Mendahulukan Wahyu, Mengikuti Sunnah
وَنَرَى الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ كَمَا جَاءَ فِي اْلأَثَرِ
(83) Menurut kami, boleh mengusap kedua khuff ketika bepergian maupun mukim, sebagaimana tersebut dalam atsar.
Khuff adalah sejenis sepatu yang terbuat dari kulit dan menutupi seluruh bagian kaki yang wajib dibasuh saat wudhu (menutupi mata kaki). Sedangkan yang dimaksud dengan “mengusap” adalah menyentuh sesuatu dengan tangan yang basah dan menggerakkannya.
Sebenarnya pembahasan mengusap khuf termasuk pembahasan fiqh. Namun, karena firqah Syi’ah dan Khawarij menolaknya maka Abu Ja’far ath-Thahawi menjadikannya sebagai salah satu bagian dari matan aqidah beliau. Para ulama Ahlussunnah yang lain pun sependapat dengan beliau dan menjadikan ihwal mengusap khuff pengganti membasuh kaki ketika wudhu sebagai salah satu syi’ar Ahlussunnah.
Dalil yang menjelaskan keabsahan mengusap khuff adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan dari sekira 80 orang sahabat—di antara mereka adalah 10 sahabat yang dijamin masuk surga.
Abdullah bin Mubarak menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai bolehnya mengusap khuff. Setiap ada riwayat dari sebagian mereka yang menunjukkan pengingkaran mereka terhadap masalah ini, selalu didapati riwayat lain dari mereka juga yang menunjukkan kebalikannya: boleh mengusap khuff.”
Penolakan yang didengungkan oleh Syi’ah dan Khawarij—juga siapa saja yang sependapat dengan mereka—umumnya bermula dari kesalahan mereka dalam memosisikan akal di hadapan wahyu. Mereka yang mendahulukan akal, tidak dapat menerima mengusap bagian atas khuff dengan tanpa menggusap bagian bawahnya, padahal yang terkena kotoran adalah bagian bawah.
Sedangkan Ahlussunnah berpedoman: jika sudah terbukti shahih dan datang dari Rasulullah saw, maka amal atau apa pun harus diterima dan tidak boleh ditentang dengan akal, logika, dan lain sebagainya. Ahlussunnah mengikuti sunnah mendahulukan wahyu.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib ra berkata,
لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Sekiranya agama itu dengan akal semata, niscaya bagian bawah khuff lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun, sungguh aku pernah melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas khuff beliau.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyatakan, ‘Mungkin ada yang berkata, ‘Sepintas mengusap bagian bawah khuff lebih utama, karena bagian inilah yang langsung mengenai tanah atau kotoran. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, kita dapatkan bahwa mengusap bagian atas khuff adalah lebih utama dan sesuai dengan logika. Sebab, tujuan mengusap khuff bukan untuk membersihkannya, akan tetapi bertujuan ibadah.”
Di antara hikmah dibolehkannya mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Dalam kondisi tertentu, seseorang akan mendapati kesulitan untuk melepas khuff dan membasuh kedua kaki pada saat berwudhu. Misalnya pada saat musim dingin atau ketika menghadapi cuaca yang amat dingin. Kesulitan bisa jadi ditemui seseorang saat ia bepergian, karena pada saat itu biasanya seseorang ingin serba cepat sehingga tidak punya waktu untuk melepas khuffnya.
Tata Cara Mengusap Khuff
Para ulama sepakat, apabila seseorang berada dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, lalu ia memakai khuff, maka jika batal wudhunya, ia tidak harus melepas khuffnya ketika bewudhu. Dia boleh tetap memakainya dan ketika sampai pada rukun membasuh kaki, ia cukup mengusap khuffnya.
Caranya, kedua tangan dibasahi air, lalu diletakkan pada ujung khuff bagian depan (yang menutupi jari-jemari kaki), jari-jemari tangan direnggangkan, tangan kanan pada kaki kanan, tangan kiri pada kaki kiri, lalu keduanya digerakkan bersamaan ke arah dalam (punggung telapak kaki) sampai pada khuff yang menutupi bagian betis depan paling bawah. Jika membasuh kaki disunnahkan sampai tiga kali, tidak demikian halnya dengan mengusap khuff ini. Cukup sekali, sebagaimana dikabarkan oleh sahabat Mughirah bin Syu’bah ra.
