi syahwat anak-anak mereka. Kesalahan yang tidak difahami kecuali oleh mereka yang mengerti. Bahkan bagi kebanyakan orangtua, melakukan hal- hal tersebut dianggap benar dan lazim, hingga mereka mendakwakan diri telah memuliakan dan menyayangi anak-anak dengan cara tersebut. Padahal menurut Ibnul Qayyim, tindakan para orangtua itu berkebalikan adanya; yaitu justru menghinakan dan menzhalimi.
Lalu, adakah yang lebih menakutkan dari fakta tentang ketidaktahuan akan sesuatu namun sangat percaya diri telah mengetahuinya? Tidak faham tentang konsep keshalihan, aplikasi teknisnya, hingga berbagai variabel pendukungnya, hingga berjalan di jalan yang salah, namun sangat yakin telah melakukan kebenaran dan kebaikan demi anak-anak tercinta. Bukankah padi akan berbuah padi juga?
Sebagai kesalahan pertama, mengabaikan anak adalah indikasi ketidakpedulian dan lemahnya tanggung jawab. Sedang tidak mendidik anak dengan baik mengisyaratkan ketidaktahuan peran dan kebodohan tentang prioritas hidup. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tidak ada pemberian bapak kepada anaknya yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” HR. At Tirmidzi.
Adapun memberi fasilitas kesenangan kepada anak-anak tanpa pengetahuan tentang kebutuhan asasi mereka sesuai usia, tanpa pembatasan berdasarkan kebutuhan akan hiburan, juga tanpa kontrol yang baik, alih-alih mendidik anak-anak menuju kebaikan, hal itu malah akan menjerumuskan mereka menjadi penghamba syahwat, pemalas, juga pemuja dunia. Meski kadang ada motif tersembunyi yang menemukan kendaraannya; kebanggaan orangtua akan prestasi duniawi mereka yang mereka perlihatkan melalui kemanjaan berlimpah kepada anak-anak.
Padahal, berbagai fasilitas syahwat hari ini rentan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mulai dari ajaran kekerasan yang masif, jiwa individual yang menonjol, nihilnya nilai-nilai utama dan luhur, hingga sikap hedonis yang akut. Sebagian besar dari sarana kesenangan itu malah memudahkan anak-anak mengakses berbagai kekejian dan kekotoran yang terlalu dini untuk usia mereka. Sehingga akibat paling logis dari tindakan orangtua seperti ini adalah kehilangan bagian kebaikan dari anak-anak mereka di dunia dan akhirat.
Maka bagi para orangtua, pengambilan amanah sebagai pendidik anak-anak yang utama dan pertama harus dilakukan dengan sepenuh jiwa. Diiringi dengan ilmu yang mencukupi dan ketrampilan teknis yang memadai. Juga keikhlasan hati agar Allah memberikan kemudahan dan menutupi kekurangan.
Sehingga sebelum menyalahkan anak-anak yang gagal menjadi shalih, alangkah lebih baik jika para orangtua melakukan instropeksi diri tentang apa yang telah mereka lakukan. Sebab Ibnul Qayyim pernah berkata, “Perintah Allah kepada para bapak untuk mendidik anak-anak mereka datang lebih dulu daripada perintah Allah kepada para anak untuk berbakti kepada bapak-bapak mereka.”
Agar kewajiban kita sebagai orangtua adalah kerja nyata, dan bukan sekadar dakwaan dusta bahwa kita telah pantas menjadi teladan bagi anak-anak kita.