Benarkah Ruh Sujud di Bawah Arsy Saat Manusia Tidur?
Ruh adalah persoalan ghaib sehingga manusia hanya bisa tahu tentangnya apabila Allah dan Rasul-Nya memberi tahu. Informasi tentang ruh yang paling utama dan pertama adalah firman Allah Ta’ala berikut,
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) ‘jiwa’ (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” [QS. Az-Zumar: 42]
Ibnu Katsir memaparkan,
فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّهَا تَجْتَمِعُ فِي الْمَلَأِ الْأَعْلَى، كَمَا وَرَدَ بِذَلِكَ الْحَدِيثُ الْمَرْفُوعُ الَّذِي رَوَاهُ ابْنُ مَنْدَهْ وَغَيْرُهُ.
“Di dalam makna ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa semua jiwa dikumpulkan di al-mala` al-a’la, seperti yang disebutkan di dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dan lain-lainnya. Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan melalui hadits ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Sa’id bin Abu Sa’id, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda,
إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فلْينْفُضْه بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: بِاسْمِكَ رَبِّي وَضَعْتُ جَنْبِي، وَبِكَ أَرْفَعُهُ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ
“Apabila seseorang di antara kalian hendak menempati tempat tidurnya, hendaklah terlebih dahulu menyapu tempat tidurnya dengan bagian dalam kainnya, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui kotoran apa yang telah ditinggalkannya pada peraduannya itu. Kemudian hendaklah ia mengucapkan doa, “Dengan menyebut nama Engkau, ya Tuhanku, aku letakkan lambungku dan dengan menyebut nama Engkau aku mengangkat (membangunkan)nya. Jika Engkau memegang jiwaku, maka kasihanilah ia; dan jika Engkau melepaskannya, maka peliharalah ia sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih.” (Shahih Al-Bukhari, 8/87 dan Shahih Muslim, 8/77)
Perhatikan firman Allah dan hadits Nabi di atas. Allah dan Nabi menggunakan kata nafs untuk manusia yang tidur, bukan ruh. Jadi yang digenggam Allah saat manusia tidur adalah nafs, bukan ruh. Sedangkan ketika manusia mati maka yang digenggam Allah adalah jiwa dan ruh sekaligus. Ini analisis saya, mohon maaf saya bukan ahli tafsir, sama sekali. Lalu apakah analisis saya ini betul?
Ada keterangan dari Syaikh Abu Bakar Al-Anbari,
وفرّق بعض العلماء بين النفس و الروح فقال الروح هو الذي به الحياة و النفس هي التي بها العقل فإذا نام النائم قَبَضَ الله نفسه ولم يقبض روحه والروح لا يُقبض إلاّ عندَ الموتِ
Ada sebagian ulama membedakan antara nafs dan ruh. Diantara ulama menyatakan, ruh adalah sesuatu yang dengannya manusia hidup, sementara nafs adalah sesuatu yang dengannya manusia berakal. Sehingga ketika seseorang tidur, Allah genggam jiwanya dan tidak mengambil ruhnya. Dan ruh itu tidak akan diambil oleh Allah kecuali ketika kematian.
وبعض اللغويين يُسَوِّي بين النفس والروح فيقول هما شيء واحد إلاّ أنّ النفس مؤنثة والروح مذكّر
“Dan sebagian pakar bahasa Arab menyamakan nafs dan ruh dan diantara pakar bahasa tersebut berkata, keduanya adalah sesuatu yang satu, hanya saja nafs adalah kata Kata gantinya permpuan sementara ruh berkategori laki-laki.” (Kitab Az-Zahir fi Ma’ani Kalimat An-Nas)
Keterangan tersebut didukung oleh Syaikh Ahmad Al-Fayumi Al-Hamawi,
وَمَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ الرُّوحَ هُوَ النَّفْسُ النَّاطِقَةُ الْمُسْتَعِدَّةُ لِلْبَيَانِ وَفَهْمِ الْخِطَابِ وَلَا تَفْنَى بِفَنَاءِ الْجَسَدِ وَأَنَّهُ جَوْهَرٌ لَا عَرَضٌ وَيَشْهَدُ لِهَذَا قَوْله تَعَالَى {بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ}
“Madzhab Ahlus-Sunnah menyatakan bahwasanya ruh adalah nafs sebagai piranti untuk berbicara yang memang digunakan untuk mendapatkan kejelasan, memahami pembicaraan, dan ruh tidak hilang dengan hancurnya jasad, dan ruh adalah esensi yang tidak tampak namun dapat menyaksikan, sebagaimana firman Allah, “Akan tetapi mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan mendapatkan rizqi dari-Nya.” [QS. Ali ‘Imran: 169] [Kitab Al-Mishbah Al-Munir 1/242]
Banyak juga ulama yang menyamakan ruh dan nafs. Jadi kita boleh-boleh saja menyamakan ruh dan nafs, boleh juga membedakannya. Sebab kedua sikap tersebut ada dalilnya. Jika di hadits di awal tadi kita tahu bahwa Nabi menyebut nafs diambil oleh Allah sewaktu manusia tidur, di hadits berikut ini, Nabi menyebut ruh manusialah yang diambil oleh Allah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَنَا وَلَوْ شَاءَ لَرَدَّهَا إِلَيْنَا فِي حِينٍ غَيْرِ هَذَا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah menggenggam ruh kita, kalau saja Allah mau, pasti Allah kembalikan ruh kita kepada kita pada waktu yang berbeda.” [Al-Muwaththa`li Al-Imam Malik] Namun jika kita baca riwayat hadits secara utuh, nampaknya kata ruh yang digunakan Nabi sebenarnya bermakna nafs. Jadi hadits ini memiliki makna, disebut ruh jika jiwa yang diambil dari manusia yang tidur tidak dikembalikan oleh Allah dan itulah kematian.
