Undangan Yang Terlarang
Kenapa selalu ada yang menerjang larangan, bahkan ketika disertai ancaman yang sangat berat dan tak terbayangkan? Pertama adalah jiwa yang tidak ingin terkekang. Yang menolak berada dalam hukum dan kekuasaan pihak lain, sebab ingin terbang melayang berpetualang sekehendaknya.
Yang ingin mencicipi semua hasrat akan nikmat dan merindui yang belum pernah dirasai. Jiwa yang tertantang oleh larangan karena lupa akan lemahnya kuasa diri akan godaan, juga mudahnya tersesat jika hilang bimbingan
Jiwa yang tidak ingin dilarang, sebab yang terlarang terasa mengundang. Dan ketertarikan jiwa kepada hal-hal terlarang, seringkali paralel dengan kuatnya larangan. Artinya, semakin dilarang, semakin menantang. Jiwa yang mencurigai tersembunyinya ‘sesuatu’ di dalamnya, yang lebih memacu adrenaline dan memuaskan dahaga jiwa. Hal yang membuat setiap pelanggaran terasa nikmat, juga yang haram terasa lezat. Yang mubah pun tidak menarik lagi, bahkan saat ia tersedia sangat banyak namun merupakan pilihan bebas. Bukankah Adam ‘Alaihis salam terpikat oleh buah terlarang yang hanya satu, sedang berjuta buah yang lain tersedia melimpah di sekelilingnya?
Yang kedua adalah jiwa yang tidak ingin dibatasi. Yang merasakan setiap pembatasan adalah siksaan, dan terbebasnya diri darinya adalah kenikmatan. Baginya, pembatasan berarti melokalkan kenikmatan, sedang ia ingin menggapai kesenangan tanpa batas. Sehingga dua hal yang hakikatnya sama menjadi sangat berbeda jika berbeda asal keinginannya. Sangat biasa jika dari diri sendiri, dan sangat menyulitkan jika ia merupakan batasan dari pihak lain.
Maka pada mereka yang tidak tersentuh hidayah, akan sangat sulit merasai indahnya keyakinan, damainya kepasrahan serta nikmatnya pengakuan akan kesempurnaan Sang Rahman. Keangkuhan dari kebodohan telah membelenggu jiwa dan menghempaskannya ke dalam lubang penderitaan dalam bungkus fatamorgana dunia. Tersesat oleh nikmat sesaat yang menghancurkan, juga hawa nafsu yang dipertuhankan.
Sampai kapan jiwa kita mengerti bahwa banyaknya larangan yang ada adalah kasih sayang Allah kepada kita, di balik kesempurnaan ilmu dan hikmahNya, dan terbatasnya kemampuan kita yang tidak seberapa. Bahwa Allah menginginkan yang terbaik untuk hamba-hambaNya, karena Dia-lah yang paling tahu tentang siapa sebenarnya manusia. Bahwa kita tidak boleh mencurigai syariat hanya karena logika kita tidak mampu menjangkaunya.
Kini, saatnya kita belajar menyerah dan pasrah, serta menolak undangan dari hal-hal yang terlarang meski sangat tidak mudah. Sungguh!