Hukum Menyusui Orang yang Sudah Dewasa
Beberapa saat yang lalu, DR. Izzat Athiyah yang menjabat sebagai Ketua Jurusan Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir berfatwa membolehkan seorang pegawai perempuan yang berkerja berduaan dengan seorang laki-laki dalam satu ruangan yang tertutup dan pintunya tidak bisa dibuka kecuali melalui salah satu dari keduanya, untuk menyusui teman laki-laki tersebut, dengan tujuan agar nantinya dibolehkan khalwat berduaan, dan perempuan tersebut boleh membuka jilbab dan menampakkan rambutnya di depan laki-laki yang disusuinya tersebut. Dan ketika sudah menyusui temannya tersebut, diharapkan mereka berdua segera meminta surat resmi dari pihak yang berwenang agar tidak menimbulkan fitnah dikemudian hari. Fatwa tersebut mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat Islam Mesir, maka pihak Universitas memecat yang bersangkutan dari jabatannya.
Bagaimana sebenarnya konsep menyusui (ar Radha’ah) dalam Islam, dan apa hukum seorang perempuan menyusui laki-laki dewasa yang bukan muhrimnya, dan konsekwensi apa yang diakibatkan dari susuan tersebut. Insya Allah dibahas dalam makalah di bawah ini.
Para ulama sepakat bahwa anak kecil yang berumur dua tahun ke bawah, jika menyusu kepada seorang perempuan, maka susuan tersebut menjadikannya sebagai anak susuan dari perempuan tersebut. Adapun perempuan yang menyusui laki-laki dewasa yang bukan muhrimnya apakah keduanya akan menjadi mahram dengan susuan tersebut ? para ulama dalam masalah ini berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Menyusui saat sudah dewasa tidak menjadikan mahram. Ini adalah pendapat istri-istri Rasullah SAW, dan mayoritas ulama dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan pendapat dari madzhab Malikiyah, Syafi’yah serta Hanabilah. ( Az Zaila’i, Tabyinu Al Haqaiq : 2/182 , Al Kasynawi, Ashalu al Madarik : 2/ 213, As Syafi’I, Al Umm : 5/ 48 , Al Bahuti, Ar Raudh Al Murabbi, hlm : 515 )
Mereka berdalil dengan firman Allah swt :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” ( Qs al Baqarah : 223 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa batasan maksimal menyusui adalah dua tahun, sehingga susuan yang terjadi setelah dua tahun tidak bisa menyebabkan terjadinya mahram.
Begitu hadits Aisyah ra, bahwasanya ia berkata :
“Nabi SAW menemuiku dan saat itu disampingku ada seorang pemuda. Beliau bertanya: “Wahai Aisyah, siapakah orang ini?” Aku menjawab: “Ia saudara sesusuanku”. Beliau bersabda: “Wahai Aisyah teliti lagi, siapa sebenarnya yang menjadi saudara-saudara kalian yang sebenarnya, karena sesusuan itu terjadi karena kelaparan.” (HR Bukhari no : 2453 )
Hadist di atas menunjukkan bahwa susuan yang menyebabkan seseorang menjadi mahram adalah susuan dikarenakan lapar (maja’ah) yaitu pada waktu kecil. (Ibnu al Atsir ( 544 H- 606 H ), an Nihayah fi Gharib al Hadist wa al Atsar, Mekkah, Dar Al Baaz, : 1/316 ) . Oleh karenanya Rasulullah SAW tidak senang melihat Aisyah bersama laki-laki yang barangkali bukan satu susuan waktu kecil. ( Ibnu Qayyim, Zaad al Ma’ad : 5/516 )
Dikuatkan juga dengan hadist Ummu Salamah RDH, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
لاَ يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang mengenyangkan dan terjadi sebelum disapih.” ( HR Tirmidzi, dan beliau berkata ; Ini merupakan hadits hasan sahih dan diamalkan para ulama dari kalangan sahabat Nabi saw dan yang lainnya; bahwa persusuan tidak menjadikan mahram kecuali pada bayi di bawah dua tahun )
Hadist di atas menunjukkan bahwa susuan tidaklah menjadikan seseorang menjadi muhrim bagi yang menyusuinya kecuali jika susu tersebut bisa membuka usus anak yang masih kecil, sehingga bisa menumbuhkan daging dan membesarkan tulang. Dan ini terjadi ketika anak masih kecil, yaitu ketika belum disapih.
