Al Atqiya’ Al Ahfiya’
Tampilan luar seseorang tak selalu mencerminkan hakekat yang sebenarnya. Orang yang terlihat biasa-biasa saja, bisa jadi merupakan orang yang tinggi derajatnya di sisi Allah. Contohnya yaitu Salman al-Farisi. Pada era khalifah Umar bin Khattab, beliau bertugas sebagai gubernur Madain. Meskipun demikian, gaya hidup shahabat yang sangat berjasa pada perang Khandaq ini, tak berbeda dengan rakyat jelata pada umumnya.
Suatu hari, saat berada di pasar, seseorang pedagang dari Syam memanggil pria berpakaian lusuh yang ia kira kuli panggul. Ia menyuruhnya membawa barang dagangan berupa buah kurma dan buah tin ke tempat tujuan. Herannya, sepanjang jalan, orang-orang memberi salam dan hormat kepada si kuli. “Assalamualaikum, wahai amir” kata orang di tepi jalan. Si pedagang kaget dan penasaran. “Apakah orang ini Salman Al-Farisi, shahabat Nabi n yang terkenal zuhud?” tanyanya dalam hati. Ia mulai yakin saat satu-dua orang berusaha menggantikan si kuli memanggul beban yang kemudian ditolak oleh sang kuli. Ahirnya, pedagang tersebut tersadar bahwa orang yang ia anggap kuli ternyata orang nomor satu di Madain. Dengan perasaan campur aduk, ia langsung menurunkan karung yang dipanggul oleh Salman Al-Farisi sambil memohon maaf. Tapi, Salman menggelengkan kepala sambil berkata, “Tidak usah, biar aku bawakan karung ini ke tempat tujuanmu.”
Seperti itulah, gambaran kesahajaan dan sikap rendah diri yang dicontohkan oleh shahabat Nabi n. Tokoh besar yang pada waktu meninggal hanya mewariskan mangkok dan bejana ini seakan ingin mendedahkan bahwa pangkat dan jabatan tinggi bukanlah penghalang untuk zuhud dan menolong sesama. Sebab, pangkat dan jabatan merupakan label yang menunjukkan bahwa si empunya bertanggung jawab terhadap urusan umat. Amanat tersebut lebih menutut pemenuhan tanggung jawab, dari pada status sosial yang perlu dibanggakan di mana-mana.
Jadi, sebelum para shahabat memperbaiki penampilan luar, mereka memperbaiki kualitas takwa dan amal shalih. Satu faktor yang tidak kasatmata. Takwa yang pada awalnya tertanam di hati merupakan tolak ukur kualitas muslim di hadapan Allah. Oleh karenanya, tidak ada orang yang dapat menakar kadar takwa orang lain. Hanya Allah yang tahu hakekat takwa yang dimiliki tiap orang. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.
Dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda, “Sesung-guhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta kalian. Tapi, Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, Ibnu Rajab Al-Hanbali menyimpulkan bahwa ada orang yang memiliki anugerah tampilan fisik, harta, jabatan atau status sosial tinggi. Namun, hatinya ternyata hampa dari takwa. Sebaliknya, ada orang yang tidak memiliki atribut-atribut di atas dan menjadi mulia di sisi Allah sebab hatinya tergenangi dengan takwa kepada-Nya. Kelompok yang kedua ini, merupakan tipe manusia yang digambarkan oleh hadits berikut:
أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ الْجَنَّةِ ، كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعَّفٍ ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ ، وَأَهْلِ النَّارِ كُلُّ جَوَّاظٍ عُتُلٍّ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah kalian kutunjukkan penghuni surga? Yaitu setiap orang lemah dan tertindas, dan sekiranya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah mengabulkannya, dan penghuni neraka adalah setiap orang yang berhati keras dan menentang kebenaran lagi sombong” (HR. Bukhari dan Muslim)
Permisalan orang alim yang rendah diri ibarat padi. Semakin berisi semakin menunduk ke bawah. Begitu pula orang yang bertakwa, semakin tinggi iman dan amalnya, ia semakin bersikap tawadhu’. Sebab, Ia sadar bahwa derajat tinggi yang berhasil ia capai merupakan rizki dan karunia dari Allah. Tanpa adanya hidayah dan maunah dari-Nya, ketakwaan tersebut tidak akan terwujud. Dengan sikap seperti itu, Allah membalasnya dengan derajat tinggi dan mulia di mata manusia.
Rasulullah n bersabda,
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ دَرَجَةً رَفَعَهُ اللَّهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِى عِلِّيِّينَ وَمَنْ تَكَبَّرَ عَلَى اللَّهِ دَرَجَةً وَضَعَهُ اللهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِى أَسْفَلِ السَّافِلِينَ
“Orang yang rendah diri satu derajat, Allah mengangkatnya satu derajat hingga membuatnya mencapai tingkatan illiyun. Sedangkan orang yang sombong terhadap Allah satu derajat, Dia akan merendahkannya satu derajat, hingga membuatnya menjadi mahluk paling rendah.” (HR. Ahmad)
Sikap rendah diri ini dapat menjaga keihlasan dalam beramal. Sehingga tak ada lagi harapan mengunduh sanjungan dan pujian atas prestasi dalam beramal. Hanya balasan dari Allahlah yang menjadi harapan. Jika amal tersebut antara hamba dengan Allah. Cukuplah menjadi rahasia antara Allah dengannya. Jika amal tersebut berkaitan dengan manusia, ia cukup bahagia bila amal tersebut bermanfaat bagi orang lain. Meski, orang lain hanya tahu hasil dari amal tersebut tanpa mengetahui siapa orang dibaliknya. Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الأَتْقِيَاءَ الأَخْفِيَاءَ الأَبْرِيَاءَ الَّذِينَ إِذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوا ، وَإِذَا حَضَرُوا لَمْ يُعْرَفُوا
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa yang menyembunyikan amalnya dan orang yang berbuat kebaikan. Yaitu orang-orang yang jika tidak hadir mereka tidak dicari, dan jika hadir mereka tidak dikenal.” (HR. Thabrani)
Uraian hadits di atas tidak bermaksud mencela faktor duniawi. Sebab, secara naluri manusia pasti ingin tampil elok di mata orang lain. Bukan berarti pula menampilkan nikmat dunia yang Allah karuniakan itu tercela. Bukankah membicarakan nikmat Allah wajib hukumnya? Dalil-dalil di atas mencela kemewahan yang dibanggakan dan dijadikan standar menilai orang. Lebih parah lagi jika kemewahan tersebut artifisial alias kedok belaka. Tak ubahnya tipuan mata belaka untuk menutupi hakekat busuk di balik itu semua. Sebab, sepintar-pintar orang menutup bangkai, aromanya pasti tercium juga. Wallahu A’lam.