Anugerah Terindah
Aku berdiri di depan murid-muridku, mengajarkan pelajaran agama. Ini adalah pekerjaan pertamaku yang alhamdulillah Allah mudahkan untuk mendapatkannya, usai pendidikan di bangku kuliah. Bidang yang memang sesuai dengan jurusanku.
Setelah melewati masa beberapa bulan mengajar agama Islam, ada rasa ketidaknyamanan dalam diriku. Bukannya tidak nyaman dengan pekerjaan yang mulia ini, bukan pula tidak nyaman karena mengajarkan materi agama yang subhanallah sekaligus sebagai dakwah yang merupakan sebaik-baik perkataan. Justru ketidaknyamananku dikarenakan aku yang sebagai guru agama, akan tetapi minim sekali pengetahuan agama dan bahasa Arabnya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menambah pengetahuanku dengan belajar lagi, terutama orientasiku adalah bisa membaca kitab gundul. Pekerjaan aku lepaskan, demi menggapai dorongan jiwa. Demi ilmu, aku rela menempuh onak durinya, meski usia sudah tak muda lagi.
Aku menyiapkan segala keperluanku untuk keberangkatanku ke tempat menuntut ilmu, yaitu disebuah pondok pesantren di Jawa. Mudah saja bagiku untuk langsung menentukan tujuan di manakah tempat aku harus mondok, karena memang sebelumnya aku sudah pernah survey ke tempat tersebut bersama seorang teman yang merupakan alumninya, dan dia pula yang menjadi perantara aku untuk bisa sampai dan berada dalam pengembaraan suci untuk menuntut ilmu di pondok tersebut.
Begitu memasuki gerbang pondok, aku langsung disambut dengan senyum ramah dan jabat tangan erat serta hangat dari para penghuninya. Ucapan salam bertebaran dari lisan mereka. Subhanallah, pikirku, ini hal yang baru bagiku, nuansa berbeda aku rasakan. Ternyata ini kebiasaan pondok, selalu menyebar salam dan menjabat tangan setiap kali bertemu dengan sesama saudaranya muslim, entah itu santri maupun ustadz ataupun orang lain yang datang bertamu. Bagiku sih, ketika dulu aku di luar aku juga biasa mengucap salam atau berjabat tangan, tapi itu hanya sesekali atau kadang kalau lagi suka saja, tidak seperti yang dijalankan di pondok ini.
Kali pertamannya aku canggung harus mengucap salam dan menyalami setiap orang yang aku bertemu dengannya. Kenapa sih harus berlaku seperti ini? Kepada saudara muslim yang kita bertemu dengannya kita mengucapkan salam dan tasofah (berjabat tangan). Tapi lama-lama akhirnya aku terbiasa juga. Seiring waktu, aku semakin mengerti. Ternyata ini bukanlah sekedar kebiasaan yang biasa saja. Ini adalah sunnah Nabi shallahu’alaihiwasalam yang banyak dilupakan. Mengucap salam adalah doa dan berjabat tangan akan menggugurkan dosa-dosa, menyatukan hati yang renggang dan menumbuhkan rasa kasih sayang di dalam jiwa kaum muslimin. Subhanaallah, betapa agungnya syariat-Mu. Aku tergugu menyadarinya.
Apabila malam tiba, rata-rata santri hanya tidur beralaskan matras, selembar sarung atau sajadah. Kesenangan nikmatnya tidur di atas kasur ditinggalkan. Bukannya tidak boleh, iklim yang tercipta untuk hidup apa adanya, “memaksa” semua penghuninya untuk tidak memiliki gaya hidup yang berbeda, agar tidak tercipta jarak antara golongan yang berpunya dan yang biasa. Pembelajaran yang sempurna, metode pendidikan yang datangnya dari mana lagi kalau bukan dari Islam.
Demikian juga yang menyangkut dengan persoalan makan. Kesederhanaan betul-betul ditonjolkan. Kesederhanaan itulah yang kurasakan ingin diterapkan kepada santri, agar mereka menjadi pribadi yang tidak rakus dan bisa melewati hari-hari dengan selalu penuh syukur, seberapa pun nikmat yang diterima. Maka istilah makan dengan “sate” tidaklah asing bagi santri. Sate yaitu sayur terong. Menu lain yang kerap menjadi hidangan sehari-hari yaitu goreng tempe, tahu, mie, sayur kangkung, kubis, berputar seputar itu saja dengan di masak begitu sederhana. Meski makan dengan kesederhanaan, namun terasa berkah. Buktinya, makan nasi putih dengan garam saja dilidah rasanya tetap saja sedap, sementara menu yang enak-enak di rumah, tidak terlalu berselera seperti waktu di pondok. Kenangan makan berjamaah di pondok dengan duduk nyunnahnya tetap tidak terlupakan. It is sweet memory!
Selain semua hal luar biasa itu, tentunya pelajaran agama yang lebih mendalam serta pelajaran bahasa Arab juga didapatkan. Di pesantren, Bahasa Arab berusaha dijadikan bahasa keseharian, selain bahasa pelajaran.
Dua tahun di pondok akhirnya kelar juga. Ada perasaan kehilangan sewaktu tapak-tapak kaki beranjak melangkah meninggalkan pondok yang penuh kenangan, yang telah memberikan pembelajaran yang begitu bernilai. Terima kasih dari diri yang terdalam kepadamu wahai para ustadz, jasamu abadi sampai ke akhirat, insyaallah. Dan untuk teman-teman, perjuangan tak mengenal ujung, sehingga senyum bidadari siramkan kebahagiaan. Tatkala Islam telah dikecap dari sumbernya, saat itulah kita telah meraih dan merasakan anugerah terindah dalam hidup. Percayalah! (M. Wahyudin, Pembuang Hulu, Kalimantan)