Istimna’ dan Buka Puasa Sebelum Waktunya
Istimna` Membatalkan Puasa
Ustadz, apakah melakukan onani/masturbasi sampai ejakulasi membatalkan puasa Ramadhan? Jika batal, apakah ada kafaratnya seperti halnya laki-laki yang menggauli istrinya? (Dani, Boyolali Jawa Tengah)
Di antara hikmah disyariatkannya puasa atau shiyam adalah pelatihan untuk menahan hawa nafsu—salah satunya nafsu seksual. Pada waktu siang hari seorang yang berpuasa harus menahan keinginannya untuk menyalurkan hasrat seksualnya, bahkan jika itu halal pada asalnya.
Onani atau masturbasi yang dalam khazanah Islam disebut oleh para ulama dengan istimna` adalah perbuatan haram, kapan pun itu dilakukan. Dan lebih haram lagi jika dilakukan di siang hari bulan Ramadhan. Dasar keharamannya adalah keumuman dalil yang menyatakan bahwa menyalurkan hasrat seksual hanya boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dengan istri atau budaknya, dan seorang perempuan hanya boleh dengan suaminya. Di luar itu adalah tindakan melampaui batas.
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mukminun: 5-7).
Selain berdosa karena melakukan yang haram, beristimna` di siang hari bulan Ramadhan sampai ejakulasi membatalkan puasa, menurut jumhur ulama. Alasan mereka, jika seseorang bersetubuh dengan istrinya dan tidak sampai ejakulasi saja batal puasanya, maka istimna` sampai ejakulasi lebih membatalkan puasa. Jika istimna` dilakukan tidak sampai ejakulasi, puasanya tidak batal; tetapi nilainya berkurang atau bahkan bisa jadi tak bernilai sama sekali.
Ibnu Qudamah berkata, “Jika seseorang melakukan onani dengan tangannya, maka ia telah melakukan perbuatan haram. Puasanya tidak batal kecuali jika sampai ejakulasi. Jika ia mengalami ejakulasi, puasanya batal.”
Ar-Rafi’i berkata, “Jika air mani dikeluarkan dengan onani maka itu membatalkan puasa. Sebab, bersetubuh tanpa ejakulasi membatalkan puasa, maka ejakulasi dengan syahwat lebih membatalkan puasa.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Seseorang yang berusaha mengeluarkan air maninya dengan cara apapun, baik dengan tangannya ataupun digosok-gosokkan dengan sesuatu sehingga ia mengalami ejakulasi, maka puasanya rusak. Inilah pendapat imam madzhab yang empat: Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ahmad.”
Setelah menyatakan batalnya puasa disebabkan istimna`, para ulama sepakat mengenai kewajiban mengqadha`nya, namun berbeda pendapat mengenai kewajiban kaffarat atas orang yang melakukannya. Menurut para ulama madzhab Maliki dan sebagian ulama madzhab Hambali, selain wajib mengqadha`, orang yang melakukannya juga wajib menjalani kaffarat puasa dua bulan berturut-turut. Wallahu a’lam.
Buka Puasa Sebelum Waktunya
Ustadz, apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang karena mengandalkan adzan masjid sebagai penanda buka puasa, ia berbuka puasa sebelum waktunya. Kasusnya, muadzin salah adzan. Setelah bertakbir dua kali, ia menghentikan adzannya karena ada yang menegur bahwa belum masuk waktu Maghrib. (Fadhlullah, Bintaro Jakarta)
Salah satu amalan sunnah yang seyogianya dikerjakan oleh orang yang melaksanakan puasa adalah menyegerakan buka puasa. Hanya, menyegerakan di sini adalah setelah tiba waktunya yakni setelah terbenamnya matahari.
Jika matahari sudah terbenam yang berarti waktu Maghrib sudah tiba, seorang yang berpuasa sudah boleh berbuka, baik sudah ada muadzin yang mengumandangkan adzan ataupun belum.
Rasulullah bersabda, “Manusia tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksudnya adalah setelah terbenamnya matahari. Jadi, tidak perlu menunggu sampai ada orang yang mengumandangkan adzan atau bahkan menunggu sampai terbitnya bintang di langit seperti yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, “Disunnahkan menyegerakan berbuka, yakni segera berbuka jika matahari sudah terbenam. Yang dijadikan tolok ukur adalah terbenamnya matahari, bukan adzan.”
Berkenaan dengan kasus yang Antum tanyakan, puasa orang itu batal, ia tidak berdosa, dan tidak perlu membayar kaffarat. Dasarnya, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Hisyam bahwa Asma` binti Abu Bakar ra berkata, “Pada masa Rasulullah kami pernah berbuka puasa di hari yang mendung, lalu (setelah berbuka) matahari terlihat (ternyata belum masuk waktu Maghrib).” Hisyam ditanya, “Apakah mereka diperintahkan untuk mengqadha`?” Hisyam menjawab, “Ya. Mereka diharuskan mengqadha`nya.”
Selain hadits di atas, seorang tabi’in, Bisyr bin Qais menyatakan, ia pernah bersama Umar bin Khattab lalu ia berkata, “Beliau menghidangkan kepada kami roti Sawiq. Kami makan roti itu lantaran kami mengira matahari sudah terbenam. Tiba-tiba muadzin menyampaikan bahwa matahari belum terbenam. Maka Umar berkata, ‘Berpuasalah sehari di luar Ramadhan untuk mengganti puasa kalian hari ini’.”
Kedua dalil ini menegaskan bahwa kita boleh berbuka jika menurut prasangka kuat kita matahari sudah terbenam. Adapun jika ternyata prasangka kita salah, maka kita wajib mengqadha`nya. Sebab kita sudah berbuka di siang hari bulan Ramadhan secara sengaja.
Ini berbeda dengan jika seseorang mengira hari masih malam—jam dindingnya mati di jam 03.00, misalnya, lalu ia makan sahur, dan setelah selesai makan terdengar suara orang-orang di luar pulang dari masjid. Dalam kasus ini puasanya sah. Tentu ini dibangun di atas kejujuran diri kepada Allah, sebab kita tidak bisa berpuara-pura tidak tahu bahwa jam dinding di rumah kita mati padahal kita tahu. Wallahu a’lam.