Islam Itu Moderat bukan Islam Moderat
Islam itu antara ghuluw dan taqshir, antara tasybih dan ta’thil, antara jabr dan qadr, dan antara amn dan iyas.
Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw dan kemudian dipahami serta diamalkan oleh para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tab’in (para salaf ahlussunnah wal jamaah) adalah Islam yang moderat. Islam dengan takaran yang tepat; tidak berlebih-lebihan tetapi juga tidak asal-asalan. Islam yang berada di antara dua ekstremitas.
Tolok ukur wasathiyah (kemoderatan) Islam adalah sesuatu yang baku, tidak relatif. Tolok ukurnya bukan kebiasan, kemauan, atau pikiran suatu kaum, kelompok atau orang tertetu. Tolok ukurnya adalah Sunnah Nabi Muhammad saw. Ia harus seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Ini meliputi semua perkara, baik berkenaan dengan perkara akidah, hukum, kenegaraan, kekeluargaan, hubungan dengan orang kafir, dan lain sebagainya.
Penilaian berdasarkan kebiasaan, kemauan, atau pikiran suatu kaum, kelompok, atau orang tertentu tidak masuk hitungan. Bisa saja satu bagian dari Islam dipandang sebagai satu bentuk ektremitas oleh mereka. Padahal Islam yang dibawa oleh Nabi, itulah Islam yang moderat; bukan Islam seperti yang mereka pahami semau sendiri tanpa mengindahkan rambu-rambu warisan Nabi.
Islam itu moderat dari sono-nya; jika dimoderatkan lagi, jadinya Islam ekstrem. Maknanya, Islam moderat yang dipropagandakan oleh orang-orang yang benci dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah as-Salafush Shalih adalah sebuah ekstremitas.
Pada matan ini, Abu Ja’far ath-Thahawiy menerangkan kemoderatan Islam sebagaimana yang diwariskan oleh as-Salafush Shalih. Ada empat kemoderatan yang beliau jelaskan.
BACA JUGA: Islam Harga Mati Yang Lain Bisa Terganti
Antara Ghuluw dan Taqshir
Ghuluw artinya berlebih-lebihan, sedangkan taqshir artinya tidak sungguh-sungguh dan asal-asalan. Keduanya adalah dua bentuk ekstremitas dalam berislam. Baik dalam perkara lahir (amal) maupun dalam perkara batin (aqidah, keyakinan), keduanya sama-sama dilarang. Allah pernah mengingatkan Ahlikitab untuk tidak beragama secara berlebih-lebihan.
“Wahai Ahlikitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian!” (Al-Maidah: 77)
Di antara bentuk ghuluw Ahlikitab adalah Yahudi meyakini ‘Uzair sebagai anak Allah dan Nasrani meyakini Nabi Isa juga sebagai anak Allah.
Larangan berlebih-lebihan dalam beragama ini tidak hanya berlaku untuk Ahlikitab. Larangan ini pun berlaku untuk kita, umat Nabi Muhammad. Dan nyatanya, hari ini banyak orang yang beragama secara berlebih-lebihan. Ada yang memosisikan orang-orang shalih di posisi yang melebihi posisi para Nabi dan Rasul, ada yang mencintai dan memuja Nabi secara berlebihan sampai menetapkan sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan) pada diri beliau, ada yang mengerjakan banyak shalat malam sampai tidak tidur sama sekali, ada yang berpuasa berhari-hari dan tidak berbuka, dan lain sebagainya.
Padahal Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan tawa kepada Allah di antara kalian. Namun, aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku pun menikahi beberapa wanita. Maka, barangsiapa yang membenci sunnahku, ia bukan bagian dariku.”
Adapun bentuk keislaman yang asal-asalan mudah sekali kita jumpai. Malas mengerjakan shalat, enggan membayar zakat, tak mau berpuasa Ramadhan, dan berbagai bentuk kemalasan dalam menjalankan banyak terjadi di sekitar kita.
Ibnul Qayyim menyatakan, “Dalam setiap perkara yang diperintahkan oleh Allah, setan memasang jerat; apakah kepada taqshir dan kemalasan ataukah kepada ghuluw dan berlebih-lebihan. Setan akan mendekati hati seorang hamba lalu mengendusnya. Jika setan mendapati di hati itu ada benih futur, malas, dan sikap meremehkan, ia akan mendorong si hamba kepada taqshir. Ia akan mengupayakan agar si hamba malas dan berpaling dari perintah Allah.
Ia akan membuka pintu takwil dan harapan sehingga bisa-bisa si hamba pun meninggalkan perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah secara keseluruhan. Sedangkan bila didapatinya hati si hamba adalah hati yang selalu waspada dan semangat dalam beramal, ia akan mendorongnya untuk bersungguh-sungguh secara berlebihan. Setan menghembuskan padanya bahwa kesungguhan yang tidak berlebihan tidak cukup baginya.”