Lafadh “ats Tsadyi” (puting payu dara) tidak dimaksudkan bahwa menyusui tersebut harus dengan cara manual sebagaimana lazimnya seorang bayi menyusu dengan menghisap puting payudara ibunya, tetapi maksudnya adalah umur ketika anak sedang menyusui. Sebagaimana orang Arab sering mengatakan: fulan meninggal di puting payudara, artinya meninggal waktu kecil, pada umur menyusu. Dari situ, bisa dikatakan bahwa jika seorang bayi minum susu seorang perempuan dari botol, maka bayi tersebut telah menjadi anak susuannya secara sah. ( Ibnu al- Arabi, Aridhatu al Ahwadzi : 5/ 97, Al Mubarkufuri, Tuhfatu al Ahwadzi, Beirut, Daar al Kutub al Ilmiyah, 1990, cet ke – 1, Juz : 4/ 263 )
Pendapat Kedua : bahwa menyusui waktu besar menyebabkan terjadinya mahram. Ini adalah madzhab Ad Zhahiriyah ( Ibnu Hazm, al Muhalla : 10/ 17-20 )
Mereka berdalil dengan hadist Aisyah ra bahwasanya ia berkata :
“Sahlah binti Suhail datang menemui Nabi saw, dia berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya melihat di wajah Abu Hudzaifah (ada sesuatu) karena keluar masuknya Salim ke rumah, padahal dia adalah pelayannya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Susuilah dia.” Dia (Sahlah) berkata; “Bagaimana mungkin saya menyusuinya, padahal dia telah dewasa?” Maka Rasulullah SAW tersenyum sambil bersabda: “Sungguh saya telah mengetahuinya kalau dia telah dewasa” ( HR Muslim, no : 2636 )
Di dalam riwayat lain disebutkan :
“Susuilah dia, maka dia akan menjadi mahrammu.” ( HR Muslim, no : 2638 )
Hadist di atas menunjukkan secara jelas bahwa susuan walaupun waktu dewasa bisa menjadikan seseorang mahram dengan yang menyusuinya.
Pendapat Ketiga : menyatakan bahwa yang menyebabkan mahram adalah menyusui di waktu kecil, adapun menyusui di waktu besar hanya menyebabkan dibolehkannya berkhalwat. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim, Shon’ani, dan Syaukani. ( Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa :34/ 60, As Syaukani, Nail al Authar, Riyadh, Dar al Nafais, Juz : 6/ 353, As Shon’ani, Subulu as Salam,Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1988, Cet ke -1, Juz 3/ 407. )
Mereka berdalil bahwa Abu Hudzifah dan Sahlah binti Suhail sudah menganggap Salim adalah anaknya sendiri, ketika Allah mengharamkan adopsi anak, maka Salim secara otomatis berubah menjadi orang asing dan tidak boleh masuk lagi ke rumah Abu Khudaifah dan Sahlah, keduanya merasa keberatan dan melapor kepada Rasulullah SAW, maka beliau menyuruhnya untuk menyusui Salim supaya bisa masuk ke dalam rumah mereka kembali sebagaimana anaknya sendiri. Dan ini berlaku bagi Salim dan orang-orang sepertinya.
Kesimpulan :
Yang benar dari tiga pendapat di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan bahwa menyusui di waktu besar tidak akan merubah status seseorang yang bukan muhrim menjadi muhrim dari orang yang menyusuinya, sebagaimana yang dipegang oleh mayoritas ulama.
Adapun dalil-dalil yang menguatkan pendapat ini, selain yang telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut :
Pertama : Bahwa hadits Aisyah yang menyebutkan perintah Rasulullah SAW kepada Sahlah binti Suhail untuk menyusui Salim yang sudah dewasa tersebut hanya khusus untuk Salim saja, dan tidak boleh diterapkan kepada yang lain. Dalilnya bahwa semua istri-istri Rasulullah SAW menolak pendapat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah ra :
“Para istri Nabi saw enggan memberi kebebasan masuk rumah mereka bagi anak-anak yang telah dijadikan mahram karena susuan. Dan kami berkata kepada Aisyah; “ Demi Allah kami tidak melihat hal ini, kecuali hanya sekedar keringanan yang diberikan oleh Rasulullah SAW khusus untuk Salim, oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mahram kerena susuan yang boleh masuk ke rumah kami dan melihat kami.” ( HR Muslim, no : 2641 )
Selain pernyataan Ummu Salamah di atas, kekhususan hadist Salim ini bisa diambil dari firman Allah SWT dalam Qs al Baqarah : 223 , dan kedua hadist Aisyah dan Ummu Salamah tentang batasan anak yang menyusu ibunya, sebagaimana telah disebutkan oleh mayoritas ulama.
Kedua : Pendapat yang mengatakan bahwa hadist Salim bersifat umum, sehingga membolehkan bagi siapa saja untuk melakukan seperti apa yang dilakukan Salim, akan menimbulkan kerusakan dan fitnah, khususnya pada zaman sekarang, karena bisa saja dengan dalih hadist ini setiap perempuan yang senang kepada seorang laki-laki, dia akan menyusuinya, lalu kedua berkhalwat di dalam rumah dan di tempat lain, tentunya hal seperti itu, tidak kita inginkan terjadi di masyarakat kita. Wallahu A’lam. Jakarta, 11 Jumada ats -Tsaniyah 1431 H/ 25 Mei 2010 M