Pilih Kurban Unta atau Telur?
Berkurban dengan telur, memang dibolehkan?. Penulis bukan sedang membahas tentang ahkamu udhhiyah, hukum-hukum yang berkaitan dengan penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adhha. Karena selain waktunya sudah berlalu, berkurban dengan telur jelas tidak ada tuntunannya dalam syariat Islam. Disini penulis ingin membahas tentang keutamaan datang lebih awal ketika menunaikan shalat Jumat. Barang siapa datang lebih awal maka seolah-olah ia telah berkurban dengan seekor unta. Dan yang datang paling akhir sebelum imam naik ke atas mimbar seolah berkurban dengan sebutir telur.
Meski pahalanya begitu besar, namun kenyataannya masih sering kita dapatkan jamaah baru berdatangan meskipun adzan jumat sudah berkumandang. Bahkan ada yang datang ketika khatib memulai khutbah kedua. Lebih ironis lagi banyak diantara mereka yang baru datang setelah khatib melantunkan doa pertanda khutbah hampir selesai.
Kejadian seperti di atas sering kita dapatkan di masjid sekitar kita. Kalau toh datang lebih awal, banyak yang lebih suka mencari tempat di pojok atau paling belakang sambil bersandar ke dinding, tidak lama berselang kepalanyapun terangguk-angguk karena mengantuk. Atau memang sengaja datang di akhir-akhir khutbah karena tidak mau lama menunggu. Padahal sejatinya ada fadhilah besar yang akan ia dapatkan jika ia mau datang di awal waktu.
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang mandi janabah pada hari Jumat kemudian berangkat ke masjid maka seakan-akan ia berkurban unta, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga seakan-akan berkurban kambing, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ke empat seakan-akan berkurban ayam, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima seakan-akan berkurban telur. Jika Imam keluar, malaikat hadir (duduk) untuk mendengarkan dzikir (khutbah).” (Muttafaqun ‘alaih).
Berdasar hadits di atas para ulama’ berbeda pendapat tentang waktu yang paling utama seseorang berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat jumat. Imam Malik berpendapat, tidak disunahkan berangkat shalat jumat sebelum zawal (matahari tergelincir). Diantara dalil yang digunakan, bahwa makna sabda Rasulullah ‘raaha’ adalah pergi di siang hari setelah zawal. Sedangkan Al Auzai, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa yang paling utama yang berangkat di awal waktu siang (pagi hari). Barangsiapa datang lebih pagi maka lebih utama. Imam Nawawi menerangkan makna ‘raaha’ dengan pergi di awal siang.
Syaikh Utsaimin menjelaskan tentang pembagian waktu tersebut, yaitu dimulai dengan terbitnya matahari di hari Jumat dan berakhir sampai Imam mulai naik mimbar. Rentang waktu tersebut dibagi dalam 5 bagian.
Sebagai contoh, untuk memudahkan pemahaman: Seandainya hari jumat di bulan ini matahari terbit jam 06.00 pagi (WIB) dan waktu Dzuhur bermula pada jam 12 siang (Imam naik ke atas mimbar), maka rentang waktu 6 jam tersebut dibagi 5 bagian. 6 jam = 6 x 60 menit =360 menit. Jika 360 menit dibagi 5, maka masing-masing waktu itu adalah 72 menit atau 1 jam lebih 12 menit. Sehingga pembagian waktu bagi orang yang mendatangi masjid dan menunggu imam di sana dengan aktivitas ibadah, kurang lebih sebagai berikut:
Waktu I (seperti berkurban unta) : 06.00 WIB – 07.12 WIB
Waktu II (seperti berkurban sapi) : 07.12 WIB- 08.24 WIB
Waktu III (seperti berkurban kambing) : 08.24 WIB – 09.36 WIB
Waktu IV (seperti berkurban ayam) : 09.36 WIB – 10.48 WIB
Waktu V (seperti berkurban telur) : 10.48 WIB – 12.00 WIB
Jika datang paling akhir sebelum imam naik mimbar saja, seakan berkurban dengan telur. Lantas bagaimana dengan yang datang setelah imam naik mimbar atau bahkan shalat jumat hendak dilaksanakan? Memang kewajiban shalat jumatnya sudah gugur, namun ia tidak mendapatkan pahala berkurban tersebut, karena malaikat telah menutup lembaran catatannya.
Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh al Albani, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, Rasulullah saw bersabda: “Para Malaikat duduk pada hari Jumat di depan pintu masjid dengan membawa buku catatan untuk mencatat (orang-orang yang masuk masjid). Jika imam keluar (dari rumahnya untuk shalat Jumat), maka buku catatan itu dilipat. Kemudian Abu Ghalib bertanya, “Wahai Abu Umamah, bukankah orang yang datang sesudah imam keluar mendapat Jumat? Ia menjawab, “Tentu, tetapi ia tidak termasuk golongan yang dicatat dalam buku catatan.”
Selain pahala berkurban, Rasulullah menjanjikan berbagai fadhilah lainnya diantaranya diampuni dosa-dosanya juga akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun. Tetapi dengan syarat mau melazimi beberapa tuntunan Rasulullah ketika menunaikan shalat jumah, seperti mandi janabah, memakai minyak wangi, diam ketika mendengar khutbah, tidak memisahkan jamaah yang sedang duduk dan lainnya. Rasulullah saw menyebutkan:
“Barang siapa mandi pada hari Jumat dan memakai baju paling bagus, memakai parfum jika punya, kemudian mendatangi shalat Jumat dan tidak melangkahi pundak manusia, lalu shalat semampunya, kemudian diam bila khatib sudah datang sampai dia selesai shalatnya, maka hal itu sebagai penghapus dosa antara Jumat hari itu dengan Jumat sebelumnya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Al Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam hadits yang lain beliau bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jumat, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud, Nasai dan Ahmad)
Subhanallah, akankah fadhilah yang begitu banyak ini kita lewatkan begitu saja? Andai berkurban unta, sapi, kambing, dan ayam masih terasa berat karena aktifitas mencari ma’isyah yang tidak bisa ditinggalkan, maka setidaknya kita berusaha untuk tetap berkurban meski dengan sebutir telur. Wallahul musta’an. (abu hanan)