Berpaling, Lalu Dibiarkan Menjauh
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia:”Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah berfirman:”Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan”. (QS. Thaha:124-126)
Imam Al Kufi menjelaskan, makna I’radh adalah berpalingnya hati. Di dalam al Qur`an terdapat kata “i’radh” seperti dalam ayat di atas, juga “at tawalli” dan “as Shadu”. Biasanya ketiganya diterjemahkan dengan berpaling. Padahal sebenarnya ada rasa dan makna yang berbeda, hanya saja bahasa kita kurang bisa mengakomodir makna dan rasa itu. Imam al Kufi melanjutkan, i’radh itu lebih parah dari “at tawalli”. Keberpalingan i’radh lebih total hingga ketika datang suatu kesadaran, dia benar-benar harus mulai dari nol untuk memulai. (al Kulliyat, 29 dengan diringkas).
Adapun berpaling dari peringatan Allah, ditafsiri oleh para ahli tafsir dengan berpaling dari al Quran dan syariat Allah. Karena di dalam al Quran itulah Allah menyampaikan peringatan-Nya melalui lisan Rasulullah SAW. Berpaling berarti mengacuhkan, tidak mengimani dan tidak menggubris apa yang ada di dalam al Quran, lebih-lebih mengamalkan. (Muqodimah Tafsirul Quran al Azhim I/73).
Ancaman hukumannya sangat berat. Seperti disebutkan dalam ayat, yang berpaling dari peringatan Allah dalam al Quran akan mendapatkan kesempitan hidup, kesempitan di alam kubur dan kesusahan di hari kiamat. Kelihatannya, salahnya cuma satu, berpaling dari al Quran, tapi hukuman yang dijatuhkan begitu berat. Namun, hukuman ini setimpal karena buntut dari berpaling dari al quran ini sangat panjang berupa kesesatan selama hidup, kecuali yang dirahmati Allah.
Imam Ibnul Qayim menjelaskan bahwa ayat ini semakna dengan ayat:
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ . وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkannya) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS.Az Zukhruf 36-37).
Maksudnya, Allah memberitahukan bahwa seseorang tertimpa musibah berupa berkawan dengan setan, itu karena dia berpaling dari peringatan yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Akibatnya, Allah biarkan dia menjalin hubungan erat dengan setan hingga setan itu selalu menemaninya dan menyesatkannya dari jalan Rabb-Nya. Bersamaan dengan itu, dia mengira bahwa dia menjadi orang yang mendapat petunjuk. Dan kelak, jika sudah waktunya dia bertanggungjawab kepada Rabb-nya berikut kawan karibnya itu serta menyaksikan bahwa ternyata dia tengah dihadang kebinasaan dan kebangkrutan, barulah dia berkata,
يَالَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ الْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ
“Aduhai, seandainya antara aku dan kamu (setan) terpisah jarak yang jauh sejauh timur dan barat, maka syaitan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia)”. (QS. Az Zukhruf :38).
Setiap orang yang berpaling dari petunjuk wahyu dimana disitulah peringatan Allah (adz Dzikr) disampaikan, maka pasti akan mengatakan hal ini pada hari kiamat. (Ibnul Qayim al Jauziyah, Miftah Dar as Sa’adah, 42-44).
Mengenai bentuk berpaling dari peringatan Allah, yang paling berat adalah menolak kebenaran al Quran dan isinya. Tidak ada bedanya menolak sebagian isi maupun menyeluruh, karena menolak sebagian al Quran berarti menganggap al Quran cacat. Maka jangan heran jika orang-orang kafir, baik yang kafir sejati maupun munafik, banyak yang awet kekufuran dan kesesatannya karena setanlah yang menjadi pemandu jalannya.
Bentuk yang lain adalah berpaling atau menolak adanya hisab dan berbagai hal tentang hari kiamat. Allah berfirman yang artinya,
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). (QS. Al Anbiya’ :1).
Hari ini tidak sedikit propaganda orang kafir yang ingin membedol keyakinan umat Islam dengan membuat film tentang hari kiamat. Kiamat memang terjadi, tapi persepsi dibelokkan bahwa setelah kiamat masih ada manusia yang hidup dan memulai dunia baru di atas sisa reruntuhan bumi. Tidak ada hisab, tidak ada neraka dan surga. Ini bermula karena mereka memang tidak meyakini peringatan Allah akan adanya hari kebangkitan.
Atau berpaling dari ayat-ayat Allah dalam ciptaan-Nya. Teori Darwin yang meyakini bahwa alam ini terjadi secara kebetulan dan semua makhluk berevolusi menjadi seperti sekarang ini adalah contohnya. Teori ini jelas berpaling dari pernyataan Allah bahwa seluruh alam ini diciptakan oleh-Nya, bukan terjadi secara kebetulan. Dengan mengkaji berbagai macam fenomena alam yang ajaib dan laur biasa ini, pikiran yang sehat akan menyimpulkan, mustahil semua ini terjadi secara kebetulan. Semuanya terlalu rapi, detail dan rumit untuk disebut sebagai kebetulan.
Dan, dalam kadar yang lebih ringan, Ibnu Katsier tidak menampik bahwa ayat ini juga menjadi peringatan bagi orang mukmin yang enggan membaca al Quran, melupakan hafalannya dan tidak pernah memberi perhatian terhadap al Quran. Walaupun tingkatannya tidak separah berpalingnya orang kafir, tapi itu merupakan bentuk peremehan yang berat. (Muqodimah Tafsirul Quran al Azhim I/73).
Karenanya, kita bersyukur dipilih Allah menjadi hamba yang mau menerima al Quran sebagai jalan petunjuk. Selanjutnya, marilah kita berusaha mengikuti arah petunjuk yang diberikan didalamnya. Selain itu, membaca dan mentadaburinya adalah konsekuensi yang tidak bisa ditinggalkan. Dan, bulan Ramadhan ini menjadi moment istimewa untuk kita memperbaiki ‘hubungan’ kita dengan al Quran. Yang sebelumnya belum akrab, mari lebih diakrabkan, yang sudah mampu meresapkan al Quran ke hati, bisa semakin mewarnai hatinya dengan hidayah ilahi ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang menjawab seruan Allah dan bukan yang berpaling dari peringatan-Nya. Amin. Wallahua’lam. (T. anwar)