Hidayah, Takwa dan Iffah
Pada zaman dahulu, ada dua orang bersaudara menempuh jalan hidup yang berbeda. Sebut saja yang pertama sebagai ahlu ibadah, sedangkan yang lainnya ahlu maksiat. Keduanya tinggal di satu rumah tapi beda lantai. Ahlu ibadah tinggal di lantai atas. Ahlu maksiat di bawahnya. Suatu hari, setan datang membisikkan rayuannya kepada ahlu ibadah. “Sesekali tengoklah saudaramu, cobalah ikut bermaksiat sekali saja. Toh, kamu sudah beribadah puluhan tahun dan besok kamu masih sempat bertobat.” Siapa sangka pada waktu yang sama hidayah datang kepada si ahli maksiat. Ia merasa bosan hidup bergelimang dosa. Ia ingin bertobat dan belajar agama agar menjadi seperti saudaranya yang shalih. Keduanya berniat menemui saudaranya, tapi niat keduanya berbeda. Saat menuruni tangga Kaki ahli ibadah terpeleset dan menimpa saudaranya yang sedang naik tangga. Keduanya terjatuh sempoyongan dan membentur lantai. Akhirnya keduanya meninggal.
Kisah di atas menggambarkan upaya setan menggoda orang shalih. Ia menjebaknya dengan senjata coba-coba dan taswif (menunda). Langkah-langkahnya sebenarnya mudah ditebak, membuat dosa terlihat indah dan nikmat. Si korban tidak harus melanggar dosa terbesar. Tapi, diawali dengan syubhat atau pelanggaran dosa-dosa kecil. Akhirnya korban jadi ketagihan dan tak ragu melanggar dosa besar. Jika muncul keinginan untuk bertobat, setan akan mengatakan bahwa umurnya masih panjang dan masih ada hari esok untuk bertobat. Si korban pun semakin tenggelam dalam lumpur dosa. Tidak ada orang yang selamat dari gangguan setan. Setiap manusia rawan terjatuh dalam jebakannya jika tidak memiliki perlindungan. Terutama saat iman sedang rapuh. Naudzu billah min dzalik.
Sekali jatuh kedalam maksiat, harus segera berhenti. Jika tidak dampak yang lain akan menyusul silih berganti. Dampak pertama yang sering tak disadari ialah hilangnya kenikmatan beribadah. Misalnya, penikmat musik tidak akan bisa menikmati lezatnya membaca al-quran atau sulit berkonsentrasi untuk makna ayat-ayat Allah. Membaya Al-Quran rasanya berat berat dan lama. Oleh karenanya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Mencintai Al-Quran dan menggandrungi lagu tidak akan pernah bisa bersatu di hati hamba.”
Rasulullah SAW mengajarkan kita berdoa untuk melindungi diri dari hal-hal tersebut di atas:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, terhindar dari perbuatan yang tidak baik, dan kecukupan.” (HR. Muslim)
Tameng pertama yang kita minta kepada Allah berupa hidayah. Hidayah adalah petunjuk berupa ilmu atau pengetahuan yang membuat manusia sadar akibat berdosa dan melanggar ketentuan-Nya. Sebenarnya, akal manusia sudah mampu mengenali akibat buruk maksiat. Allah sering menghukum para pendosa saat masih hidup di dunia. Semuanya bisa disaksikan oleh panca indera. Sayangnya, pesan untuk segera berhenti dari maksiat belum tentu tertangkap oleh manusia dengan baik.
Ibnul Jauzi mengatakan, saudara tiri nabi Yusuf AS menjadi terhina saat mereka memohon kepada Yusuf. “Mohon bersedekahlah kepada kami!”. Tentu saja itu adalah akibat ulah mereka meskipun diikuti dengan tobat. Sebab, seseorang yang memiliki baju robek kemudian menjahitnya tidak sama dengan orang yang memiliki baju baru.
Pada doa di atas, hidayah didahulukan dari pada takwa. Karena takwa tak dapat diraih tanpa adanya kesadaran dan bimbingan dari Allah. Selain itu, amal shalih dikerjakan berdasarkan ilmu dan bukan persepsi. Tidak berlebihan jika hidayah disebut sebagai pintu beramal shalih. Allah berfirman yang artinya:
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (Qs. Muhammad: 17)
Proteksi berikutnya adalah takwa. Takwa ialah upaya melakukan amal shalih dan menghindari/meninggalkan larangan-Nya. Dengan takwa, manusia akan lebih berhati-hati. Sebelum berbicara atau melakukan sesuatu, ia mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya. Takwa terkait erat dengan hidayah. Karena untuk bertakwa manusia membutuhkan hidayah dari Allah. Manusia sangat membutuhkan hidayah lebih banyak dari upaya setan membisikkan rayuannya.
Takwa menjadi bukti ketulusan tobat. Menurut ibnu Qayyim Al Jauziyah tobat belum sempurna hanya dengan menyesal lalu meninggalkan dosa tersebut. Pelaku dosa harus dapat membuat perubahan pada dirinya. Ia harus membebani dirinya dan merasakan penatnya beribadah sebagaimana dulu ia menghabiskan waktu menikmati maksiat. Selain itu ia harus memperbanyak ibadah nafilah. Kecintaan Allah kepadanya akan ia raih seiring dengan peningkatan ibadah nafilah. Setelah karakternya berubah menjadi muttaqi, orang yang bertakwa, seluruh anggota tubuhnya mendapat bimbingan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi.” (HR. Bukhari)
Perlindungan ketiga adalah iffah atau kemampuan meredam dan mengendalikan hawa nafsu. Semua manusia memiliki bibit sifat tamak. Bila dibiarkan dapat membuat manusia haus terhadap dunia, selalu ingin memperbanyak harta terbiasa mengeluh, dan selalu meminta. Obat untuk meredam nafsu adalah iffah dan qonaah.
…مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
“Barangsiapa berusaha ‘iffah (menghindar dari yang tidak terpuji) niscaya Allah I menjadikannya ‘iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup niscaya Allah I memberikan kecukupan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Wallau a’lam.