Perginya Kejujuran
Fudlul al-Kalam para Politisi
Tatkala Akil Mukhtar, ketua Mahkamah Konstitusi digelandang masuk tahanan KPK, seorang wartawan ‘usil’ menanyakan kesiapan Akil untuk dipotong salah satu jari tangannya seperti yang pernah diusulkannya bila nanti terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Ya, Akil pernah mengusulkan di suatu forum, “Ini ide saya, dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup”, ujarnya pada 12 Maret 2012. (REPUBLIKA.CO.ID. 03 Okt 3013). Lain lagi yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, pada waktu Akil menjadi ketua panel sengketa pilkada Kediri, Akil berkata bahwa jika ada hakim MK terima suap akan digantung di tiang gedung MK. Yusril menagihnya, terkait dengan penangkapan diri Akil.
Sebelum itu, mantan ketua DPP PD Anas Urbaningrum juga menyatakan bahwa jika ada satu rupiah saja dirinya korupsi Hambalang, dia siap digantung di Monas, Jum’at 19 Maret 2012 silam. Kini dia telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan gratifikasi dalam kasus Hambalang. Dengan gaya bahasa hyperbola Anas menyatakan siap seribu persen menyusul Andi Mallarangeng menjadi tahanan KPK.
Beberapa hari sebelumnya, dengan nada tinggi dan hyperbolik, SBY membantah pernyataan Luthfi Hasan Ishaaq tentang sosok ‘bunda puteri’ yang menurutnya sangat dekat dengan presiden SBY, “Luthfi Hasan Ishaaq mengatakan terkait reshuffle cabinet. Apa hubungannya bunda putri dengan reshuffle cabinet? Seribu persen bohong.” (REPUBLIKA.CO.ID. Kamis 10/10/2013). SBY menegaskan lagi, “Dia (bunda putri) tahu kebijakan reshuffle? Dua ribu persen bohong! Apa? Kalau ada reshuffle kabinet, istri saya pun tidak tahu, tidak semua menteri tahu. Tidak satu pun yang saya ajak bicara soal reshuffle, tidak juga istri saya.”
Pernyataan di atas merupakan sebagian dari kutipan ‘fudlulul-kalaam’ (omong berlebihan) yang diucapkan oleh para tokoh politik dan pejabat tinggi di Indonesia. Ungkapan bergaya hyperbola yang keluar dari wilayah kesederhanaan, dimaksudkan untuk memberi jamin kepada rakyat bahwa dirinya bersih, tidak terlibat dalam sebuah kasus penyelewengan yang sedang terungkap. Sudah mafhum, di balik ungkapan itu terkandung maksud untuk meyakinkan bahwa pilihan rakyat terhadap dirinya tidak salah, atau agar rakyat memberikan kepercayaan kepadanya lagi.
Tetapi tidak jarang pula ungkapan itu merupakan pernyataan pembelaan diri yang muncul dari bawah sadar lantaran merasa terancam akan terkuak keterlibatan dirinya dalam suatu kasus yang sedang terungkap. Betapa seringnya seorang tokoh menyatakan dirinya bersih, tidak terkait dengan suatu kasus kriminal dan atau penyalahgunaan wewenang, tetapi belakangan di persidangan tindak pidana itu terbukti secara ‘sah’ dan ‘meyakinkan’.
Yang menyedihkan, apa yang telah terbukti secara ‘sah’ dan ‘meyakinkan’, sudah diputuskan dan inkracht (telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap), -terlepas sistem hukum yang dipakai- kepercayaan masyarakat terhadap vonis itu tetap tidak bisa penuh. Mengapa? Hal itu dikarenakan seringnya didapati para panegak hukum itu terkena kasus penyuapan dari pihak-pihak yang berperkara. Perkembangan yang mengemuka tidak ada lagi institusi yang sanggup bertahan menjaga integritasnya; kepolisian, kejaksaan dan seluruh eselonnya, pengadilan dalam berbagai tingkatannya, juga pengacara (advokat). Bahkan institusi kepresidenan dalam menggunakan ‘hak judicative’-nya (grasi) disinyalir tidak lagi bersih dari suap.
Kejujuran Hakiki
Dalam masalah komitment terhadap keadilan, Islam mengajarkan kejujuran hakiki khas agama langit. Semua agama langit mengajarkan hal itu selama tidak diubah oleh para tokoh agama. Ketika seorang pengikut agama langit berposisi sebagai terdakwa, atau saksi terhadap suatu tindak kejahatan atau sesuatu yang diperselisihkan, maka dia akan menampilkan kejujuran prima yang akan membantu mengurai dan menyelesaikan perkara secara tuntas serta adil. Firman-Nya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. jika ia (orang yang tergugat atau orang yang terdakwa itu) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa’: 135).
Komitmen kejujuran itu diajarkan oleh agama langit saat berposisi sebagai terdakwa, atau tergugat, atau saksi terhadap orang yang didakwa atau digugat dalam suatu perkara. Dapat dibayangkan komitmen yang harus dimiliki oleh seseorang yang berposisi sebagai penuntut (jaksa) atau pengadil (hakim), tentu lebih berat dan lebih tinggi kualitasnya dibandingkan seorang terdakwa, tergugat atau saksi.
Keruntuhan komitmen aparat peradilan telah menjadikan bumi sepi dari nuansa keadilan yang direkomendasikan dari langit. Padahal ukuran kemakmuran bumi yang hakiki, adalah ramainya bumi dengan implementasi keadilan ala langit ini. Keadilan yang mengundang berkah, menjadikan hujan datang selalu sebagai rahmat bukan adzab, keadilan yang mampu merangsang tumbuhnya bulir gandum menjadi sebesar biji kurma.
Persepsi yang Terkontaminasi
Tayangan kejadian yang terus berulang, peragaan perbuatan sama yang terus-menerus dalam durasi waktu panjang telah membentuk persepsi masyarakat. Melalui layar kaca publik terus digelontor berita korupsi, perampokan harta rakyat, penyalahgunaan wewenang tiada henti. Ya, repetisi memang merupakan salah satu teknik membentuk persepsi publik.
Atmosfer perpolitikan yang dipenuhi dengan kontrak politik untuk jujur dalam menjalankan amanah, adil mengelola harta rakyat, perlawanan verbal dan keras terhadap korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang tidak dibarengi pembuktian didalam praktek, telah membawa dampak buruk kehidupan masyarakat. Rakyat tidak lagi percaya bahwa statement itu pernyataan jujur. Telah terbentuk persepsi dalam diam bahwa statement itu dusta, pernyataan itu hanya alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang selanjutnya dicampakkan setelah tujuan diraih.
Telah terbentuk prinsip baru dalam persepsi masyarakat bahwa kebenaran dan kejujuran adalah keadaan sebelum terbongkar dan terbuktinya kedustaan. Tak ada lagi kejujuran hakiki seperti dimanatkan oleh semua ajaran langit. Prinsip ini perlahan tetapi pasti bertahta dalam persepsi publik meskipun institusi peradilan sekuler tetap berpegang kepada asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah).
Sungguhkah sekularisme telah berhasil menggunduli keimanan dari para pemeluk agama langit dan mencabut akarnya dari relung hati? Mungkin para ulama dan aktivis (partai) dakwah memiliki jawabannya.