Kemiskinan Hamba
Allah Maha Kaya lagi Mulia. Bersama kekayaan dan kemuliaan-Nya, Dia mengasihi hamba-hamba-Nya, menginginkan kebaikan untuk mereka, serta mengangkat madharat dari mereka tanpa sisa. Semuanya sebagai rahmat, cinta dan kebaikan untuk mereka, bukan karena keinginan mendapatkan manfaat dari hamba, bukan pula karena ingin menolak bahaya. Subhanallah! Mahasuci Allah dari semua itu.
Sebab Allah tidak berhajat kepada berbilang jumlah untuk menambah gagah, menghindari sedikitnya para penghamba. Atau menampakkan kemuliaan dari terpuruknya kehinaan. Allah juga tidak butuh rizki dan kemanfaatan dari hamba-hambaNya. Karena sungguh, Dia-lah Raziq, Pemilik semua rizki tanpa kecuali, dalam kekuatan dan keperkasaan. Di kerajaanNya, Dia Esa, Tunggal, Satu dan Sendiri, tanpa anak, sekutu atau penolong sebab semua itu tidak perlu. Juga tak layak bagi-Nya!
Sedang manusia berkebalikan keadaannya: miskin dan tidak punya apa-apa. Dalam kesendirian yang memustahilkannya bisa memberi kebaikan, juga memudharatkan pihak lain, dia memerlukan pihak lain untuk mencukupi, menutupi, atau membantu kemiskinannya. Karena tanpanya, manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Karena dia miskin dalam arti sebenarnya.
Sebenarnya, inilah rahasia dari berbagai kebaikan antar manusia. Mereka saling berbuat baik, bukanlah tanpa pamrih, namun menyimpan maksud untuk menolong diri sendiri. Kebaikan yang mereka jadikan wasilah untuk mengambil manfaat dan menolak madharat bagi diri sendiri, cepat ataupun lambat. Sehingga mereka menjadi pemilih. Hanya kepada pihak-pihak yang bisa diharapkan balasannya, mereka berbuat baik. Sedang kepada yang lainnya lagi, mereka enggan dan berpaling.
Padahal di sinilah kesalahan asasi telah disandarkan. Membangun istana sesal dan kecewa sebab manusia seringkali ingkar janji dan berfluktuasi dalam menjalin relasi emosi. Selain bisa saja balasan yang diharapkan, meski sekadar ucapan terima kasih, nihil adanya, semua hubungan antar mereka tidak ada yang permanen dan stabil. Siapa yang terlihat mampu hari ini, bisa jadi jatuh di kemudian hari. Juga siapa yang memuaskan sekarang, bisa saja mendatangkan amarah dan dendam di masa datang.
Maka tidak ada yang lebih baik selain menyerahkan semuanya kepada Allah. Berharap Dia-lah yang menerima kebaikan kita menjadi amal shalih, meski untuk itu kita harus membuang keinginan beroleh balasan dari sesama manusia. Tugas kita hanyalah menjadi hamba yang baik, yang ikhlas dan yakin, bahwa kebaikan yang kita lakukan, apapun balasan orang lain atasnya, sebenarnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri. Yang Allah pasti akan melihat dan mendengarnya, kemudian membalasinya secara adil.
Tapi kenapa kita selalu mengulang kesalahan itu? Mengharap manfaat kepada selain Allah, padahal mereka tidak akan pernah bisa dan mampu. Dan hanya yang berfikir yang akan tahu, bahwa Allah-lah sebenar-benar tempat bersandar dan berharap!