Atau hadits tersebut tidak dimaknai bahwa nafs dan ruh berbeda. Hadits tersebut sebenarnya tetap menyebut ruh Rasulullah dan para shahabat dicabut oleh Allah dan memang semuanya saat itu mengalami kematian, hanya saja kemudian Allah mengembalikan ruh mereka semua dan menghendaki hidup kembali. Hadits tersebut adalah kisah bangun kesiangan Rasulullah dan para shahabat sepulang dari sebuah peperangan hingga waktu dhuha. Ternyata benar, ada riwayat lain yang mempertegas makna ini,
إنكم كنتم أمواتاً، فرد الله إليكم أرواحكم
“Sesungguhnya kalian mati, namun Allah mengembalikan ruh kalian kepada kalian.” [Musnad Abu Ya’la Al-Mushili]
Sekarang saatnya kita mencari tahu apa betul ruh orang yang tidur terbang ke angkasa lalu sujud di bawah ‘Arsy sampai terbangun dari tidur? Majelis Fatwa Uni Emirat Arab pimpinan Syaikh Dr. Muhammad Mathar Salim Al-Ka’bi menjelaskan,
وَقَدْ جَاءَ فِي النَّوْمِ عَلَى طَهَارَةٍ مَا يَقْتَضِي عُرُوجَ الرُّوحِ وَسُجُودَهَا تَحْتَ الْعَرْشِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ تَحْتَ الْعَرْشِ كَمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ الْفِرْدَوْسَ أَعْلَى الْجَنَّةِ وَسَقْفَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ كَمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ بِإِسْنَادِهِ إلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : إنَّ الْأَرْوَاحَ يُعْرَجُ بِهَا فِي مَنَامِهَا إلَى السَّمَاءِ فَتُؤْمَرُ بِالسُّجُودِ عِنْدَ الْعَرْشِ فَمَنْ بَاتَ طَاهِرًا سَجَدَ عِنْدَ الْعَرْشِ وَمَنْ كَانَ لَيْسَ بِطَاهِرٍ سَجَدَ بَعِيدًا مِنْ الْعَرْشِ قَالَ الْبَيْهَقِيُّ : هَكَذَا جَاءَ مَوْقُوفًا انْتَهَى .
Dan sungguh telah ada riwayat tentang tidur dalam keadaan suci yang menjadikan ruh naik ke langit dan sujud di bawah ‘Arsy dan Surga tertinggi ada di bawah ‘Arsy. Sebagaimana telah tetap dalam hadits shahih bahwasanya Firdaus adalah Surga yang tertinggi dan atapnya adalah ‘Arsy Allah. Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman dengan sanadnya hingga ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, bahwasanya beliau berkata, “Sesungguhnya ruh-ruh naik dalam tidurnya ke langit, kemudian diperintahkan untuk sujud di bawah ‘Arsy. Maka barangsiapa tidur dalam keadaan suci maka ruhnya akan sujud di bawah ‘Arsy, dan barangsiapa tidur dalam keadaan tidak suci, maka sujudnya jauh dari ‘Arsy.” Imam Al-Baihaqi memberi catatan, “Demikianlah adanya secara mauquf.”
Lalu, oleh karena hadits ini mauquf apakah kita tidak boleh menjadikan hadits ini sebagai dalil aqidah, artinya kita boleh atau tidak meyakini bahwa ruh orang yang tertidur sujud di bawah ‘Arsy. Kendati hadits ini mauquf namun bisa dihukumi marfu’ karena (1) Bukan ijtihad; (2) Bukan dari Ahli Kitab; (3) Bukan menjelaskan makna bahasa; (4) ‘Abdullah bin ‘Amr sedang menafsirkan QS. Az-Zumar: 42; (5) Lafazhnya mauquf; (6) Ada hadits shahih lain yang menaungi yaitu hadits perintah untuk berwudhu sebelum tidur.
Akhirnya, oleh karena para ulama di kursi majelis fatwa UEA menjadikan hadits mauquf tersebut sebagai hujjah (dalil), maka sebagai orang awam, kita pun mengikuti jejak mereka. Kita boleh mengikuti jejak mereka dan meyakini bahwa ruh orang yang tertidur sujud di bawah ‘Arsy. Boleh pula menolak menerima periwayatan hadits mauquf dari ‘Abdullah bin ‘Amr di atas, asalkan kita punya rujukan ulama muhaddits yang menolaknya.
Satu hal yang harus digaris-bawahi, bahwa masalah ruh adalah masalah ghaib, harus berhati-hati dalam membahasnya, tidak boleh berpendapat tanpa dalil, dan sebaiknya fokus pada masalah aqidah yang lainnya, atau fokus pada amaliyah, salah satunya yaitu berwudhu ketika hendak tidur.
Baca Juga:
Pingback: Tuhan Dalam Perspektif Deisme dan Islam, Sebuah Perbandingan - Majalah Islam ar-risalah
Pingback: Majalah Islam Arrisalah|Majalah Muslim Arrisalah