Antara Tasybih dan Ta’thil
Tasybih adalah meyakini sifat-sifat Allah serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sedangkan ta’thil adalah meniadakan sifat-sifat Allah.
Kedua sikap sehubungan dengan tauhid asma wa shifat ini adalah sama-sama ekstrem. Yang satu menetapkan sifat-sifat Allah sampai-sampai meyakini sifat-sifat itu sama dengan sifat-sifat makhluk—khususnya manusia. Sedangkan yang satunya meniadakan sifat-sifat dari Allah sampai-sampai meniadakan sifat sama sekali.
Jika ditelusuri sejak kemunculannya, sebenarnya baik yang melakukan tasybih maupun ta’thil, mereka sama-sama ingin mentauhidkan Allah. Sama-sama ingin menetapkan kesempurnaan untuk Allah. Namun, karena mereka tidak mengindahkan petunjuk Salaf dan lebih mengedepankan pendapat mereka sendiri, akhirnya mereka tersesat.
Ahlussunnah wal Jamaah berada di antara mereka. Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat Allah, yakni semua sifat yang ditetapkan oleh Allah, apa adanya, tidak meyakininya serupa dengan sifat-sifat makhluk—apa dan siapa pun itu. Di samping itu Ahlussunnah juga meniadakan sifat-sifat dari Allah, yakni sifat-sifat yang ditiadakan sendiri oleh Allah (dan Rasulullah saw). Ahlussunnah tetap berpegang teguh dengan firman Allah,
“Dia (Allah) tidak semisal dengan sesuatu pun, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Antara Jabr dan Qadr
Jabr adalah keyakinan bahwa manusia melakukan perbuatannya di luar kehendaknya. Semua yang dilakukannya adalah kehendak dan takdir Allah dalam pengertian ia tidak punya iradah sama sekali.
Perbuatannya ibarat gerakan tetumbuhan yang dihembus angin. Adapun qadar adalah keyakinan bahwa manusia bebas melakukan perbuatannya. Bebas sebebas-bebasnya dan terlepas dari kehendak Allah. Bahkan Allah tidak mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.
Sama seperti tasybih dan ta’thil, keyakinan jabr dan qadr ini bermula juga karena para pencetusnya ingin menjauhkan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas untuk-Nya. Yang satu meyakini tak pantas ada sesuatu yang terjadi di alam raya milik Allah ini sesuatu yang tidak diketahui dan ditakdirkan oleh Allah.
Akhirnya mereka meniadakan iradah dan kemampuan manusia sama sekali. Padahal, Allah membebani manusia dengan perintah dan larangan justeru karena mereka memiliki iradah dan kemampuan. Adapun yang satunya, meyakini bahwa tak pantas bagi Allah mengadzab manusia yang melakukan kesalahan sementara Allah sendiri menghendaki kesalahan itu terjadi.
Adapun Ahlussunnah wal Jamaah yang berada di tengah-tengah mereka meyakini bahwa manusia melakukan perbuatannya dengan iradah dan kemampuannya. Itu semua hanya terjadi dengan kehendak Allah dan telah diketahui oleh Allah, jauh sebelum manusia diciptakan. Allah memang telah mengetahui segalanya, namun Allah tidak memaksa mereka melakukan kabaikan atau kemaksiatan.
Allah telah memberitahukan konsekuensi dan risiko pilihan amal mereka. Bisa saja manusia menginginkan kebaikan atau keburukan, tetapi jika Allah tidak menghendaki, apa yang diinginkannya tidak akan terjadi. Dalam hukum Allah, jika manusia menginginkan kebaikan namun ia tidak berhasil melakukannya, ia tetap dicatat telah beramal shalih. Begitu pun dengan sebagian kasus menginginkan keburukan. Ia tetap dicatat telah melakukan keburukan. Hanya, dalam beberapa kasus—dengan kemurahan Allah—keburukan yang baru diniatkan tidak dicatat sebagai keburukan.
Antara Amn dan Iyas
Amn adalah amal hati yang berupa roja` (harapan terhadap rahmat Allah) yang berlebihan. Sedangkan iyas atau ya`s adalah amal hati yang berupa khauf (takut terhadap adzab Allah) yang juga berlebihan. Amn membuat seseorang jadi malas beramal shalih, sedangkan iyas membuat seseorang berputus asa dari rahmat Allah sehingga—setelah mengakibatkan berlebih-lebihan dalam beramal—dapat pula mengakibatkan nihil amal. Setelah dikuasi iyas, seseorang akan mengambil sikap berbuat dosa sebanyak-banyaknya. Prinsipnya, nikmati dunia sebisa-bisanya, daripada sengsara di dunia dan sengsara di akhirat.
Semoga Allah menyelamatkan kita dari berbagai bentuk ekstremitas yang semua itu tidak diajarkan oleh Rasulullah saw.