Misi kaum Liberal di Balik Judicial Review UU PNPS Tahun 1965
Di check point sebuah bandara, seorang wanita muda ditahan oleh petugas dan digelandang ke ruang pemeriksaan. Petugas mendapati wanita tersebut menyimpan beberapa gram heroin dibalik (maaf) bra-nya. Belakangan, wanita terebut mengaku mau melakukan pekerjaan itu karena mengharap upah beberapa ratus dollar yang sangat dia perlukan mengatasi kesulitan ekonominya.
Yang dia merasa aneh, mengapa sejak memasuki areal bandara dia merasa seolah sudah ditunggu oleh orang-orang yang selalu mengikuti dan menguntitnya sampai dia masuk pemeriksaan X-ray yang kemudiandia ditangkap disitu. Seolah para petugas itu sudah tahu akan kedatangannya, dan begitu dia masuk, langsung ditangkap. Dia merasa, sepertinya dia dikorbankan.
Setelah di penjara dia bertemu dan bertukar pengalaman dengan mereka yang terkena kasus sama, barulah dia ngeh, bahwa hal seperti itu biasa terjadi di dunia mafia obat bius. Para boss mafia telah menjalin hubungan dengan beberapa oknum petugas yang ikut menikmati bagian dari bisnis haram yang super menggiurkan itu. Terkadang, jaringan mafia obat bius tersebut sengaja mengorbankan satu-dua kurirnya, biasanya rekrutan baru yang belum mengerti, dengan maksud, sebenarnya pada saat yang sama mereka meloloskan pengiriman yang jauh lebih besar. Jadi tertangkapnya perempuan muda itu bukan accident tapi by program.
Pola yang sama terjadi pada sebuah peristiwa tampak besar, hingar-bingar, menyedot perhatian publik dan diblow up media massa. Sebenarnya pengaruh peristiwa tersebut terhadap kehidupan publik tak seberapa. Sebaliknya, ada peristiwa di balik hingar-bingar itu yang sepi dari sorotan kamera, tak banyak mengisi headline koran tetapi pengaruhnya kepada kehidupan masyarakat lebih besar, dalam dan permanen. Jadi, terkadang suatu peristiwa by program dibesar-besarkan di media massa, sengaja untuk menutupi atau setidaknya menyamarkan, perkara substansial yang sedang dalam skenario kelompok kepentingan.
Rekayasa sosial seperti itu sangat lazim di dalam kehidupan politik dan kriminal. Pemerintah, atau mafia obat bius, atau kelompok kepentingan seperti lobi Yahudi biasa menggunakan cara-cara seperti itu. Bahkan ada ahli yang spesialis pembuat skenario semacam itu.
Raibnya uang negara 6,7 trilyun tentu suatu perkara besar, kerugian negara besar. Sekalipun ada yang tetap ngancil pilek, pura-pura tidak tahu bahwa negara rugi. Negara untung, karena tidak jadi terkena dampak sistemik yang akan terjadi kalau bank Century tidak di bailout. Negara rugi jika terjadi gonjang-ganjing perbankan terkena dampak psikologis bangkrutnya bank Century. Para ekonom liberal itu mencekoki 250 juta lebih manusia mengenai sesuatu yang ‘mungkin’ terjadi untuk memaksakan benarnya sesuatu yang sudah ‘pasti’ terjadi, yakni negara dirugikan 6,7 trilyun dengan keputusan dini hari yang slintutan itu. Ini masalah besar, tetapi bagi rakyat ya ndak begitu terasa secara langsung, toh sebelumnya memang sudah ngos-ngosan akibat beban ekonomi yang ditanggung.
