Opini
“Likulli ra’sin Ra’yun”, setiap orang memiliki pendapat, demikian kata pepatah arab. Jadi, sah-sah saja ketika seseorang beropini atas satu kejadian atau peristiwa. Ya, Allah memberikan kelebihan kepada manusia berupa akal yang dengannya ia bisa berpikir. Dengan akal manusia bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat an-Nahl: 78, “Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati supaya kalian bersyukur,” menjelaskan, “Allah memberikan mereka telinga untuk mendengar. Mata untuk melihat dan hati (akal) untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Dan Allah memberikan kenikmatan tersebut agar mereka dapat beribadah kepada Rabbnya.”
Baca Juga: Viral!
Berulangkali pula Allah menyebutkan perintah berpikir dengan redaksi yang berbeda-beda, afala ta’qilun, afala tatafakkarun, laallahum yafqahun, afala yatadabbarun, afala yandurun.
Islam memberi ruang khusus bagi akal untuk menganalisa sesuatu yang masih dalam jangkauannya. Ibnu Taimiyah dalam majmu’ fatawa mengatakan, “Akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Akal merupakan kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang sebagaimana seseorang bisa melihat dengan mata. Maka apabila hal itu tidak terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur’an ia ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api.”
Ada batasan ketika seseorang hendak beropini atas sesuatu yang berhubungan dengan agama. Dalam hal ini dibutuhkan akal untuk memahami dan menyimpulkan suatu hukum dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada. Ketika ada dalil wahyu, sunnah, atau pendapat ulama maka tidak boleh mengedepankan nafsu, mengada-adakan hal baru, atau menentang syariat tertentu.
Maka sebelum seseorang beropini terkait agama apalagi berharap opininya bisa viral dan dibaca banyak orang, ia mesti mengilmui apa yang hendak dikatakan atau dituliskan. Kata Imam Bukhari di salah satu bab dalam kitabnya, al-ilmu qabla qaul wal amal, ilmu sebelum berkata dan berbuat. Setidaknya ketika beropini kita membuka peluang untuk menerima masukan dan koreksian dari orang yang lebih paham. Segera beristighfar dan merevisi bila ada kesalahan.
Baca Juga: Di Balik Media
Bila dalam hal pengetahun dunia saja kita tidak berani ngarang-ngarang (mengada-ada, red) dan selalu menanyakan dalil ilmiah, apalagi dalam masalah agama. Jangan sampai di satu sisi mengkritisi, di sisi lain menutup diri dari nasihat orang lain. Mempertahankan opini yang tidak berdasar hanya karena ada atau mengharap dukungan. (Redaksi/Arrisalah/Biah)