Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku
Islamisasi merupakan proses yang membentuk jaringan panjang di dunia Islam. Melalui aktivitas perdagangan, para dai berhasil membangun hubungan antarpulau. Jika Islam berhasil didakwahkan di satu pulau, maka dari pulau itu akan berangkat para dai untuk mendakwahkan Islam ke pulau lainnya. Demikianlah yang terjadi di kepulauan Nusantara. Dari ujung barat Sumatra, para dai yang banyak berprofesi sebagai pedagang kemudian melanjutkan gerak Islamisasi ke Jawa. Dari Jawa, gerak Islamisasi dilanjutkan ke pulau-pulau di sebelah utara dan timur, seperti Kalimantan, Madura, Sulawesi dan Maluku.
Hubungan Dagang dan Dakwah
Sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol ke Asia pada pergantian abad 15 ke 16 M, orang Jawa menguasai perdagangan laut di Kepulauan Nusantara. Periode 1300-1500 merupakan masa kejayaan perdagangan Jawa. Di sebelah barat, orang Jawa sejak 1286 menguasai Palembang –ibukota Sriwijaya– yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Setelah Palembang mengalami kemunduran pada akhir abad 14 M, sejumlah pedagang Hindu Jawa melakukan eksodus. Mereka kemudian memindahkan aktivitas perdagangan ke Malaka. Di Malaka, para pedagang Hindu Jawa berhubungan dengan orang-orang Muslim dari Gujarat yang giat melakukan dakwah sehingga dengan cepat mereka memeluk Islam. (B. J. O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 19-21)
Baca Juga: Islam Nusantara dan Islam Arab
Aktivitas perniagaan Malaka menyebabkan agama Islam tersebar ke wilayah yang lebih luas. Dalam hubungan ini, perdagangan menjadi faktor yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Malaka memainkan peran penting dalam konversi Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan laut di Jawa, dimana mereka sendiri memeluk Islam akibat pengaruh Malaka. (M. A. P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara, hlm. 33)
Orang Jawa menjadi penghubung perdagangan rempah antara Maluku dengan Malaka. Tuban adalah pelabuhan terbesar di Jawa. Kota ini menjadi gudang besar rempah-rempah dari Maluku. Dari sini, rempah-rempah kemudian dibawa ke Malaka untuk dipasarkan ke India hingga Eropa di barat maupun ke Cina di timur. Sementara itu, kebutuhan beras di Maluku disuplai dari Jawa yang dikenal sebagai penghasil beras. (H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia 1, hlm. 33)
Santri Giri Berdakwah di Maluku
Dengan memanfaatkan hubungan yang telah terbangun antara Jawa dan Maluku, pada akhir abad 15 berangkatlah seorang santri Giri asal Minangkabau bernama Dato’ Maulana Husain ke Ternate. Ia pandai membaca Al-Qur’an dan suaranya amat merdu. Hampir setiap malam ia membaca kitab suci itu dengan baik dan menarik pribumi Ternate. Akibatnya, banyak pribumi Ternate datang ke rumahnya sekadar mendengar tilawah Al-Qur’an. Jumlah mereka semakin membengkak dari hari ke hari.
Di antara pengunjung pribumi ini ada yang mengajukan permintaan agar diajarkan membaca Al-Qur’an seperti yang dilakukan Maulana Husain. Dengan cara halus, Maulana Husain mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci orang Islam. Untuk membacanya, seseorang harus terlebih dahulu menjadi Muslim. Orang-orang Ternate tidak keberatan menerima persyaratan itu. Sejak saat itulah, mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam. Maulana Husain membuka pengajian untuk mengajari mereka membaca Al-Qur’an dan agama Islam.
Maulana Husain juga ahli kaligrafi. Keahliannya digunakan untuk menulis ayat-ayat suci Al-Qur’an di atas sebilah papan. Keahlian ini membuat kawula Ternate kagum dan berhasrat mempelajarinya. Dakwah Maulana Husain akhirnya menerobos ke dalam istana. Kolano (gelar raja-raja Maluku sebelum Islam) Marhum sendiri tertarik dan sering mengundang Maulana Husain untuk membaca Al-Qur’an dan berdakwah di istana. Akhirnya, Kolano Marhum memeluk Islam dan memerintahkan para bobato dan keluarganya untuk mengikuti jejaknya. Dengan demikian, Kolano Marhum telah membidani lahirnya komunitas Muslim pertama kerajaan Ternate. Marhum wafat pada 1486. Untuk pertama kali dalam sejarah Kerajaan Ternate, seorang Kolano dimakamkan sesuai syariat Islam. (M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah, hlm. 62-63)
Sultan Ternate Nyantri ke Giri
Sepeninggal Marhum, putranya yang bernama Zainal Abidin menggantikan posisinya memimpin Ternate. Ia adalah pemimpin pertama Ternate yang bergelar sultan. Sejak kecil ia tumbuh dalam didikan Maulana Husain. Semangatnya untuk mempelajari Islam sangat tinggi. Oleh karena itu, pada 1495 ia berangkat ke Jawa guna melanjutkan belajar kepada Sunan Giri.
Ia diterima belajar di pesantren Giri selama 3 bulan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih). Menjadi murid salah seorang Wali Sanga yang terkenal merupakan idamannya sejak remaja. Karena informasi yang disampaikan Maulana Husain, ia tahu betapa tinggi pengetahuan agama Sunan Giri. Zainal Abidin merupakan satu-satunya Sultan asal Maluku yang menimba ilmu dari salah seorang Wali Sanga.
Baca Juga: Awal Islamisasi Maluku
Selama di Giri, Sultan Zainal Abidin bertemu dengan pemimpin Hitu, Pati Tuban, yang juga disebut Pati Putik. Keduanya menjalin persahabatan dan kerja sama yang memberikan pengaruh agak lebih besar kepada Sultan Ternate yang waktu itu mempunyai kekuasaan yang luas. Selain itu, Sultan Zainal Abidin juga berhasil membina persahabatan dengan orang-orang Jawa yang berpengaruh dan berkuasa. Dalam pelayaran pulang, ia sempat singgah di Makasar dan Ambon untuk membangun hubungan persahabatan dengan berbagai penguasa lokal di sana.
Selama berada di Jawa, Sultan Zainal Abidin sempat merekrut beberapa guru agama. Yang paling terkenal dan terpandai di antara mereka adalah Tuhubahahul. Ia ikut ke Ternate dan membantu Sultan dalam menyebarkan agama dan budaya Islam di sana. Beberapa ulama diboyong ke Ternate, diberi tugas sebagai guru agama, muballigh, dan ada pula yang diangkat sebagai imam. Inilah cikal bakal lembaga Imam Jawa dalam struktur Bobato Akhirat pada pemerintahan kesultanan Ternate. (Kepulauan Rempah-rempah, hlm. 64-65; J. Keuning, Sejarah Ambon Sampai Akhir Abad ke-17, hlm. 3-4) Wallahu a‘lam. (Redaksi/Sejarah/Islamisasi)
Tema Terkait: Sejarah Islam, Nusantara, Islamisasi