Keretakan partai-partai koalisi pendukung KIB II akibat beda sikap menghadapi Pansus Century adalah perkara besar sampai muncul ancaman rusuffle kabinet. Bagi para politikus, itu merupakan early warning bakal ada yang geser dari posisi menteri, masuk kotak. Implikasi langsung yang segera dirasakan, penerimaan bulanan yang semula pokoknya saja sekitar 18 juta masih ditambah ceperan sana-sini, berubah menjadi 2,7 juta. Wah!…sungguh berat kalau tidak ada sumber lain, apalagi kalau gaya hidup sudah terlanjur di-setel dengan selera tinggi, bisa stress bahkan depresi. Itu masalah besar, tetapi pada scope terbatas, dan pengaruhnya tidak terlalu signifikan untuk diperhitungkan. Kecuali kalau setelah di-resuffle menggalang pengikut, dibayari, kemudian ngamuk, lain masalah.
Genderang Perang Kaum Liberal-Sekular.
Di balik hingar-bingar obyek sorot kamera TV, corong radio maupun headline koran pekan ini, terselip peristiwa substansial yang akan berpengaruh mendalam dalam jangka panjang, yakni pengajuan judicial review (pengujian) UU Nomor I Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Mahkamah Konstitusi, Kamis 5 Pebruari 2010. Pengabulan atau penolakan MK terhadap permintaan itu berpengaruh besar dan mendalam terhadap kehidupan beragama di Indonesia, terutama ummat Islam.
Permohonan pengujian ini dilakukan oleh 7 LSM dan beberapa nama perorangan yang merupakan garda depan pengusung sekularisme, pluralisme dan liberalisme, yakni : IMPARSIAL (Rachland Nashidik), ELSAM (Asmara Nababan), PHBI (Syamsudin Radjab), DEMOS (Anton Pradjasto), Perkumpulan Masyarakat Setara (Hendardi), Desantara Foundation (M.Nur Khoiron), YLBHI (Patra M Zein) dan perorangan yakni : (mendiang) Abdurrahman Wahid, Prof. Dr.Musdah Mulia, Prof.M.Dawam Rahardjo dan Maman Imanul-Haq. Mereka tergabung dalam wadah Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Kelompok ini menggagas untuk mengajukan judicial review sejak pertengahan tahun 2008. Dikeluarkannya SKB tiga menteri terkait pelarangan kelompok sesat Ahmadiyah, dijadikan momentum oleh aliansi ini untuk melayangkan gugatan. Mereka menganggap UU Nomor I Tahun 1965 itu merupakan pelanggaran konstitusi kebebasan beragama dan berkeyakinan, bahkan dianggap diskriminatif terhadap kelompok-kelompok penghayat kepercayaan, karenanya harus segera diganti.
Kuasa hukum penggugat, Uli Parlian Sihombing mengatakan, “Undang-undang ini melanggar konstitusi, khususnya ayat 1 pasal 3 tentang negara hukum. Di dalam negara hukum itu kan ada perlindungan HAM. Nah, di dalam UU PNPS No 1 tahun 1965 itu ada larangan kegiatan dan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama, itu intinya. Kemudian, apalagi menceritakannya di depan umum. Nah, dalam konteks HAM, penafsiran itu bagian dari keyakinan seseorang, tidak bisa di-intervensi”. Para penggugat berkeyakinan bahwa pasal ini yang dijadikan dasar dan memicu tindakan kekerasan kepada kelompok yang dianggap keluar dari penafsiran kelompok agama utama.
Sebaliknya, Menkumham Patrialis Akbar, mewakili pemerintah menolak anggapan itu dan berpendapat bahwa pencabutan UU itu justru akan merusak harmoni dan memicu konflik antar sesama pemeluk agama. Katanya, “Kemudian permohonan ini juga dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak dan konflik horisontal antar masyarakat. Karena dapat kita bayangkan, bagaimana suatu agama dimasuki oleh prinsip-prinsip lain dengan memakai nama agama itu sendiri, tetapi sistem dan ajarannya justru bertolak belakang dengan agama itu….”
