Jual-Beli Gharar
Pengertian Gharar
Gharar atau al-gharar secara bahasa berarti al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan).
Secara istilah, jual beli gharar adalah jual beli atau akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi harga, kualitas, kuantitas, maupun keberadaannya.
Al- Khattabi menjelaskan dalam Ma’alim as- Sunan (III/672), “Asal gharar adalah segala sesuatu yang Anda tidak mengetahuinya, dan tersembunyi rahasianya…, maka setiap jual beli yang tujuannya masih samar-samar dan belum diketahui serta tidak bisa diserahterimakan barangnya maka termasuk jual beli gharar.”
Bentuk-bentuk Jual Beli Gharar
Ada tiga macam bentuk jual beli gharar:
Pertama: Jual beli gharar yang dilarang.
Bentuk pertama ini terdiri dari tiga macam, sebagaimana disebutkan Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra (IV/18), yaitu: (1) Jual beli yang tidak ada barangnya, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan dan susunya. (2) Jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan, seperti budak yang lari dari tuannya. (3) Jual beli barang yang tidak diketahui hakikatnya sama sekali atau bisa diketahui tapi tidak jelas jenisnya atau kadarnya. (Adil al-‘Azzazi dalam Tamam al-Minnah (III/ 305) juga menyebutkan hal yang sama).
Berikut ini rincian dari tiga macam jual beli gharar yang dilarang:
1. Gharar karena barangnya belum ada (al-ma’dum).
Contoh dari jual beli al-ma’dum adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadist Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia berkata:
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual anak dari anak yang berada dalam perut unta.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan (al-ma’juz ‘an taslimihi).
Seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, ikan di laut, mobil yang dicuri, barang yang masih dalam pengiriman,
3. Gharar karena ketidakjelasan (al-jahalah) pada barang, harga dan akad jual belinya.
Contoh ketidakjelasan pada barang yang akan dibeli adalah sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah bahwa ia berkata:
“Rasulullah melarang jual beli al-hashah (dengan melempar batu) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim).
Contoh jual beli al-hashah adalah ketika seseorang ingin membeli tanah, maka penjual mengatakan, “Lemparlah kerikil ini, sejauh engkau melempar, maka itu adalah tanah milikmu dengan harga sekian.”
Termasuk dalam katagori ini adalah Asuransi Konvensional, karena di dalamnya ada ketidakjelasan tentang keuntungan yang akan diterima keduabelah pihak, baik perusahaan asuransi maupun konsumen.
Kedua: Gharar yang Diperbolehkan
Jual beli gharar yang diperbolehkan ada empat macam: (1) jika barang tersebut sebagai pelengkap, atau (2) jika ghararnya sedikit, atau (3) masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang remeh, (4) mereka memang membutuhkan transaksi tersebut.
Imam Nawawi menjelaskan hal tersebut di dalam Syarh Shahih Muslim (V/ 144) :
“Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat), seperti seseorang tidak mengetahui tentang kualitas pondasi rumah (yang dibelinya), begitu juga tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang hamil. Hal–hal seperti ini dibolehkan di dalam jual beli karena pondasi (yang tidak tampak) diikutkan (hitungannya) pada kondisi bangunan rumah yang tampak, dan memang harus begitu, karena pondasi tersebut memang tidak bisa dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam kandungan kambing dan susunya.” (lihat juga Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari, Kitab: al-Buyu’, Bab : Bai’ al-Gharar ).
Jual beli dengan gharar semacam ini dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Berkata Imam Nawawi di dalam al- Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, (IX/311):
“Menurut kesepakatan ulama, semua yang disebut di atas diperbolehkan. Para ulama juga menukil ijma’ tentang bolehnya menjual barang-barang yang mengandung gharar yang sedikit.”
Ibnu Qayyim di dalam Zadu al-Ma’ad (V/727 ) juga mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli.” (Lihat juga Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra: IV/ 18)
Ketiga: Gharar yang Masih Diperselisihkan.
Gharar yang masih diperselisihkan adalah gharar yang berada di tengah–tengah antara yang diharamkan dan yang dibolehkan, sehingga para ulama berselisih pendapat di dalamnya. Hal ini dikarenakan perbedaaan mereka di dalam menentukan apakah gharar tersebut sedikit atau banyak, apakah dibutuhkan masyarakat atau tidak, apakah sebagai pelengkap atau barang inti.
Contoh gharar dalam bentuk ketiga ini adalah menjual wortel, kacang tanah, bawang, kentang dan yang sejenis yang masih berada di dalam tanah. Sebagian ulama tidak membolehkannya seperti Imam Syafi’i, tetapi sebagian yang lain membolehkannya seperti Imam Malik, IbnuTaimiyah (Majmu Fatawa: 29/33), Ibnu Qayyim (Zadu al-Ma’ad: V/728) .
Penulis cenderung mendukung pendapat yang membolehkan tetapi dengan syarat bahwa penjual dan pembeli sama-sama mempunyai ilmu tentang barang-barang yang dijual tersebut, seperti apabila keduanya adalah petani yang mengetahui kualitas wortel, bawang, kentang yang berada di dalam tanah dengan melihat kualitas daunnya atau batangnya atau dengan cara yang lain. Ini seperti halnya seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan dengan hanya melihat wajah dan kedua telapak tangannya. Walaupun ini masuk dalam katagori gharar, karena laki-laki yang melamar tidak melihat anggota badan yang tertutup dari perempuan yang dilamar, tetapi paling tidak, wajah dan kedua telapak tangan, biasanya sudah mewakili apa yang tertutup dan tidak bisa dilihat. Wallahu A’lam.
Pondok Gede, 10 Muharram 1435 H/ 14 Nopember 2013 M