Bagian samping dan belakang khuff tidak perlu diusap, karena tidak ada satu riwayat shahih pun yang menjelaskan pengusapan keduanya.
Masa Berlaku Mengusap Khuff
Para fuqaha Ahlussunnah sepakat, saat seseorang tidak bepergian, ia boleh mengganti membasuh kaki dengan mengusap khuff dalam rentang waktu sehari-semalam atau 24 jam. Jika misalnya seseorang mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat Zhuhur, lalu ia mengenakan khuff, kemudian pada waktu ‘Ashar ia berwudhu lagi dengan mengusap khuffnya, maka selama 24 jam berikutnya ia boleh mengusap khuff setiap kali berwudhu.
Syaratnya, dalam 24 jam itu ia tidak berhadats besar/junub. Maknanya, jika ia junub, otomatis ia wajib mandi dan harus melepas khuffnya. Syarat berikutnya, ia tidak boleh melepas khuffnya ketika berhadats kecil. Sebab, dengan begitu ia akan memasukkan khuffnya dalam keadaan dirinya tidak suci dari hadats. Lain halnya jika untuk suatu urusan ia harus melepas khuffnya, dan ia melepasnya dalam keadaan suci dari hadats. Asalkan sebelum berhadats ia telah memakai khuffnya lagi, masa boleh mengusap khuffnya masih berlaku. Inilah pendapat Imam al-Awza’i, Imam Ahmad, dan Ibnul Mundzir.
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah bertutur, “Suatu malam dalam sebuah perjalanan, aku bersama Nabi saw. Kutuangkan air dari timba ke atas tangan beliau, lalu beliau membasuh wajah sampai mengusap kepala. Kemudian aku berjongkok hendak melepaskan kedua khuff beliau. Ketika itulah beliau bersabda, ‘Biarkan keduanya! Sesungguhnya aku memakainya dalam keadaan suci.’ Kemudian beliau mengusap kedua khuff itu.”
Masa berlaku rukhshah boleh mengusap khuff bagi musafir lebih lama lagi. Tiga hari tiga malam dengan cara menghitung dan syarat spt tersebut di atas. Dasarnya adalah penuturan Ali bin Abu Thalib bahwa Rasulullah saw telah menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang yang mukim. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi menyatakan, “Para ulama terkemuka telah sepakat atas bolehnya mengusap kedua khuf, baik ketika safar ataupun ketika mukim, baik karena ada hajat ataupun tidak. Diperbolehkan juga bagi perempuan yang selalu berdiam diri di rumahnya atau orang-orang yang menderita sakit kronis yang tidak bisa berjalan untuk mengusap bagian atas khufnya. Hanya golongan Syi’ah dan Khawarij sajalah yang bersikeras menentang masalah ini.”
Urgensi Kajian Historis
Dalam menentang kebolehan mengusap khuff ini, ada yang menyatakan bahwa semua hadits tentangnya, hukumnya telah dinasakh oleh firman Allah yang menjelaskan tata cara wudhu.
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Ayat di atas memang termasuk dalam surat al-Maidah yang diturunkan menjelang akhir nubuwah. Meskipun demikian, ada satu hadits shahih—diriwayatkan oleh Imam Muslim—dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah ra yang isinya, ia pernah menyaksikan Rasulullah saw mengusap khuff saat berwudhu.
Sekilas, tidak ada yang istimewa dari hadits Jabir ini jika dikomparasikan dengan hadits-hadits mengusap khuff yang diriwayatkan dari sahabat lain. Namun, jika memperhatikan realita sejarah keislaman Jabir, hadits ini istimewa. Jabir bin ‘Abdullah masuk Islam setelah diturunannya surat al-Maidah. Dengan demikian, tak terbantahkan lagi bahwa ayat tentang wudhu tidak menasakh hadits-hadits tentang mengusap khuff. Demikianlah pernyataan penulis Tuhfatul Ahwadzi dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.
Wallahu a’lam.