Persis! Ya seperti itu spririt liberalisme yang diyakini dan diusung oleh AKKBB ini, itulah yang dinamakan al-hurriyah bilaa haddin, kebebasan tanpa batas. Tahu ndak, dalam bentuk paling ekstrem, bahkan memberi definisi terhadap kebebasan itu sendiri tak boleh. Mengapa? Ya,… karena definisi itu artinya batasan, kalau sudah diberi batasan berarti sudah tidak bebas lagi. Gila!
Kontradiksi atau Ketidak-jujuran?
Kaum liberalis-sekuler melihat bahwa kelompok Ahmadiyah sebagai obyek kekerasan dari kelompok agama utama, maksudnya ummat Islam, dimana mereka dibatasi haknya untuk mempunyai penafsiran sendiri sesuai keyakinannya, dibatasi dalam beribadah dan diserang rumah-rumah ibadahnya. Penafsiran agama Ahmadiyah, salah satunya mereka meyakini bahwa masih ada rasul setelah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dipandang oleh kaum liberal sebagai serangan kepada keyakinan ummat Islam. Keyakinan mereka itu telah mengantarkan keluar dari pokok ajaran Islam paling mendasar yang telah mapan dan diyakini kebenaranya lebih dari 14 abad. Bahkan hal itu oleh kelompok sekular-liberal di-justifikasi sebagai kebebasan berkeyakinan yang dilindungi undang-undang. Kaum liberal-sekular sama sekali, sekali lagi sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa penafsiran itu sangat menyakiti keyakinan yang diimani oleh pemeluk Islam, melebihi serangan pisik berdarah atau ambruknya rumah ibadah.
Mereka tidak mau melihat, bukan tidak melihat, bahwa jika ada reaksi spontan massa grass root ummat kepada Ahmadiyah, hal itu disebabkan karena serangan pendahuluan yang dilakukan oleh kaum Ahmadiyah kepada keyakinan suci yang diimani ummat. Bahkan hal itu telah berlarut-larut. Ahmadiyah dilarang di Indonesia bukan dengan SKB tiga menteri pada tahun 2008, tetapi jauh sebelum itu, sejak zaman Orde Lama. Serangan yang terjadi belakangan itupun lebih disebabkan karena mereka telah menyepakati untuk kembali kepada induk ajaran Islam, dan hal itu dituangkan dalam sederet point yang dirumuskan oleh Majelis Ulama. Nah, ternyata dalam perkembangannya, kesepatan itu hanya di atas kertas. Dalam praktek, mereka tidak mau kembali kepada keyakinan pokok Islam dan tetap menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi pembawa risalah baru setelah Rasulullah katamul-anbiyaa’ wal-mursaliin. (Padahal menulis nama nabi mereka dengan huruf kapital saja rasanya khawatir berdosa, kalau bukan karena aturan EYD mengharuskan menulis nama dengan huruf besar). Nah! Sikap mereka yang plin-plan dan tidak memenuhi janji inilah yang membuat ummat merasa ditikam keyakinannya, mereka spontan marah. Ya,…kalau sudah massa yang marah, tahu sendiri. ‘Siapa suruh datang ke Jakarta?’
Lha, membatasi ‘menyakiti’ hanya dengan ‘ukuran-ukuran pisik’ ini yang tidak adil dan tidak jujur. Kalau kaum liberal-sekular bisa menerima ketika para pemeluk agama Ahmadiyah mengatakan bahwa mereka mendapatkan ‘kepuasan batin’ dengan meyakini nabi peliharaan penjajah Inggris itu, mengapa mereka tidak dapat berpikir sama bahwa ummat Islam merasakan ‘penderitaan batin’ akibat kelakuan pemeluk agama Ahmadiyah itu. ‘Penderitaan batin’ ummat Islam lebih perih lagi karena keyakinan itu diatasnamakan Islam.
Mengatas-namakan Tuhan
Salah seorang pemohon judicial review Khairul-Anam dalam suatu kesempatan berkata, “Tuhan saja tidak marah dengan penafsiran itu…”. Ini serangan lain yang tidak kalah dahsyat-nya. Jika kita bawa kepada kasus Ahmadiyah, orang ini bermaksud mengatakan bahwa toh orang-orang Ahmadiyah yang menafsirkan dan meyakini keyakinan yang berbeda dengan pemeluk agama Islam arus utama juga tidak dijatuhi hujan batu dari langit atau tertelan bumi seperti Qarun.
