Umbar janji untuk mencelakai diri
Situasi politik menghangat beberapa waktu terakhir memang meresahkan. Berbagai intrik dan cara dilakukan para elit politik maupun simpatisan untuk berebut pengaruh dan kepercayaan masyarakat. Tak hanya janji-janji yang diobral, bahkan banyak kasus orang-orang melakukan sumpah atau nadzar untuk mencelakai diri jika apa yang yang menjadi prediksinya salah, atau jago yang dicalonkan kalah.
Ada yang bersumpah akan gantung diri, ada yang bernadzar berjalan kaki dari Jogja hingga Jakarta, ada yang berjanji akan potong kupingnya, dan ada yang berani digantung di monas jika terbukti korupsi. Dan yang lebih heboh lagi bahkan ada yang bernadzar untuk potong kemaluan.
Ini membenarkan nubuwah Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa ketika dekat Hari Kiamat maka banyak orang yang bersumpah tanpa diminta. Betapa mudah manusia berjanji, dan begitu mudah pula mengingkari. Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya lagi.” – Kata ‘Imran: “Aku tak ingat lagi, apakah beliau menyebutkan setelah masa beliau itu dua atau tiga kali.” – “Kemudian akan ada sesudah kamu sekalian orang-orang yang suka memberikan kesaksian tanpa diminta bersaksi, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernadzar tetapi tidak memenuhi nadzarnya...” (HR Bukhari dan Muslim)
Sumpah untuk Mencelakai Diri
Mungkin saja orang yang berani berjanji, sumpah ataupun nadzar yang semacam itu terlalu percaya diri dengan prediksinya. Hingga dia lakukan itu untuk meyakinkan orang-orang bahwa yang dia prediksi pasti terjadi. Tentu saja ini merupakan bentuk kelancangan dan tidak memiliki adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mungkin mereka lupa, bahwa Allah pernah menghukum ‘ash-habul jannah’ (pemilik kebun) yang berjanji untuk memanen esok hari tanpa mengucapkan in syaaAllah. Hingga Allah menggagalkan rencana mereka sebagai pelajaran, bahwa ketentuan dan ketetapan bukanlah di tangannya, tapi dalam kekuasaan Penciptanya. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan: “In syaa Allah”, lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.” (QS al-Qalam 17-20)
Begitulah Allah menghukum orang yang berjanji akan panen tanpa mengucapakan in syaaAllah, padahal yang hendak mereka panen adalah kebun mereka sendiri. Artinya, mereka bersumpah untuk melakukan yang mubah, lantas bagaimana dengan orang yang bersumpah untuk melakukan maksiat dan dosa?
Pada banyak kasus, sebenarnya modus sumpah semacam ini hanyalah sumpah serapah, bersumpah untuk diingkari. Meski tampak serius dan menggebu-nggebu hakikatnya mereka sudah siap untuk berkelit. Faktanya, kita sudah sering mendengar sumpah serapah semacam ini, lalu ketika gejala-gejala menunjukkan apa yang menjadi tuntutan sumpahnya terjadi, buru-buru mereka membuat alibi.
Meskipun secara syar’i ia juga tidak boleh mewujudkan sumpahya jika konsekuensi sumpahnya berupa maksiat dan dosa. Tapi dari sisi kepribadian, ia telah cacat lantaran bersumpah untuk sesuatu yang jelas-jelas tidak akan ia lakukan.
Mencelakai diri sendiri adalah tindakan dosa dan haram, maka bersumpah untuk melakukan yang haram juga dihukumi haram. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“. (QS. Al Baqarah: 195).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu“. (QS. An Nisaa: 29).
Jika Teranjur Bersumpah
Lantas bagaimana ketika seseorang terlanjur bersumpah atau bernadzar untuk maksiat? Jawabannya, ia tidak perlu melakukan sesuai sumpahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya. ” (HR Bukhari)
Hanya saja, ia harus membayar kafarah(denda). Poin ini yang banyak disepelekan oleh mereka yang gampang mengumbar sumpah. Begitu mudah bersumpah, isi sumpahnya bermasalah dan kemudian ia berlepas diri begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa. Seharusnya ia membayar kafarah darisumpahnya. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar untuk bermaksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan hendaknya dia membayar kafarah sumpah.” (HR Nasa’i, al-Albani menyatakan shahih)
Adapun kafarahnya adalah dengan memerdekakan satu orang budak atau memberi makan pada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian pada sepuluh orang miskin. Jika semua itu tidak mampu dia lakukan, baru memilih berpuasa selama tiga hari. Allah Ta’ala berfirman,
“..Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.” (QS. Al Maidah: 89).
Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)