Memang, mengatakan kalimat bahwa ada nabi baru setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak serta-merta bibir jadi ‘sumbing’. Dulu, sebelum ini pada waktu ada issue susu Dancow mengandung lemak babi, serombongan ulama’ melakukan inspeksi ke pabrik susu Dancow, kemudian secara demonstratif rombongan itu minum susu Dancow yang telah disediakan, di bawah sorotan kamera TV. Sama dan Sebangun. Begitukah cara mengajari logika kepada ummat? Ini bukan pengajaran, ini penyesatan!
Kalau kalimat “Tuhan saja tidak marah…” itu dilanjutkan, bukankah kira-kira kelanjutan kalimatnya seperti di atas? Mas Khairul-Anam mau pakai indikator apa untuk menandai bahwa ‘Tuhan marah’? Atau ‘Tuhan senang’? Apa kalau tuhan marah, tiba-tiba datang gempa, angin ribut, atau hujan batu dari langit, atau datang wabah penyakit? Sebaliknya kalau tuhan senang lalu tuhan mengucurkan dana 1,4 milyar rupiah setahun melalui Asia Foundation, begitu? Coba, apa indikatornya?
Maaf lho, Mas! Statement yang ringan di lisan Anda ini banyak persoalan besar terkandung di dalamnya. Bagi ummat Islam awam, pernyataan itu membuat keraguan. Hati kecil ummat awam yang beriman mengatakan “tidak!” tetapi mereka tidak mampu mendatangkan argumentasi, bahkan untuk sekedar menepis keraguannya sendiri, apalagi meyakinkan orang lain. Sebab, betapapun lemahnya nalar mereka, iman itu sendiri memiliki daya hidup. Kalau ada yang asing dengan keyakinan yang bersemayam di dalam qalbu tersebut pasti ada reaksi penentangan.
Sementara, sekelompok ummat awam yang lain, yang posisi imannya benar-benar ‘alaa harfin, (di tepian) akan bergumam, “iya, ya! Nyatanya toh dari dulu orang-orang Ahmadiyah berkeyakinan begitu juga biasa-biasa saja, tidak ada apa-apa! Kalau tuhan saja tidak marah orang berkeyakinan begitu, mengapa kita harus marah-marah?” Jadi, ringkasnya hasil akhir kalimat Anda itu menanamkan keraguan kepada ummat Islam awam terhadap keyakinan agamanya.
Bagi orang yang paham terhadap agamanya, statement Anda itu dalam pandangan mereka adalah peragaan kebodohan. Kelompok ini mengerti bahwa tidak setiap pembiaran Allah terhadap suatu kemalasan dalam menjalankan perintah agama, atau penolakan, atau kekafiran selalu diganjar tunai dengan hukuman langsung di dunia. Kadang penundaan siksaan langsung itu karena kasih sayang Allah untuk memberi kesempatan baginya bertaubat, atau sebaliknya, karena Allah marah kepadanya supaya dia berbuat dosa lebih banyak dan lebih besar lagi sehingga di akherat mereka akan mendapatkan adzab yang tidak saja amat berat, tetapi juga membuat mereka putus asa. Firman-Nya, “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zhalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu (mata) mereka terbelalak, mereka datang dengan bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong”. (Ibrahim : 42-43)
Begitu pula tidak setiap terbukanya peluang kekayaan dan fasilitas duniawi kepada seseorang atau sekelompok orang, berarti Allah senang dan mencintai mereka. Sebab, terkadang gerojokan peluang duniawi itu dimaksudkan Allah sebagai istidraj. Coba simak firman-Nya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (Al-An’aam 44).
Jadi, tidak setiap limpahan duniawi merupakan indikator senang dan ridhonya Allah. Begitu pula, tidak setiap musibah duniawi yang menimpa selalu identik kemurkaan Allah, seperti wabah penyakit misalnya. Bencana alam memang telah menjadi kesudahan bagi ummat para nabi terdahulu, jika kita percaya kepada kitab suci Al-Qur’an. Toh begitu, ketika bencana datang berupa gempa bumi, tanah longsor, angin ribut maupun tsunami, kaum sekuler-liberal teman-teman Mas Khayrul-Anam juga yang berteriak, “Bencana alam tidak ada hubungannya dengan kemurkaan Tuhan” Lha terus, bagaimana? Kalau begitu, ya jadinya adu argumentasi tanpa pakem, dikejar kemana saja, selalu berkelit, pindah patokan, capek Deh!
Kesempurnaan Risalah Khatamul-Anbiyaa’
Mungkin Mas Khayrul-Anam belum tahu, atau sudah tahu pura-pura tidak tahu detik-detik menjelang dan setelah wafatnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, terjadi gelombang kemurtadan. Abu Bakar ash-Shiddiq Khalifah Rasul pada awal pemerintahannya dihadapkan dan disibukkan dengan harakatur-riddah ini, jazirah Arab yang belum lama memeluk Islam kembali murtad kecuali penduduk tiga kota saja; Makkah, Madinah dan Bahrain. Ada yang beralasan tidak mau membayar zakat dengan dibumbui argumentasi bahwa zakat hanya diserahkan kepada Rasul dan mereka yang berkeyakinan seperti itu menahan zakatnya kepada Abu Bakar Sang Khalifah. Tetapi ada juga yang lebih frontal dan terang-terangan mentahbiskan diri sendiri sebagai nabi, seperti Sa’jah Tamimiyah (jadi Lia Eden bukan perempuan pertama), Musailamah, Thulaihah bin Khuwailid dan Aswad al-Ansi.
Coba jawab pertanyaan ini, “Allah marah atau tidak kepada mereka yang mengaku nabi itu, Mas Khayrul-Anam?” Jawabannya ya ataukah tidak, kan harus ada indikator-nya! Soalnya Allah ghaib, sehingga kemarahan dan keridhoan-Nya kan harus dilihat dari indikator-nya. Atau kalau indikator kok sepertinya hissi banget, mbok yang agak intelektual, kriteria atau alat ukurnya, begitu!
Baiklah, jika musibah atau bencana tidak selalu merupakan tanda kemurkaan Allah, begitu pula limpahan kekayaan duniawi juga belum tentu menjadi tanda keridhoan-Nya, apa kriteria untuk mengukur hal itu. Soalnya semua ulama salaf maupun kholaf sepakat menjuluki Musailamah dengan tambahan al-kadzdzab di belakang namanya. Sedangkan para muarrikh mencatat tak ada bencana alam menimpa Musailamah dan para pendukungnya, bahkan di hadapan pengikutnya dia memiliki haybah buah dari ilmu sihirnya.
Mengapa yang marah justru Abu Bakar ash-shiddiq dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum sehingga mereka terlibat pertempuran hidup-mati menghadapi pasukan Musailamah? Apalagi kedustaannya mendapat justifikasi dari shahabat murtad Rajal bin Unfuwah.
Ya! Karena para shahabat Rasulullah, manusia yang paling mengerti agama Islam setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui dan sepakat bahwa ukuran kemurkaan Allah dan ridho-Nya tertuang di dalam prinsip-prinsip ajaran agama yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi-Nya. Sekali lagi, kriteria seseorang atau sekelompok orang itu diridhoi atau dimurkai oleh-Nya adalah kesesuaian sikap, ucapan dan tindakannya apakah berdasar dan bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Gugatan Kaum Sekuler-Liberal Terhadap Perkara-Perkara Tsubut (yang Telah Tetap)
Pada titik tersebut di atas, jangan disangka bahwa orang-orang sekuler-liberal tersebut sudah menyerah dan taslim. Belum, bahkan tidak! Sebab mereka masih akan mengatakan bahwa prinsip-prinsip itu kan relatif, itu kan persepsi para shahabat Nabi terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab yang mengetahui apa maksud Al-Qur’an yang sesungguhnya hanyalah Allah, yang lain itu hanya persepsi, termasuk para shahabat nabi, itu relatif, tidak mutlak. Jadi persepsi itu tidak boleh dipaksakan terhadap orang yang mempunyai persepsi yang lain. Nah,…lho!
Perkara-perkara yang telah tsubut (tetap) dan diterima oleh ummat sebagai prinsip dasar yang tidak berubah pun mereka tolak. Bahwa Islam itu berdiri di atas Tsalaatsatu al-Ushul al-Ma’shumah (tiga landasan pokok yang tidak mungkin salah) yakni: Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) para shahabat Nabi juga tidak mereka terima dan di-relatif-kan. Kalau shahabat yang para ahli hadits sepakat bahwa periwayatan shahabat Nabi terhadap hadits Rasul tidak perlu di-check, karena mereka sepakat keadilan para shahabat, bahwa para shahabat tidak mungkin berdusta. Sendirian saja tidak perlu diragukan keadilannya, apalagi ketika mereka bersepakat atas suatu perkara, tentu lebih kuat lagi. Lha kalau sumber pertama yang paling terpercaya setelah Nabi yang telah disepakati keabsahannya saja mereka ‘relatif’-kan, apalagi produk ijtihad para ulama setelahnya, sekalipun integritas ilmu mereka tidak diragukan.
Medan yang Berbahaya
Pertarungan menghadapi judicial review UU No 1 PNPS tahun 1965 ini, hanya salah satu ujian dari serangkaian serangan yang dilancarkan oleh kaum liberal-sekular. Sebelumnya mereka telah juga menyerang dengan Kompilasi Hukum Islam yang saking jahatnya kaum liberal-sekular ini sampai-sampai ada memelesetkan judul kompilasi tersebut dengan, Kompilasi Hukum Iblis la’natulLaah ‘alaihi. Serangan mereka untuk menggoyahkan sendi-sendi agama yang telah mapan terus-menerus mereka lakukan.
Sidang menghadapi judicial review kelompok liberal-sekular ini, merupakan pertarungan substansial yang hakiki. Keputusan pemerintah untuk menolak gugatan atau menerimanya masih akan dilakukan beberapa pekan ke depan. Dalam beberapa kali masa sidang itu, masih banyak para ahli yang akan diundang untuk menyampaikan pandangannya, sebelum palu diketokkan.
Jika judicial review ini berhasil, maka benteng pertahanan kemurnian Islam tak hanya retak, tetapi jebol. Sesudahnya banjir penafsiran terhadap agama Islam akan melanda tanpa dapat dihentikan, ajaran Islam akan mengalami penafsiran berbeda-beda, sebanyak kepala pemeluknya, wal’iyadzu bilLaah. Semoga Allah menyelamatkan kita semua, aamiin.
Demi Allah, masalah ini sekalipun tenggelam dalam hingar-bingar kasus Century dan resuffle KIB II, sesungguhnya permasalahannya jauh lebih serius dan berdampak dalam jangka panjang. Karena dampaknya secara ‘psikologis’ dan ‘sistemik’ merusak kerangka pemahaman Islam yang sudah mapan lebih 14 abad, merusak cara berpikir ummat Islam dan potensial memunculkan serpihan-serpihan kelompok yang keluar dari Islam dengan tetap mengatasnamakan ajaran Islam.
Ini ‘kebakaran’ di rumah Islam kita. Seluruh ummat Islam yang masih mempunyai ghirah terhadap agamanya harus mengambil bagian untuk memadamkan kebakaran ini, tanpa mempertanyakan ‘merk ember’ apa yang dipakai. Kalau tidak, kerusakan pemahaman dan bencana perpecahan di depan mata, na’udzu bilLaah.